BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perubahan
paradikma dalam dunia islam mempengaruhi juga hukum yang terlaksana, salah
satunya hukum perkawinan. hukum perkawinan dijadikan aturan dalam bentuk Undang-Undang
karena sesuai dengan konsep saat ini
yang sangat kompleks. Konsep fikih klasik yang bersifat patrinial dipandang
memarginalkan perempuan sehingga banyak aturan-aturan yang mengekang perempuan.
Karena itu tuntutan nafkah dengan segala konsenkuensianya seharusnya juga
diberikan sebagai timbal balik sebagai hak istri.
Nafkah
sebagai akibat dari adanya perkawinan ini perlu dibahas karena untuk
keberlangsungan kerumahtanggan dalam keluarga.Adanya tuntunan persamaan antara
laki-laki dan perempuan dalam hukum keluarga, pemahaman tentang nafkah sudah
tidak lagi sesederhana dahulu yaitu pemhaman suami memenuhi kebutuhan dalam
tumah tangga sehingga menjadi superior.
Adanya
tuntunan dari perkembangan zaman Hubungan yang tidak setara diharapkan bisa
dirubah dengan pemahaman nash sehingga
penulis mencoba memahami nash tidak hanya berdasarkan potongan ayat tetapi juga
melihat kontek dahulu dan sekarang.
Dalam makalah ini akan dibahas konsep nafkah
yang diinginkan oleh ajaran Islam dan membahas konsep perundang-undangan di
Indonesia dan Syria.
B.
Pokok
masalah
1.
Bagaimana
Konsep nafkah dalam fikih munakahat?
2.
Bagimana
nafkah dalam konsep perundang-undangn di Indonesia
3.
Bagaimana
Konsep nafkah perundang-undangdiSyria
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Nafkah dalam Rumah Tangga menurut fikih
munakahat
Kaum muslimin sepakat bahwa
perkawinan merupakan salah satu sebab yang mewajibkan pemberian nafkah, seperti
halnya kekerabatan.Adapun
sebab wajib nafkah atas suami kepada isteri adalah, karena dengan selesainya
akad yang sah, wanita menjadi terikat dengan hak suaminya, yaitu untuk
menyenangkannya, wajib taat kepadanya, harus tetap tinggal di rumah untuk
mengurus rumah tangganya, mengasuh anak-anaknya dan mendidiknya, maka sebagai
imbalan yang demikian Islam mewajibkan kepada suami untuk memberi nafkah kepada
isterinya.
Harus dicatat bahwa memberi
nafkah meliputi sandang, papan dan pangan. Tentang tempat tinggal, al-Qur’an
At-Thalaq : 6 mengatakan:
£`èdqãZÅ3ór&ô`ÏBß]øymOçGYs3y`ÏiBöNä.Ï÷`ãrwur£`èdr!$Òè?(#qà)ÍhÒçGÏ9£`Íkön=tã4bÎ)ur£`ä.ÏM»s9'ré&9@÷Hxq(#qà)ÏÿRr'sù£`Íkön=tã4Ó®Lymz`÷èÒt£`ßgn=÷Hxq4÷bÎ*sùz`÷è|Êör&ö/ä3s9£`èdqè?$t«sù£`èduqã_é&((#rãÏJs?ù&ur/ä3uZ÷t/7$rã÷èoÿÏ3(bÎ)ur÷Län÷| $yès?ßìÅÊ÷äI|¡sùÿ¼ã&s!3t÷zé&ÇÏÈ
Tempatkanlah mereka (para isteri)
di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka
(isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Untuk makanan dan
pakaian, al-Qur’an al-Baqarah: 233 meminta suami menyediakannya bagi ibu dan
anak-anaknya sebagaimana dijelaskan:
4n?tãurÏqä9öqpRùQ$#¼ã&s!£`ßgè%øÍ£`åkèEuqó¡Ï.urÅ$rã÷èpRùQ$$Î/4wß#¯=s3è?ë§øÿtRwÎ)$ygyèóãr4w§!$Òè?8ot$Î!ºur$ydÏ$s!uqÎ/wur×qä9öqtB¼çm©9¾ÍnÏ$s!uqÎ/4
Dan kewajiban
ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya,
Juga berdasarkanhadis yang berbunyi
حق المراة على زوجها ان
يشبع بطنها ويكسو جنبها وان جهلت غفر لها
Hak
seorang wanita atas suaminya adalah kekenyangan perutnya dan ditutupi badanya
(diberi pakaian) kalau wanita tersebut tidak mengetahui hal itu dia diampuni.
Pada dasarnya berapa besar nafkah yang wajib diberikan oleh suami
kepada istrinya adalah dapat mencukupi keperluan secara wajar, meliputi
keperluan makanan, pakaian, perumahan dan sebagainya. Prinsip mencukupi keperluan dapat
diperoleh dari hadis nabi tentang dibenarkanya seorang istri mengambil uang
suaminya tanpa izin apabila nafkah yang diberikan tidak mencukupi.
Dalam surah An-Nisa>’(4):34
disebutkan laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga karena laki-laki mempunyai
kelebihan yaitu yang memberikan
nafkah, melindungi dan mengayomi keluarga. Sehingga dilanjutkan dalam bunyi
ayat tersebut jika istri bertingkah laku tidak sejalan dengan agama maka suami
berkewajiban mendidik, mengingatklan, pisah ranjang, dan memukul.
Pembahasan nafkah
tidak bisa terlepas dari hubungan suami dan istri adanya kata “Qawam” dalam
surah an-Nisaa’ ayat 34 yang diartikan sebagai pemimpin ini juga mempengaruhi terhadap
pemberian nafkah. Adanya kelebihan laki-laki dari pada perempuan dalam system
patriarki, halini mempengaruhi bagian yang didapatkan wanita dalam system waris
dan lainnya.
Pekerjaan yang
dilakukan sistem masyarakat arab masa Nabi adalah masyarakat agraris sehingga
dalam bekerja memerlukan otot. Dalam surah an-Nisa>’ ayat 34 tersebut adanya
kata “kelebihan di antara kamu” karena untuk bekerja keras diperlukan tenaga
sehingga laki-laki yang bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Bekerja disesuaikan
dengan konteks social saat initidak harus dengan tenaga otot, sehingga untuk
saat bisa saja pencari nafkah adalah perempuan karena yang dibutuhkan tidak
hanya tenaga otot tetapi juga kemampuan dan keahlian.
B.
Konsep
Perundang-Undangan di Indonesia
Dalam perundang-undangan Indonesia tidak ada sub khusus yang membahas masalah nafkah dalamkehidupan
keluarga. Melainkan hanya ada beberapa pasal yang dapat ditarik sebagai bahasan yang berhubungan dengan nafkah. Pasal-pasal tersebut terdapat
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Pasal 32 ayat
(1) dan (2) UUP misalnya menyebutkan, suami istri harus mempunyai tempat
kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami dan istri.
Pada Pasal 34 disebutkanayat (1)”suami wajib melindungi
dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya”. Ayat (2) “istri wajib mengatur urusan rumah tangga
sebaik-baiknya”. Ayat (3) “ jika suami atau istri melalaikan kewajibanya
masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan”.
Aturan yang terkait lebih rinci ditemukan dalam KHI
misalnya dalam pasal 80 ayat (4),”sesuai dengan penghasilannya suami
menanggung: (a) nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri; (b) biaya rumah
tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak; (c) biaya
pendidikan bagi anak”. Sedangkan isi pasal 80 sama dengan pasal 34 ayat (1) UUP
No1 Tahun 1974, “Suami wajib melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Kemudian dalam pasal 80 ayat (7)
disebutkan “ kewajiban suami sebagaimana ayat (2) gugur apabila istri nusyu@#<^z. dapat
disimpulkan bahwa hak nafkah dan unsur-unsurnya hilang kalau istri melakukan nusyu@#<^z.
C.
Konsep
Perundang-Undangan di Syria
1.
Sejarah pembentukan hukum keluarga di Syria
Sejarahhukum keluarga tidak terlepas dari aturan yang ditetapkan oleh negara
yang menguasainya yaitu Ottoman Turki sejak tahun 1917, dengan berlandaskan
pada mazhab hukum Hanafi. Selama berada di bawah Turki Usmani, sistem hukum dan
perundang-undangan yang mengalami reformasi dari waktu ke waktu yang berlaku
juga di wilayah territorial Syiria. Di antara hukum-hukum imperial yang pernah
berlaku di Syiria adalah Code Civil tahun 1876 dan Hukum dan Hak-Hak keluarga
tahun 1917. Kedatangan koloni Perancis dan Inggris setelah PD I sangat memberi
nuansa yang sangat besar terhadap perkembnagan negara itu khususnya di bidang
politik, sipil dan pidana. Meskipun demikian, nasib personal law masih tetap
dipertahankan.
Setelah merdeka pada tahun 1947, nasionalisasi dan reformasi
terhadap berbagai aturan dan sistem hukum dilakukan dari waktu ke waktu. Selama
berlangsungnya program nasionalisasi, sistem hukum telah dicabut dan diganti
dengan hukum baru. Beberapa peraturan baru
telah ditetapkan sebagai peraturan yang bebas dari pengaruh kolonial dan
ditetapkan sebagai konstitusi nasional, antara lain Hukum Civil, Hukum Pidana
dan Hukum Dagang pada tahun 1949, dan Hukum Pidana baru pada tahun 1950 dan
Hukum Perdata baru pada tahun 1953. Sementara sebagai personal law tetap
diberlakukan Hukum Famili Turki dari tahun 1917 sampai 1953 dengan nama Qanun
al-Ahwal al-Syakhshiyah atau lebih dikenal dengan The Syirian Law of Personal
Status. Undang-undang ini dianggap berlaku sejak tanggal 17 September 1953.
Undang-Undang ini merupakan risalah dari hasil kerja Syeikh Ali al-Tahanawi
(Qadi di Damaskus) diambil dari berbagai macam mazhab hukum yang disesuaikan
dengan situasi kondisi masyarakat Syiria. Bisa dikatakan bahwa hukum ini mengandung
eklektisisme inovatif, yangmenyeleksi aturan-aturan bukan hanya dari mazhab
Hanafi, melainkan juga dari opini-opini para faqih mazhab-mazhab kuno dan
minoritas yang terisolasi, dengan tujuan membuat.
Selama 22 tahun setelah pemberlakuannya, diadakan amandemen
terhadap pasal-pasal dalam 4 bab pertama Undang-undang 1953 itu, dengan UU
Syiria No. 34/1975. Perubahan UU yang memodifikasi dan menambah beberapa
ketentuannya sebanyak 22 pasal ini didasarkan pada rekomendasi panitia parlemen
yang dibentuk untuk mengkaji dan merevisi UU 1953. Perubahan utama berkaitan
dengan masalah poligami, mahar, nafkah, konpensasi cerai, biaya hadhanah, dan
masalah perwalian anak. Penetapan Undang-Undang ini dimaksudkan untuk
melindungi hak-hak perempuan.
Usaha kodifikasi hukum keluarga Islam di Syiria dianggap paling
komprehensif, karena tidak hanya meliputi
aturan-aturan tentang kecakapan hukum, perwalian dan perwakilan tetapi juga
mencakup problematika wasiat dan hibah.
Penyusunan Code ini didasarkan pada Hukum Turki Usmani Tentang Hak-hak
keluarga, Hukum Mesir tentang hukum keluarga dan waris 1920-1946 dan juga
diambil dari hasil kerja Qadi Pasha (Mesir) dan Ali al- Tantawi (Damaskus). Code of Personal Status
1953 Syiria ini memuat 308 pasal dan terdiri atas 6 buku yang muatan isinya
didomonasi oleh mazhab Hanafi. Ada bagian-bagian tertentu yang diadopsi dari
Sekte Duruz dan Kristen Syiria.
2.
Perundang-undangan tentang Nafkah di Syria
Peraturan tentang nafkah di syiria dibahas sedikit panjang lebar. Undang-Undang Negara Syiria disamping membahas
tentang nafkah juga membahas tentang perumahanatau akomodasi.Nafkah diberikan
kepada istri
sejak akad terlaksana. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam
bangunan fiqih klasik. Adapun ketentuan nafkah Syiria adalah bagian ke 2 dari
bab ke-4 pasal 65-70:
Suami wajib memberikan akomodasi atau perumahan sesuai dengan status
sosial istri.
Suami setelah istrinya sembuh dari penyakitnya hendaknya, suami tinggal dengan
istrinya”.Suami
jika berpoligami wajib memberikan tempat tinggal yang sama terhadap
istri-istrinya”.suami
tidak boleh membiarkan keluarga tinggal bersama istri, kecuali anak kecil yang belum berumur
dewasa, kalau dengan kehadiran tersebut mengganggu istri.
Adapun
pembahasan khusus nafkah dalam Undang-Undang Syria
ada pada bagian ke 3 dari bab ke 4, pasal 71-84. Pembahasan nafkah dalam UU
Syria dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu nafkah semala masa perkawinan dan
nafkah masa iddah.Nafkah meliputi sandang, pangan dan papan dan sejenisnya yang baik yang sesuai dengan ketentuan yang ada dalam
masyarakat.
Suami tetap
terikat dengan hal pemberian biaya hidup kepada istri selama masih
berlangsungnya perkawinan, bahkan bila si istri merupakan pengikut agama lain
atau menetap di rumah keluarganya, kecuali bila suami memintanya untuk tinggal
bersama di kediamannya sementara sang istri menolak tanpa ada haknya.Bahkan
si istri mempunyai hak untuk menolak untuk hidup bersama suaminya jika suaminya
tidak mematuhi untuk membayar mahar secara seketika atau menyediakan tempat
tinggal berdasarkan aturan hukum.
Hak istri
hilang kalau istri bekerja diluar rumah dan tidak mendapat izin dari suami.Jumlah
nafkah yang diterima istri harus mempertimbangkan kondisi suami, kondisi istri,
dengan catatan tidak kurang untuk mencukupi kebutuhan minimum.
Nafkah yang
dipaksa secara hukum atau dengan persetujuan hanya berhenti karena dibayar atau
dimaafkan.Hakim
boleh menyuruh suami membayar nafkah sementara dan tidak lebih satu bulan
selama dalam proses penaksiran nafkah dan setelahnya, kalau hal itu dibutuhkan.keputusan
ini berlaku sejak ditetapkan.Nafkah masa iddah harus sama dengan nafkah nikah
dan harus dibayar sejak mulai iddah dan berlaku maksimal 9 bulan.
D.
Analisis
Ketika
dikaitkan dan diselaraskan dengan pengertian, syarat, tujuan, dan prinsip
perkawinan, dapat disimpulkan bahwa keberadaan nafkah adalah untuk menunjang
keberlangsungan kehidupan rumah tangga. Dengan demikian,suami atau istri dapat memenuhi kebutuhan dalam rumah sehingga
kelangsungan rumah tangga tetap berjalan.
Begitu
juga pengambilan nafkah dalam system hukum keluarga di Indonesia tidak mutlak menjadi tanggungan
suami seperti Pasal 32 ayat 1 dan 2 untuk mempunyai tempat tinggal tidak hanya
ditentukan oleh suami tetapi juga oleh istri.
Dalam
penerapannya sebenarnya wanita juga harus mengetahui kedudukan laki-laki apakah
mampu untuk memenuhi semua kebutuhan yang dituntut jadi harus saling
pengertian. Dalam prakteknya untuk memenuhi kebutuhan keluarga di Indonesia
berdasarkan siapa yang mempunyai kelebihan dan mempunyai pekerjaan maka itulah
yang memenuhi kebutuhan keluarga tidak peduli suami atau istri.
Berbeda
dengan Syria yang melakukan terobosan
yang signifikan dalam memberikan wewenang kepada istri untuk menuntut hak
nafkahnya yang begitu luas. Nafkah suami terhadap istri selama perkawinannya itu
dibangun atas akad yang sah, terlepas istrinya muslim atau tidak, kaya atau
miskin. Kewajiban ini sudah menjadi kesepakatan para ulama.
Perintah pemberian nafkah ini berdasarkan al-Qu’an, al-Sunnah, al-Qiyas,
al-Ijma’.
Undang-Undang
Hukum Keluarga negara Syria telah melakukan
begitu mendetail membahas masalah nafkah ini.
Lingkup pembiayaan nafkah tidak hanya terbatas pada
sandang, pangan dan papan melainkan juga meliputi biaya-biaya pengobatan.
Bahkan perbedaan agama istri tidak menjadi penghalang akan wajibnya nafkah ini.
Selain itu juga istri mempunyai hak menolak untuk mendampingi suami jika suami
mengabaikan kewajiban ini. Dan lebih ekstrim lagi bahwa pengabaian kewajiban
ini bisa menjadi salah satu alasan istri untuk memohon perceraian. hukum yang diajarkan Islam sekaligus selaras dengan kebutuhan
masyarakat kontemporer.
Kompleksnya
peraturan tentang nafkah ini berbada dengan pandangan para ulama mazhab seperti dalam hal biaya pengobatan bukan menjadi tanggung jawab
suaminya. Menurut mereka, ongkos atau biaya pengobatan menjadi tanggungannya
sendiri atau keluarganya, karena obat-obatan tidaklah diinggap sebagai
kebutuhan pokok, mereka menganalogikannya dengan makanan cuci mulut. Makanan
jenis ini tidak harus ada atau disediakan. Hal ini disebabkan karena kondisi
masyarakat pada waktu itu secara umum tidak memerlukan pengobatan seperti sekarang
ini. Akan tetapi, dewasa ini kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan telah
menjadi bagian dari kebutuhan pokok. Wahbah al-Zuhaili-ahli fiqih kontemporer
dari Syiria– menolak pandangan para ulama empat mazhab di atas. Menurutnya
nafkah untuk kesehatan adalah termasuk kewajiban yang harus dipenuhi oleh
suami. Pemberian nafkah kesehatan merupakan bentuk dari mu’asyarah bi
al-Ma’ruf. Katanya: Bukanlah mu’asyarah bi al-ma’ruf namanya, kalau suami dalam
keadaan istrinya sehat dapat bersenang-senang (istimta’), tetapi manakala ia
sakit, lalu mengembalikannya kepada keluarganya. Ilustrasi Wahbah ini selaras
dengan aturan di Syiria, Tunisia bahkan Mesir.
Islam
mengajarkan agar dalam mempengaruhi kehidupan rumah tangga selaras dengan
prinsip perkawinan dengan saling membantu, saling melengkapi dan saling
melindungi sehingga tujuan perkawinan dapat dicapai.
Maka dapat dilihat dari uraian di atas indonesia dan
syria sama-sama melakukan pemaharuan hukum keluarga yang hampir sama dalam hal
hak nafkah. Tuntutan pembaharuan atas dasar hak perempuan juga mempengaruhi
adanya perubahan aturan ini.
Konsep nafkah tidak cukup dengan dasar konsep fikih
klasik karena itu perlu ada undang-undang yang mengatur secara jelassehingga
ada implikasi yang nyata dari peraturan tersebutuntuk memenuhi nafkah dalam
keluarga.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Menurut
ulama klasik nafkah wajib diberikan laki-laki kepada perempuan dengan salah
satu dasarnya surah al- Baqarah ayat 232 dan an-Nisa 34.Dan Menurut ulama kontemporer pemberian nafkah
bisa dilakukan oleh suami atau istri dengan melihat kontek pada zaman sekarang
suatu pekerjaan yang ada, tidak selalu memerlukan otot, tetapi memerlukan
skill.
2.
Hukum
perkawinan di Indonesia tidak mengatur nafkah secara khusus. Pemberian nafkah
kepada istri oleh suami wajib selama istri tidak nusyuz. Dalam pelaksanannnya, untuk memenuhi nafkah dalam keluarga tidak hanya dari suami tapi juga dari istri.
3.
Hukum
perkawinan di Syria mengatur secara detail tentang nafkah mulai dari akomodasi sampai nafkah. Istri
dapat menuntut cerai ketika suami tidak memberikan nafkah secara penuh.
Daftar Pustaka
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam
Perspektif Fikih Dan Hukum Positif, Yogyakarta: UII Press, 2011.
Khoiruddin
Nasution, Hukum perkawinan I, Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZZAFA, 2005
Masnun Tahir, ”Hak-hak
Perempuan dalam Hukum Keluarga Syiria dan Tunisia” Al-Mawarid Edisi
XVIII Tahun 2008
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, alih
bahasa Maskur dkk, Jakarta: lentera, 2000.
Wahbah al-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islam wa
Adilatuh. Damaskus: Dar al-Fikr. X, 1989.
Al-Sayyid
Sabiq. 1977: hlm. 148