ARTI PERKAWINAN DITINJAU DARI MAZHAB HUKUM ALAM ATAU KODRAT
OLEH UMI SALAMAH SHODIQ
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia yang teratur tidak bisa lepas dari sebuah aturan.Aturan
yang mengikat pada diri manusia berawal dari arahan Allah SWT (syari’ah)
melalui kitab suci al-Qur’an, kemudian dikembangkan oleh para sahabat dan ulama’
fikih (faqih) untuk mencapai pada tingkat kemaslahatan. Hal ini diibaratkan
dengan memetik buah manis dari pohonnya Tuhan. Hasil dari pemikiran fuqoha’
ini disebut dengan fiqh.Kemudian, dikembangkan lagi menjadi Kompilasi
Hukum Islam dan Undang-Undang, yang mana dalam pembuatan ini tidak lagi dari
satu pemikiran ulama, melainkan dari beberapa pendapat ulama dan para tokoh
yang ahli dibidangnya, seperti sosiologi, sejarah, psikologi, dan lain-lain.
Dari paradigma ini, saya sebagai penulis makalah akan
mengkaji Undang-Undang No. 1 Tentang Perkawinan 1974 dan Inpres No. 1 Kompilasi
Hukum Islam 1991. Agar pembahasan tidak melebar, maka penulis makalah memfokuskan
pada arti dari perkawinan, Karena dari kedua sumber hukum tersebut terjadi
sebuah perbedaan, sehingga layak untuk dikaji bersama. Pemakalah akan menggunakan
pendekatan normatif-madzhab hukum alam (kodrat).
B.
Rumusan Masalah
Apakah Undang-Undang No. 1
Tentang Perkawinan 1974 dan Inpres No. 1 Kompilasi Hukum Islam 1991 tentang
arti perkawinan telah menerapkan konsep madzhab hukum alam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan pembahasan
ini adalah:
Untuk
mengetahui sejauh mana Undang-Undang No. 1 Tentang Perkawinan 1974 dan Inpres
No. 1 Kompilasi Hukum Islam 1991 telah menerapkan konsep hukum alampada arti
perkawinan.
II.
PEMBAHASAN
a.
Madzhab Hukum Alam ( Hukum Kodrat
)
Aliran ini berpendapat bahwa hukum itu berlaku universal
dan abadi. Sejarah hukum alam adalah sejarah umat manusia dalam usahanya untuk
menemukan apa yang dinamakan absolute justice (keadilan yang mutlak) di
samping sejarah tentang kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan tersebut.
Pengertian hukum alam berubah-ubah sesuai dengan perubahan masyarakat dan
keadilan politik.
Sepanjang sejarah dapat diketahui banyaknya peranan hukum
ini dalam berbagai fungsi, sperti misalnya:
-
Dipergunakannya hukum alam untuk mengubah
hukum perdata Romawi yang lama menjadi satu sistem hukum umum yang berlaku di
seluruh dunia.
-
Dipergunakan sebagai dasar hukum internasional
dan dasar kebebasan perseoranagn terhadap pemerintah yang absolut.
-
Dipergunakan dalam waktu yang berbea-beda
untuk mempertahankan segala bentuk ideologi
Adapun yang dijadikan sumber dalam madzhab hukum alam
adalah:
1. Hukum alam yang bersumber dari Tuhan (irrasional) dan
2. Hukum alam yang bersumber dari rasio manusia (akal)
Mengenai konsepsinya tentang hukum
alam ini, Thomas Aquino membagi asas-asas hukum alam itu dalam 2 (dua) jenis,
yaitu Principia Prima dan Principia Scundaria.Principia secundaria
diturunkan dari Principia prima. Lebih lanjut, Thomas Aquino mengatakan bahwa
principia prima itu tidak lain adalah asas-asas yang dimiliki oleh manusia semenjak
lahir dan bersifat mutlak dalam arti tidak dapat diasingkan darinya. Karena
sifatnya yang demikian, principia prima itu tidak dapat berubah di tempat
manapun dan dalam keadaan apa pun. Sebagai contoh, misalnya 10 (sepuluh)
Perintah Tuhan.Pemakalah mencontohkan sebagaimana sholat, puasa, zakat, dan
lain-lain.
Berlainan dengan principia prima, principia
scundaria yang merupakan asas yang diturunkan dari principia prima tidak
berlaku mutlak dan dapat berubah menurut tempat dan waktu (space and time).Dapat
diartikan bahwa principia itu merupakan penafsiran manusia dengan menggunakan
rasionya terhadap principia prima.Kemanusiaan ini bermacam-macam, dapat baik
atau buruk.Karena kadang-kadang ditafsirkan dengan tujuan untuk kepentingan
sendiri, pricipia scundaria ini tidak dapat mengikat masyarakat umum, baru
dapat mengikat umum jika positif memberikan kepada asas-asas ini kekuasaan
mengikat, misalnya dalam bentuk undang-undang.
Maka dalam makalah ini, sumber
dari madzhab hukum alam bagi umat islam ialah sebagaimana terdapat di dalam kitab
suci al-Qur’an.Adapun sumber hukum yang bersumber dari rasio manusia adalah UUP
dan KHI.Kemudian, penulis menganalisa arti perkawinan menurut UUP dan KHI
dengan hukum alam (kodrat).
b.
Penerapan Madzhab Hukum Alam
Terhadap Arti Perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tentang Perkawinan 1974 dan
Inpres No. 1 Kompilasi Hukum Islam 1991
Manusia adalah “makhluk psikologis” atau makhluk yang
memiliki rasa cinta-kasih.Cinta kasih bersumber pada ungkapan perasaan yang
didukung oleh unsur karsa yang dapat berupa tingkah laku dan pertimbangan oleh
akal sehingga menimbulkan tanggung jawab.Dalam cinta kasih tersimpul pula rasa
kasih sayang dan kemesraan.Belas kasihan dan pengabdian.Cinta kasih yang
disertai dengan tanggung jawab menciptakan keserasian, keseimbangan, dan
kedalaman antar sesama manusia, lingkungan, dan antara manusia dengan Tuhan.
Secara sederhana cinta kasih adalah perasaan kasih
sayang, kemesraan, belas kasihan dan pengabdian yang diungkapkan dengan tingkah
laku yang bertanggung jawab.Tanggung jawab artinya akibat yang baik, positif,
berguna, saling menguntungkan, menciptakan keserasian, keseimbangan, dan
kebahagiaan.
Naluri yang diberikan Allah ini,
jika tidak disalurkan dengan baik, maka akan berdampak negatif, oleh karena itu
agama Islam mensyariatkan sebuah jalinan pertemuan antara pria dan wanita yang
pertemuan tersebut diarahkannya kepada perkawinan.Sehingga dengan terlaksananyaperkawinandapat
mengusir hantu keterasingan dan juga dapat mengalihkan kerisauan menjadi
ketentraman.Sebagaimana Firman Allah QS. Ar-Rum
21:
ô`ÏBurÿ¾ÏmÏG»t#uä÷br&t,n=y{/ä3s9ô`ÏiBöNä3Å¡àÿRr&%[`ºurør&(#þqãZä3ó¡tFÏj9$ygøs9Î)@yèy_urNà6uZ÷t/Zo¨uq¨BºpyJômuur4¨bÎ)Îûy7Ï9ºs;M»tUy5Qöqs)Ïj9tbrã©3xÿtGtÇËÊÈ
Artinya:dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Jadi, perasaan yang dimiliki oleh manusia
yang bersifat kodrati tersebut dibagimenjadi dua,yaitu perasaan pokok dan
perasaan fundamental.Perasaan pokok meliputi rasa senang yang dihasilkan dari
perasaan fundamental, yaitu rasa kasih sayang.
Dengan begitu, maka arti perkawinan
dalam UUP telah sessuai dengan hukum kodrat Allah, yaitu perkawninan adalah ikatan
lahir batin antaraseorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami-istri.
Tapi ini tidak sejalan dengan arti
perkawinan menurut KHI, mengapa?Karena KHI mengartikan perkawinan adalah akad
yang sangat kuat atau gholiidzan untuk mentaati perintah Allah.
Ketika KHI mengartikan perkawinan mitsaqon
gholidzonyang didasarkan pada kitab Mughni Al-Muhtaj juz 3 halaman 421
dan surat An Nisa’ ayat 21 :
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Artinya: Dan mereka
(istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Berarti, mitsaqon ghalidzanyang
terdapat dalam KHI adalah mitsaqan ghalidzan kodrati (hukum Allah),
padahal mitsaqon ghzlidhanyang dimaksud di sini, hanya diartikan sebatas
“haqikat” dari sebuah perkawinan.Yang diikat melalui ijab dan qabul
(perkawinanan).Sedemikian
kokoh, sehingga bila mereka dipisahkan di dunia oleh kematian, maka mereka yang
taat melaksanakan pesan-pesan ilahi masih akan digabung dan hidup bersama kelak
di hari kemudian.
Jika arti perkawinan diartikan mitsaqon
ghalidzandalam KHI untuk mentaati perintah Allah (Hukum Allah), maka
perkawinan yang telah berlangsung tidak boleh dipisahkan, padahal Allah sendiri
masih memberi jalan kepada orang yang telah menikah untuk bercerai, dengan
thalaq.Meski, Allah sangat murka terhadap orang yang telah melakukan
perceraian.
Sekarang, kita lihat dari arti hukum itu sendiri. Hukum
atau yang biasa disebut syari’ah adalah “kumpulan perintah dan hukum-hukum yang
berkaitan dengan kepercayaan (iman-ibadah) dan hubungan kemasyarakatan (mu’amalah)
yang diwajibkan oleh Islam untuk diaplikasikan dalam kehidupan (keseharian:
pen) guna mencapai kemaslahatan masyarakat”.
Kemudian Ibn al-Qayyim menambahkan dalam hal ini, hukum
harus mengandung keadilan, rahmat, hikmah dan kebaikan.Oleh karenanya, jika
terdapat suatu aturan (yang mengatasnamakan Syari’at) yang menggantikan
keadilan dengan ketidakadilan, rahmat dengan lawannya, maslahat umum dengan
mafsadat, ataupun hikmah dengan omong kosong; maka aturan itu tidaklah termasuk
Syari’at, sekalipun diklaim demikian menurut beberapa interpretasi.
Sekarang kita kaitkan antar arti perkawinan dalam KHI dan
pasal lain yang terdapat dalam KHI, misalnya pada pasal 55 diperbolehkannnya
seseorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu (poligami), dengan batas
maksimal empat orang istri.Kemudian
pada pasal 84 dijelaskan istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau
melaksanakan kewajiban-kewajibanya terhadap suami. Tapi ini tidak berlaku jika suami
yang membangkang.Tentunya ini tidak membawa keadilan dan bertentangan dengan
hukum itu sendiri.
Padahal kita tahu bahwa sistem hukum dan politik di Indonesia
secara tekstual mengakui hak-hak dan kewajiban suami serta kesempatan yang sama
bagi perempuan dan laki-laki. UUD 1945 sebagai hukum tertinggi tidak membedakan
posisi laki-laki. Pasal 27 menegaskan perasamaan kedudukan laki-laki dan
perempuan di depan hukum, sebagai berikut;
1. Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada pengecualian.
2. Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi manusia.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut sangat jelas bahwa
secara legal formal Negara pada prinsipnya mengakui persamaan laki-laki dan
perempuan dan tidak mentolerir berbagai bentuk diskriminasi atau ketidakadilan
terhadap perempuan maupun laki-laki.
Berakitan dengan keadilan, al-Qur’anpun mengajarkan ada
empat prinsip yang harus mendasari hubungan laki-laki perempuan yang diajarkan
oleh al-Qur’an, yaitu persaman, persaudaraan, kemerdekaan dan keadilan.
Mengenai keadlian, al-Qur’an menyatakan bahwa keadilan
itu merupakan kebijakan yang paling dekat kepada takwa dan dipemerintahan untuk
ditegakkan bagi siapaun, baik di pemerintahan maupun keluarga.Allah
berfirman Q.S. al-Maidah: 8.
$pkr'¯»túïÏ%©!$#(#qãYtB#uä(#qçRqä.úüÏBº§qs%¬!uä!#ypkàÅÝó¡É)ø9$$Î/(wuröNà6¨ZtBÌôftãb$t«oYx©BQöqs%#n?tãwr&(#qä9Ï÷ès?4(#qä9Ïôã$#uqèdÜ>tø%r&3uqø)G=Ï9((#qà)¨?$#ur©!$#4cÎ)©!$#7Î6yz$yJÎ/cqè=yJ÷ès?ÇÑÈ
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa.dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ketika perkawinan diartikan ikatan mitsaqon gholidzan
yang harus ditaati karena perintah Allah, dan melakukannya merupakan ibadah.Maka
akanmembawa kegelisahan bagi masyarakat dan adanya rasa tidak aman. Ketika kita
melihat bahwa di dalam KHI, pasal-pasalnya itu ada yang kontradiktif. Di satu
sisi disana tercantum untuk menta’ati perintah Allah (mitsaqan ghalidzan) akan
tetapi di pasal selanjutnya ada problem yang telah memperbolehkan untuk
berpoligami. Sebagaimana yang kita tahu, poligami dewasa ini selalu identik
dengan sebuah ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan.Bahkan Siti
Musda Mulia mengatakan poligami hakikatnya perselingkuhan yang dihalalkan, ini terjadi karena beberapa faktor, diantaranya perempuan sudah
terlanjur cinta dan tidak memiliki pilihan.
Islam mendambakan hubungan harmonis dan kedamaian.Akan
tetapi, tentu saja kedamaian tidak mungkin dapat tercipta bila rasa damai tidak
wujud dalam jiwa manusia.Karena itu, langkah pertama yang diajarkan Nabi
Saw.Adalah menanamkan rasa aman pada jiwa masing-masing pribadi, bukan dari
orang terlebih dahulu, tetapi dari dirinya sendiri, dan diupayakan oleh diri
sendiri.
Jika begini, hukum (KHI) tidak bisa berfungsi sebagai
rekayasa sosial atau yang biasa disebut dengan social
engineering.Seharusnya
hukum digunakan sebagai suatu sarana oleh pelopor perubahan (agent
of change) yang merupakan seseorang atau sekelompok orang yang mendapat
kepercayaan masyarakat sebagai pemimpin suatu lembaga kemasyarakatan.[16]Tapi
sebaliknya, pemerintah dalam hal ini (KHI), mengedepankan diskriminasi, bukan
sebuah keadilan.
Beda halnya dengan pengertian perkawinan menurut UUP, yang
mana disituterdapat sebuah rekayasa sosial yang dapat membawa kemakmuran dan
kedamaian.Hal ituterlihat dari arti perkawinan sendiri yang bertujuan “untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Dengan penjelasan ini semakin terlihat perbedaan antara
pengertian perkawinan menurut UUP dan KHI.Menurut penulis makalah ini,
pengertian dari UUP lebih sejalan dengan syari’at Islam dan kodrat hukum alam.
Terlihat jelas bahwa arti dari perkawinan UUP dan KHI sangat berbeda karena
yang satu menekankan adanya sebuah naluri manusia, dan di sisi lain menekankan
pada tataran hukum yang lebih condong tidak sesuai dengan prinsip kodrat alam.
Karena pada dasarnya antara pasangan suami istri harus “saling me”; saling
membantu, menyayangi, melengkapi dan lain sebagainya.mengingat mereka telah
disatukan dalam ikatan yang kuat nan suci. Dengan begitu maka akan membentuk keluarga
yang bahagia, kekal, tanpa diskriminasi dan ketidakadilan.
III.
PENUTUP
Arti dari perkawinan UUP telah sejalan dengan hukum kodrat. Karena
manusia diberi Allah naluri, kemudian disatukan dalam pernikahan yang
mengandung ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dan perempuan.Lain
halnya dengan KHI yang menganggap perkawinan merupakan mitsaqon gholidznon
sebagai perintah Allah, yang seakan-akan ikatan tersebut tidak dapat
dipisahkan, dan ironisnya dalam pasal 55 KHI diperbolehkannya suami memiliki
istri lebih dari satu, tentunya ini merupakan diskriminasi dan ketidak adilan
terhadap perempuan.