TUGAS
INDIVIDU
REVIEW
ARTICLE
Oleh: Umi Salamah Shodiq
NIM :1320311060
Hak Istimewa Laki-laki dalam Keluarga
Muslim
A. Pendahuluan
Adanya
tulisan ini karena kegelisahan dari penulis tentang hubungan suami istri dalam
rumah tangga. Hubungan suami istri dalam Islam adalah sebagai relasi yang
saling mendukung. Hak dari istri adalah kewajiabn suami dan hak suami adalah
kewajiban istri, antara hak dan kewajiban ini harus berimban tidak boleh saling
tumpang tindih. Sehingga
patut dibahas tulisan yang berjudul batas keistimewaan suami dalam hukum
perkawinan Islam yang ditulis oleh Ach. Fajruddin fatwa.
Ach.
Fajruddin Fatwa adalah Dekan Fakutas Syariah IAIN Sunan Ampel, pendidikan S1 di Universitas Bayangkara, selanjutnya PPS
IAIN Sunan Ampel, kemudian pendidikan dilanjutkan Student Of Doctoral Degri di
Universitas Brawijaya Malang. Fokus penelitian dan keahliannya yaitu applied social research, comunikative
english language teaching, conflik and resolution, Islamic panel law,
indonesian criminal law, human right and minority studies. Hasil karya
penelitian baik berupa buku maupun jurnal diantaranya yaitu Dekontruksi kerangka epistimologi hukum
Islam, jurnal Fakutas Usuluddin, IAIN Sunan Ampel Vol.III, Problematika Islam kontemporer di
Indonesia: Confirmatory Research
Methodelogy. Surabaya IAIN Press, Membumikan syariah Islam dan menghormati HAM, Jurnal
Al-Adalah, Vol IV.
B. PEMBAHASAN
Dalam
hukum keluarga dipahami oleh sebagian orang bahwa ada hak khusus atau istimewa
untuk seorang suami. Adanya anggapan sebagian masyarakat muslim bahwa pria
adalah sosok yang telah ditakdirkan oleh Tuhan untuk menjadi pemimpin dalam keluarga dan perempuan adalah sosok
yang perlu dibimbing. Sehingga ini mengakibatkan adanya bentuk penyimpangan
existensi dalam ranah publik dan penyebab rusaknya tatanan sosial. Bagaimana kita bisa menerima
tatanan sosial dalam rumah tangga yang tidak imbang ini. Seorang
suami dengan menggunakan ayat-ayat tertentu dianggap memiliki keistimewaan
mutlak terhadap istrinya sehingga seorang istri harus taat, tunduk, dan patuh
kepada suami.
Penulis
menganalisa dengan menggunakan analisis
tafsir ayat ahkam untuk mengkaji ulang doktrin dengan menganalisa ayat yang
selama ini digunakan sebagai klaim keistimewaan laki-laki. Pemaparan data
menggunakan metode dekostruksi teologis dengan berusaha merontruksi legalitas
suami memaksa istri dalam hubungan seks, membongkar mitos kuasa suami terhadap
istri sekaligus mereformulasi kehendak teks yang disalahgunakan oleh banyak
kalangan.
Ini
bukanlah teori baru karena disini penulis memaparkan data dengan mengutip dari
pendapat yang mendukung atau yang berkaitan dengan bahasa yang ditulis. Pendekatan
yang digunakan lebih bersifat pengomparasikan
antara paradigma teologis dan paradigma sosiologis. Sehingga menjadi pemahaman yang utuh.
Teori tentang relasi laki-laki dan perempuan
juga ditulis oleh Khoiruddin Nasution. Teori perumusan teks dalam buku perkawinan
1 dibagi menjadi dua yaitu pendekatan normatif yang
juz”i/parsial/atomistik. Yaitu memahami
permasaahan dengan memahami beberapa teks atau salah satu teks secara berdiri sendiri tanpa dihubungkan dengan
nash
yang lain yang relevan, dan membahas topik yang sama. Teori kedua
yaitu formulasi fikh munakahat yang menggunakan pendekatan induktif, integral,
hermeutik yaitu membahas relasi suami istri dengan pembahasan yang menyatu,
terpadu, dan kontekstual. Misalnya status manusia yang diproklamaskan oleh
al-Quran dan sunnah Nabi SAW yang mensejajarkan laki-laki dan perempuan, bahwa
unsur yang membedakan antara
seseorang dengan lainnya adalah kualitas taqwa dan amal salehnya.[1]
Fakta ahistoris emiris status perempuan
dipahami sebagian kalangan sebagai konco
wingking yang kurang dihargai sebagaimana mestinya. Dalam pernikahan hubungan suami dan istri
adalan perikatan ibadah yang sangat kuat. Ini meletakkan posisis suami dan
istri adalah relasi sejajar sehingga mempunyai hak yang berimbang. Klaim teologis
dimanipulasi
untuk mengukuhkan dominasi suami atas istrinya. klaim
teologis merupakan klaim perantara guna melindungi klaim sosiologis yang
mereka inginkan.
Seperti
yang dipaparkan penulis dengan mengutip surah an-Nisa’: 34
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha besar.
Ungkapan
qawwam dalam terjemahan Depag,
menggunakan symantical meaming laki-laki adalah pemimpin
perempuan. Hal ini berbeda dengan terjemahan bahasa inggris dengan pragmatical meaning, qawwam diterjemahkan dalam pelindung, pihak laki-laki adalah
pelindung pihak perempuan. Konsenkuensi jika laki-laki adalah pemimpin,
perempuan bawahan atau yang dipimpimpin sehingga ketaatan istri adalah
barometer kesolehan yang melekat pada dirinya.
Penulis
yang bidang kajiannya adalah masalah konflik
dan resolusi juga membahas
tentang nusyuz atau pembangkangan istri terhadap perintah suami. Beberapa landasan
normatif membolehkan suami memukul istri jika dipahami dengan satu potong ayat
tersebut dengan tidak melihat kesinambungan dengan yang lainnya maka
seakan-akan memukul istri adalah sebuah syariat. Jika Upaya pemukulan sebagai ultimum
remedium dapat dibenarkan dalam rangka memberikan pendidikan maka upaya pemukulan ini sangat bertolak belakang
dengan gagasan damai yang digariskan agama Islam.
Bahkan ulama salaf sebagaimana yang dicuplik penulis berpendapat “jika istri
nyata-nyata melakuakn nusyuz kepada suami, maka langkah penyelesainnya adalah:[2]
1.
Nasehat lemah lembut sambil mengingatkan kepada Allah,
apabila tidak berhasil suami boleh berkata tegas kepadanya.
2.
Berpisah ranjang, apabila tidak berhasil suami berhak
tidak melaksanakan kewajibannya kepada istri.
3.
Apabila tidak berhasil suami berhak:
a.
Menempeleng dan mendorong kepalanya agar dirasakan istri.
b.
Apabila tidak berhasil, suami berhak mencambuk istri
dengan cemeti/tali yang lembut dengan syarat tidak berdarah dan merobek kulit.
c.
Apabila tidak berhasil, suami berhak mengikat istri
dengan tambang serta menggelak kewajiban kepada istri.
Dari
sini muncullah pertanyaan siapakah yang salah atau apakah yang salah terhadap
pembenaran pemukulan seorang suami kepada istrinya guna menghadapi doktrin yang sudah mengkristal
ini penulis mencoba memfalsikan
pemikiran dan merekonstruksi pemahaman.
1.
Pertama dengan
as-babun nuzul ayat 34 surah An-Nisa’
yaitu peristiwa pemukulan yang dilakukan
Saad kepada istrinya, ayah Habilah tidak terima dan melapor kepada Nabi,
pemukulan tersebut tidak bisa dianggap melegalisasi pembolehan melakukan pemukulan tetapi justru
manjustifikasi pelanggaran pemukulan suami kepada istrinya.
2.
Kedua pemahaman
makna wadribu pada makna semantik berarti memukul dan pada makna progmatik berarti
memberi contoh.
3.
Dalam ranah
sosiologi istri tidak melaksanakan perintah suaminya, karena kualitas
pendidikan, pengalaman, dan pemahaman atas suatu masalah, bukan karena membangkan
atas esensi sebagai istri akan tetapi keengganan melaksanakan perintah suami
karena istri memang tidak mampu melaksanakannya. [3]
C. Kesimpulan
Kesimpulan yang bisa dikemukakan setelah membaca karya
Ach. Fajruddin Fatwa yaitu dalam memahami hukum tidak hanya cukup dengan
pemahaman teks tetapi harus dipahami juga secara kontektual. Disini lebih fokus
pada surah an-Nisaa’ ayat 34. Solusi yang ditawarkan
penulis ini untuk menjawab pokok permasalahan disini yaitu dalam memaknai suatu nash tidak cukup secara teologis tetapi juga harus
menyesuaikan dengan kontektual sehingga tidak berakibat adanya diskriminasi
terhadap hubungan suami
dan istri.
Tetapi disini masih ada yang membingungkan yaitu terhadap yaitu terhadap makna
al-rijal penulis mengartikan secara makna makrifat yaitu tidak semua laki-laki
memilki otoritas mutlak kepada istrinya.[4] Ini
terkesan ada hak istimewa terhadap
laki-laki tertentu. Sehingga masih ada diskriminasi terhadap perempuan/istri. Perkawinan
tidak akan mendiskriminasikan salah satu pihak jika semua saling keterkaitan, baik
dalam pemaknaan suatu ayat al-Qu’an dan Hadis, seperti prinsip-prinsip
perkawinan tidak bisa dipisahkan dari tujuan perkawinan berimbang yang ditulis
oleh Prof. Dr. khoiruddin Nasution, Ma. Sehingga hak suami dan istri berimbang dalam rumah
tangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar