Minggu, 10 September 2017

Hak Istimewa Laki-laki dalam Keluarga Muslim



TUGAS INDIVIDU
REVIEW ARTICLE

Oleh: Umi Salamah Shodiq
NIM :1320311060

Hak Istimewa Laki-laki dalam Keluarga Muslim
A.      Pendahuluan
Adanya tulisan ini karena kegelisahan dari penulis tentang hubungan suami istri dalam rumah tangga. Hubungan suami istri dalam Islam adalah sebagai relasi yang saling mendukung. Hak dari istri adalah kewajiabn suami dan hak suami adalah kewajiban istri, antara hak dan kewajiban ini harus berimban tidak boleh saling tumpang tindih. Sehingga patut dibahas tulisan yang berjudul batas keistimewaan suami dalam hukum perkawinan Islam yang ditulis oleh Ach. Fajruddin fatwa.
Ach. Fajruddin Fatwa adalah Dekan Fakutas Syariah IAIN Sunan Ampel, pendidikan  S1 di Universitas Bayangkara, selanjutnya PPS IAIN Sunan Ampel, kemudian pendidikan dilanjutkan Student Of Doctoral Degri di Universitas Brawijaya Malang. Fokus penelitian dan keahliannya yaitu applied social research, comunikative english language teaching, conflik and resolution, Islamic panel law, indonesian criminal law, human right and minority studies. Hasil karya penelitian baik berupa buku maupun jurnal diantaranya yaitu Dekontruksi kerangka epistimologi hukum Islam, jurnal Fakutas Usuluddin, IAIN Sunan Ampel Vol.III, Problematika Islam kontemporer di Indonesia: Confirmatory Research Methodelogy. Surabaya IAIN Press, Membumikan syariah Islam dan menghormati HAM, Jurnal Al-Adalah, Vol IV.

B.       PEMBAHASAN
Dalam hukum keluarga dipahami oleh sebagian orang bahwa ada hak khusus atau istimewa untuk seorang suami. Adanya anggapan sebagian masyarakat muslim bahwa pria adalah sosok yang telah ditakdirkan oleh Tuhan untuk menjadi pemimpin  dalam keluarga dan perempuan adalah sosok yang perlu dibimbing. Sehingga ini mengakibatkan adanya bentuk penyimpangan existensi dalam ranah publik dan penyebab rusaknya tatanan sosial. Bagaimana kita bisa menerima tatanan sosial dalam rumah tangga yang tidak imbang ini. Seorang suami dengan menggunakan ayat-ayat tertentu dianggap memiliki keistimewaan mutlak terhadap istrinya sehingga seorang istri harus taat, tunduk, dan patuh kepada suami.
Penulis  menganalisa dengan menggunakan analisis tafsir ayat ahkam untuk mengkaji ulang doktrin dengan menganalisa ayat yang selama ini digunakan sebagai klaim keistimewaan laki-laki. Pemaparan data menggunakan metode dekostruksi teologis dengan berusaha merontruksi legalitas suami memaksa istri dalam hubungan seks, membongkar mitos kuasa suami terhadap istri sekaligus mereformulasi kehendak teks yang disalahgunakan oleh banyak kalangan.
Ini bukanlah teori baru karena disini penulis memaparkan data dengan mengutip dari pendapat yang mendukung atau yang berkaitan dengan bahasa yang ditulis. Pendekatan yang digunakan lebih bersifat pengomparasikan antara paradigma teologis dan paradigma sosiologis. Sehingga menjadi pemahaman yang utuh.
 Teori tentang relasi laki-laki dan perempuan juga ditulis oleh Khoiruddin Nasution. Teori perumusan teks dalam buku perkawinan 1 dibagi menjadi dua yaitu pendekatan normatif yang juz”i/parsial/atomistik.  Yaitu memahami permasaahan dengan memahami beberapa teks atau salah satu teks secara berdiri sendiri tanpa dihubungkan dengan nash yang lain yang relevan, dan membahas topik yang sama. Teori kedua yaitu formulasi fikh munakahat yang menggunakan pendekatan induktif, integral, hermeutik yaitu membahas relasi suami istri dengan pembahasan yang menyatu, terpadu, dan kontekstual. Misalnya status manusia yang diproklamaskan oleh al-Quran dan sunnah Nabi SAW yang mensejajarkan laki-laki dan perempuan, bahwa unsur yang membedakan antara seseorang dengan lainnya adalah kualitas taqwa dan amal salehnya.[1]
 Fakta ahistoris emiris status perempuan dipahami sebagian kalangan  sebagai konco wingking yang kurang dihargai sebagaimana mestinya.  Dalam pernikahan hubungan suami dan istri adalan perikatan ibadah yang sangat kuat. Ini meletakkan posisis suami dan istri adalah relasi sejajar sehingga mempunyai hak yang berimbang. Klaim teologis dimanipulasi untuk mengukuhkan dominasi suami atas istrinya. klaim teologis merupakan  klaim perantara guna melindungi klaim sosiologis yang mereka inginkan.
Seperti yang dipaparkan penulis dengan mengutip surah an-Nisa’: 34
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Ungkapan qawwam  dalam terjemahan Depag, menggunakan symantical meaming laki-laki adalah pemimpin perempuan. Hal ini berbeda dengan terjemahan bahasa inggris dengan pragmatical meaning, qawwam diterjemahkan dalam pelindung, pihak laki-laki adalah pelindung pihak perempuan. Konsenkuensi jika laki-laki adalah pemimpin, perempuan bawahan atau yang dipimpimpin sehingga ketaatan istri adalah barometer kesolehan yang melekat pada dirinya.
Penulis yang bidang kajiannya adalah masalah  konflik dan resolusi juga membahas tentang nusyuz atau pembangkangan istri terhadap perintah suami. Beberapa landasan normatif membolehkan suami memukul istri jika dipahami dengan satu potong ayat tersebut dengan tidak melihat kesinambungan dengan yang lainnya maka seakan-akan memukul istri adalah sebuah syariat. Jika Upaya pemukulan sebagai ultimum remedium dapat dibenarkan dalam rangka memberikan pendidikan maka upaya pemukulan ini sangat bertolak belakang dengan gagasan damai yang digariskan agama Islam.
Bahkan ulama salaf sebagaimana yang  dicuplik penulis berpendapat “jika istri nyata-nyata melakuakn nusyuz kepada suami, maka langkah penyelesainnya adalah:[2]
1.             Nasehat lemah lembut sambil mengingatkan kepada Allah, apabila tidak berhasil suami boleh berkata tegas kepadanya.
2.             Berpisah ranjang, apabila tidak berhasil suami berhak tidak melaksanakan kewajibannya kepada istri.
3.             Apabila tidak berhasil suami berhak:
a.                  Menempeleng dan mendorong kepalanya agar  dirasakan istri.
b.                  Apabila tidak berhasil, suami berhak mencambuk istri dengan cemeti/tali yang lembut dengan syarat tidak berdarah dan merobek kulit.
c.                  Apabila tidak berhasil, suami berhak mengikat istri dengan tambang serta menggelak kewajiban kepada istri.
Dari sini muncullah pertanyaan siapakah yang salah atau apakah yang salah terhadap pembenaran pemukulan seorang suami kepada istrinya guna menghadapi doktrin yang sudah mengkristal ini penulis mencoba memfalsikan pemikiran dan merekonstruksi pemahaman.
1.         Pertama dengan as-babun nuzul ayat 34 surah An-Nisa’ yaitu peristiwa pemukulan yang dilakukan Saad kepada istrinya, ayah Habilah tidak terima dan melapor kepada Nabi, pemukulan tersebut tidak bisa dianggap melegalisasi pembolehan melakukan pemukulan tetapi justru manjustifikasi pelanggaran pemukulan suami kepada istrinya.
2.         Kedua pemahaman makna wadribu pada makna semantik berarti memukul dan pada makna progmatik berarti memberi contoh.
3.         Dalam ranah sosiologi istri tidak melaksanakan perintah suaminya, karena kualitas pendidikan, pengalaman, dan pemahaman atas suatu masalah, bukan karena membangkan atas esensi sebagai istri akan tetapi keengganan melaksanakan perintah suami karena istri memang tidak mampu melaksanakannya. [3]
C.       Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa dikemukakan setelah membaca karya Ach. Fajruddin Fatwa yaitu dalam memahami hukum tidak hanya cukup dengan pemahaman teks tetapi harus dipahami juga secara kontektual. Disini lebih fokus pada surah an-Nisaa’ ayat 34.  Solusi yang ditawarkan penulis ini untuk menjawab pokok permasalahan disini yaitu dalam memaknai suatu nash tidak cukup secara teologis tetapi juga harus menyesuaikan dengan kontektual  sehingga tidak berakibat adanya diskriminasi terhadap hubungan suami dan istri. Tetapi disini masih ada yang membingungkan yaitu terhadap yaitu terhadap makna al-rijal penulis mengartikan secara makna makrifat yaitu tidak semua laki-laki memilki otoritas mutlak kepada istrinya.[4] Ini terkesan ada  hak istimewa terhadap laki-laki tertentu. Sehingga masih ada diskriminasi terhadap perempuan/istri. Perkawinan tidak akan mendiskriminasikan salah satu pihak jika semua saling keterkaitan, baik dalam pemaknaan suatu ayat al-Qu’an dan Hadis, seperti prinsip-prinsip perkawinan tidak bisa dipisahkan dari tujuan perkawinan berimbang yang ditulis oleh Prof. Dr. khoiruddin Nasution, Ma. Sehingga hak suami dan istri berimbang dalam rumah tangga.


[1] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1,(Yogyakarta: ACAdemia & TAZZAFA, 2005), hlm. 1-9  
[2] Ach. Fajruddin Fatwa, Batas Keistimewaan Suami dalam Hukum Perkawinan Islam, al-Hukama’ Vol.1 No.1, Juni 2011.hlm 42
[3] Ibid hlm: 45-47.
[4]. Ibid, hlm. 48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

catatan penyanya ilmu kalam

03-11-2019 Erik: nama tokoh kiodariyah yang berasal dari negeri irak? ma’bad al-jauhani dan ghailan ad-dimasyqi. Dapat dari irak yang b...