Minggu, 10 September 2017

perbandingan antara perkembangan ketentuan talak dan cerai dalam Perundang-undangan Hukum Keluarga di Indonesia dan Mesir



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Dunia Islam mempunyai pengalaman yang sangat beragam mengenai berbagai upaya yang dilakukan untuk mempertahankan eksistensi “hukum-hukum” agamanya, mulai dari yang paling “ekstrim kiri” sampai yang “ekstrim kanan” . Ekstrim kiri yang dimaksud adalah negara-negara muslim yang sangat kental dengan faham sosialismenya dalam menerapkan hukum Islam dalam ranah kehidupan negara. Sedangkan ekstrim kanan merupakan kekuatan Islam yang tumbuh dan berkembang dengan visi dan misi menerapkan syariat Islam sebagai paradigma hukum yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga sistem sosial yang dibangun berlandaskan kepada hukum Islam.
Upaya untuk melaksanakan hukum Islam di berbagai Negara yang paling menonjol adalah dalam bidang hukum keluarga. Hukum keluarga mempunyai posisi yang penting dalam Islam. Hukum keluarga dianggap sebagai inti syari’ah.  Hal ini berkaitan dengan asumsi umat Islam yang memandang hukum keluarga sebagai pintu gerbang untuk masuk lebih jauh ke dalam agama Islam.
Mesir dan Indonesia adalah dua Negara yang mengalami pengalaman sejarah yang kuat mengenai Islam, meskipun Mesir memperolehnya lebih awal dan pengaruhnya lebih nyata terhadap struktur sosial masyarakat dari sejak awal datangnya Islam hingga sekarang.
Institusionalisasi merupakan sebuah proses menjadikan hukum Islam yang hidup di masyarakat menjadi bahan hukum di institusi hukum, yaitu peradilan. Dalam perjalanan sejarahnya, Islam di kedua Negara, Mesir dan Indonesia telah menjadi dasar kehidupan masyarakat. Islam tidak hanya mengakar dalam aspek-aspek sosial, tetapi juga dalam aspek hukum, saat lahir suatu kasus hukum, maka pemerintah menyelesaikannya dengan hukum agama.
Sejalan dengan penguatan institusionalisasi hukum, pemerintah Mesir dan Indonesia melakukan kodifikasi hukum untuk bahan hukum tertulis bagi para hakim di Peradilan Agama. Kodifikasi hukum yang membawa pengaruh pada substansi hukum keluarga Islam di Mesir terjadi tahun 1897, kemudian diamendemen tahun 1909, 1910, 1923 dan 1931. Usaha kodifikasidi Mesir ini berjalan lambat dan dalam rentang waktu yang panjang. Seluruh kodifikasi hokum keluarga Islam ini tidak diunifikasi dalam buku hukum, tetapi dalam bentuk draft di sejumlah peraturan.
Sementara di Indonesia, meski dibarengi oleh perdebatan sengit antara kubu nasionalis dan Islamis, pemerintah akhirnya mengesahkan Undang-undang hukum keluarga Islam dengan nama Hukum Perkawinan nomor 1 tahun 1974. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 ini merupakan jawaban dari kegalauan umat Islam ketika masih dalam bentuk rancangan undang-undang yang akhirnya undang-undang ini merupakan satu bentuk kompromi pemerintah dan para penentangnya dengan umat Islam yang mendukung. Pada dasarnya, keberadaan undang-undang ini menguatkan eksistensi hukum Peradilan Agama, dan secara tidak langsung mengukuhkan bahwa undang-undang ini adalah bukti konkrit dari perkembangan hokum keluarga Islam di tengah-tengah ideologi nasional Negara, yaitu Pancasila. Setelah undang-undang nomor 1 tahun 1974, proses institusionalisasi dan kodifikasi hukum Islam di Indonesia semakin nyata dengan ditetapkannya Undang-undang nomor 7 tahun 1989, dan Kompilasi Hukum Islam yang disahkan dengan Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991.
Pembahasan dalam tulisan ini bersifat deskriptif komparatif, yaitu yaitu perbandingan antara perkembangan ketentuan talak dan cerai dalam Perundang-undangan Hukum Keluarga di Indonesia dan Mesir. Pada dasarnya, tujuan diadakannya pembaruan di dua Negara ini sama, yaitu untuk mengangkat status wanita.[1]





B.  Pokok Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana konsep perceraian dalam fikih munakahat?
2.      Bagaimana perceraian dalam perundang-undangan di Indonesia?
3.      Bagaimana perceraian dalam perundang-undangan di Mesir?

C.  Tujuan Pembahasan
Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui dan memahami konsep perceraian dalam fikih munakahat.
2.      Untuk mengetahui dan memahami perceraian dalam perundang-undangan di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui dan memahami perceraian dalam perundang-undangan di Mesir.
















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Konsep Perceraian dalam Fikih Munakahat
Pada umumnya ulama-ulama fikih berbeda pendapat dalam penetapan hukum suatu kasus. Tidak terkecuali dalam hal putusnya perkawinan. Perbedaab pendapat ulama ini bisa dipahami, karena metode ijtihad dalam penetapan hukum juga terdapat perbedaan di kalangan ulama, perbedaan penafsiran nash dan perbedaan sosio-kultural di masa mereka hidup. Oleh karena itu tidak mengherankan jika terjadi perbedaan dalam hal putusnya perkawinan.
Putusnya perkawinan, menurut kalangan Malikiyah pada umumnya disebabkan oleh talak, khulu’, fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’, dan zhihar.[2] Menurut kalangan Hanafiyah putusnya perkawinan disebabkan oleh talak, khulu’, ila’, dan zhihar.[3] Sedangkan menurut Syafi’iyah diantara sebab-sebab terjadinya perceraian antara lain talak, khulu’, fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’, zhihar dan li’an.[4]
Menurut Ahmad Rafiq, secara garis besar hal-hal yang menyebabkan putusnya perkawinan dalam perspektif fikih disebabkan oleh empat hal, yaitu: pertama, nusyuz dari pihak isteri, kedua, nusyuz suami terhadap isteri, ketiga, syiqaq dan keempat, salah satu pihak melakukan perbuatan zina.[5]
Pertama, talak. Perceraian dalam istilah ahli fikih disebut “talak” atau “furqah”. Adapun arti talak ialah: membuka ikatan membatalkan perjanjian. Sedangkan furqah artinya bercerai, yaitu lawan dari berkumpul. Kemudian kedua kata itu dipakai oleh para ahli fikih sebagai satu istilah, yang berarti: perceraian antara suami-isteri.[6] Pendapat lain mengatakan bahwa talak adalah lepasnya ikatan tali pernikahan dengan kata talak dan sejenisnya.[7]
Dasar hukum talak antara lain QS Al-Baqarah ayat 229; Surat Ath-Thalaq ayat 1. Dasar hukum lain aalah dari hadits yang artinya “Pernuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak” (HR. Abu Daud, Nasa’i dan Ibn Majjah dengan Isnad shahih). Dalam khazanah fikih, hak untuk men-talak hanya dimiliki oleh suami. Hal ini menurut Az-Zuhaili disebabkan oleh dua hal, pertama, pada umumnya, secara psikologis wanita lebih mengedepankan perasaaan, sedangkan perasaan wanita cukup lembut, sehingga apabila wanita mempunyai hak talak ia akan mudah mengucapkannya meskipun hanya dengan sebab yang spele atau alasan yang tidak signifikan. Kedua, kaum laki-laki, dalam hal ini adalah suami mempunyai tanggung jawab yang besar, mukai dari mahar, nafkah, nafkah pada waktu iddah dan lain-lain.[8]
Dari segi akibat hukumnya, Imam Syafi’i membagi talak menjadi talak ba’in kubro atau talak tiga, yaitu pertama, talak tiga, kedua, talak ba’in, dan ketiga talak raj’i.[9] Akibat hokum dari talak ba’in kubra adalah tidak diperbolehkannya ruju’ kecuali bekas isteri telah dinikahi oleh laki-laki lain didukhul kemudian dicerai. Setelah masa idddah dengan laki-laki lain maka baru boleh ruju’ dengan suami yang telah menalak tiga. Selain itu, apabila terjadi talak ba’in kubra maka isteri tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari bekas suami. Sedangkan akibat hokum dari talak raj’i adalah suami masih berhak merujuk dan suami tidak boleh mengusir isteri dan isteri dilarang keluar rumah kecuali ada alas an yang dibenarkan oleh syara’.[10]  
Kedua, khulu’. Imam Syafi’i mendeefinisikan khulu’ sebagai talak yang dijatuhkan oleh suami dengan syarat sang isteri memberi tebusan (iwadh). Sedangkan menurut kalangan Malikiyyah khulu’ sama halnya dengan talak ba’in. Begitu juga dalam hal akibat hukumnya, kalangan syafi’i juag berpendapat bahwa khulu’ tidak ada ruju’ dan sang isteri tidak berhak mendapat tempat tinggal. Dasar hukum khulu’ antara lain, QS Al-Baqarah ayat 229; An-Nisa; ayat 4 dan ayat 128.
Menurut Maliki, khulu’ ini dapat diwakili oleh wali atau orang lain.[11] Adapun syarat-syarat khulu’ yaitu: 1). Suami harus cakap hukum; 2). Status wanita yang menuntutu cerai adalah isterinya yang sah; 3). Ganti rugi merupakan barang berharga yang juga dapat dijadikan mahar.
Ketiga, fasakh. Menurut kalangan Syafi’iyyah fasakh adalah perpisahan atau perceraian suami dengan isteri yang diakibatkan oleh alasan-alasan tertentu, seperti antara suami dan isteri ternyata masih mahram, yang mengakibatkan suami dan isteri haram untuk menjalin ikatan sebagai suami isteri. Menurut Imam Malik fasakh terjadi apabila salah satu dari suami atau isteri mengidap penyakit gila, kudis dan penyakit kelamin yang fatal, seperti impoten. Adapun akibat hukum dari terjadinya fasakh adalah tidak ada ruju’, dan kemungkinan untuk berkumpul kembali hanya denga nikah baru, isteri tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.
Keempat, syiqaq, yaitu percekcokan yang terjadi antara suami dan isteri. Proses yang seharusnya dilalui dalam syiqaq adalah dengan mengangkat juru damai dari masing-masing pihak yang bersangkutan.
Kelima, nusyuz, yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. Nusyuz dari pihak suami adalah bersikap keras terhadap isterinya, tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. Menurut Syafi’i ada perbedaan antara nusyuz suami dan isteri. Apabila yang nusyuz suami maka jalan keluar yang ditempuh adalah dengan perdamaian. Sementara apabila yang nusyuz isteri maka dapat ditempuh dengan tiga jalan keluar, menasehati, membiarkan sendirian di tempat tidur atau memukul. Namun untuk memukul harus ada syarat yang harus dipenuhi.
Keenam, ila’. Menurut hanafi ila’adalah sumpah yang disertai nama Allah atau salah satu dari sifta-Nya bahwa suami tidak akan menggauli isterinya selama waktu tertentu. Sedangkan menurut Syafi’i ila’ adalah sumpah suami yang sah talaknya untuk tidak  menggauli isterinya secara mutlaak (tidak terbatas waktu) atau lebih dari empat bulan dengan menggunakan kata Allah maupun salah satu nama-Nya. Dasar hukum ila’ antara lain dalam surat Al-Baqarah ayat 226-227.
Menurut Hanafi syarat ila’ adalah: 1). Wanita yang disumpah masih berstatus isteri; 2). Suami cakap hukum atau sah talaknya; 3). Tidak terikat dengan tempat; 4). Lafazh ila’ tidak terkait dengan bagian tubuh isteri; dan 5). Suami tidak menggauli isterinya selama empat bulan.[12]
Ketujuh, li’an, yaitu tuduhan suami terhadap isteri bahwa ia telah berzina. Dasar hukum li’an adalah surat An-Nur ayat 6-8. Menurut Hanafi li’an harus: 1). Di hadapan hakim; 2). Dilakukan setelah diminta oleh hakim; 3). Lafazh li’an diucapkan lima kali dan sumpah; 4). Lafazh li’an sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an; 5). Proses pengucapan dimulai empat kali ucapan sumpah kemudian diikuti dengan melaknat, dan boleh menunjuk pihak lain.
Kedelapan, zhihar, yaitu menyerupakan isteri dengan wanita yang menjadi mahram suami, seperti ibu, saudara perempuan kandung dan lain-lain, baik menyerupai secara keseluruhan, maupun sebagian anggota tubuh. Dasar hukum zhihar antara lain surat Al-Mujadalah ayat 2 dan surat Al-Maidah ayat 89. Akibat hukum zhihar yaitu 1). Suami tidak boleh menggauli isteri dan 2). Isteri berhak meminta digauli dan berhak menolak.[13]
Dari kedelapan hal-hal yang dapat mengakibatkan putusnya perkawinan di atas, hamper semuanya berada dalam kendali suami. Bahkan pada talaak, di dalam kitab-kitab fikih tidak terdapat keterangan yang jelas mengenai sebab-sebab yang membolehkan suami untuk mentalak isterinya. Dan dari sekian banyak sebab terjadinya perceraian hanya satu yang berada dalam kendali isteri, yaitu khulu’. Meskipun khulu’ menjadi hak isteri, itupun masih harus melalui ketentuan yang melibatkan suami. Ketentuan fikih juga tidak mengatur proses perceraian. Perceraian tidak harus dilakukan di depan sidang pengadilan atau di depan hakim.

B.  KETENTUAN TALAK DALAM PERUNDANG-UNDANGAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA
Pada dasarnya pembaruan Hukum Perceraian di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya, seperti Turki, Mesir, Tunisia, Maroko, Syiria, Irak dan lainnya. Namun demikian pembaruan yang terjadi di Indonesia lebih maju dibandingkan dengan Negara-negara Asia Tenggara, seperti Filipina, Singapura, Brunei Darussalam dan Thailand.[14]
1.      Sebab-sebab Perceraian
Pasal 38 UU No. 1/1974 menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena, 1). kematian, 2). perceraian, dan 3). atas putusan pengadilan. Mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan oleh putusan Pengadilan adalah apabila salah satu pihak suami atau isteri bepergian dalam waktu yang cukup lama tanpa ada kabar yang jelas. Undang-undang ini tidak menjelaskan berapa lama waktu yang menjadi alasan bagi Pengadilan untuk memutuskan cerai. Undang-undang ini juga tidak menjelaskan berapa jangka waktu untuk menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang itu.[15] Namun demikian hal ini akan jelas apabila merujuk pada pasal 493 Hukum Perdata (pasal 467 dan 468).
Di dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 19 disebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a)      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b)      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c)      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
d)     Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
e)      Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
KHI tampaknya menggunakan alur UU No.1/1974, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan-aturan yang lebih rinci.[16] KHI memuat masalah putusnya perkawinan pada Bab XVI. Dalam pasal 113 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena: 1) kematian, 2) perceraian dan 3) atas putusan Pengadilan. Pasal selanjutnya, pasal 114 menyebutkan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
Disini bisa dicermati bahwa KHI menambahkan talak dalam hal yang mengakibatkan perceraian. Hal ini berbeda dengan UU Perkawinan No.1/1974 yang tidak mengenal istilah talak, kemudian disebutkan dalam pasal 117 bahwa yang dimaksud talak adalah:
Ikrar suami di hadapan siding Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan pasal 131.
Di sini KHI mensyaratkan ikrar talak harus disampaikan di depan siding Pengadilan Agama. Hal ini senada yang disebutkan dalam pasal 66 ayat (1) UU No.7/1974.
Adapun yang menjadi alasan perceraian dijelaskan dalam pasal 116 yang menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a)      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b)      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c)      Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d)     Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e)      Salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f)       Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g)      Suami melanggar taklik talak;
h)      Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Berbagai alasan yang disebutkan pada poin-poin di atas merupakan alasan untuk permohonan cerai talak. Untuk poin terakhir, (k), yaitu permohonan cerai karena terjadi percekcokan terus-menerus (syiqaq) dalam pasal 76 UU No. 7/1989, ayat 1) apabila gugatan perceraian berdasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat suami isteri. Kemudian ayat 2) Pengadilan setelah mendengar saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang ain untuk menjadi hakim.
Kemudian tentang permohonan cerai berdasarkan li’an dijelaskan dalam pasal 87 ayat 1 UU No. 7/1989 yang berbunyi “apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan bukan tiada apembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau tergugat untuk bersumpah”.
Berangkat dari pasal 116 KHI, ada tambahan dua sebab perceraian disbanding dengan pasal 19 PP No.9/1975 yaitu suami melanggar taklik talak dan murtad. Tambahan ini cukup penting, karena pada Undang-undang yang lain tidak disebutkan. UU No.1/1974 juga tidak menyinggung masalah murtad sebagai alasan perceraian. Penyebutan murtad sebagai salah satu sebab perceraian merupakan suatu kemajuan. Dengan demikian apabila salah satu pihak suami isteri keluar dari agama Islam, maka suami atau isteri dapat mengajukan permohonan cerai kepada Pengadilan.[17]
Selanjutnya KHI menyebutkan aturan-aturan tentang talak pada pasal 118-123. Dalam KHI disebutkan pembagian talak kepada talak raj’i, talak ba’in sughra dan talak ba’in kubra.

2.      Proses Perceraian
Menurut UU No. 1/1974 perceraian harus dilakukan di depan sidang Pengadilan, UU ini menjelaskannya dalam pasal 39 yang menyatakan:
(1)            Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2)            Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri.
(3)            Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.
Di dalam UU No. 7/1989 pasal 65 tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pegadilan yang bersangkutan berusah dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Sedangkan di dalam KHI pasal 115 dinyatakan:
Bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Mengenai tempat pengajuan permohonan cerai talak harus diajukan ke Pengadilan, hal ini berdasarkan UUPA No. 7/1989 pasal 66:
1)            Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
2)            Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
3)            Dalam hal termohon bertempat tinggal di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
4)            Dalam hal pemohon dan termohon bertempat tinggal di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Berbeda dengan UUPA No. 7/1989 yang tidak memuat aturan tatacara palaksanaan talak, KHI mengaturnya dalam pasal 129:
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tulisan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Keterangan di atas menjelaskan bahwa dalam perundang-undangan yang berlaku, telah diatur bagi siapa saja yang hendak menalak isterinya dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama. Permohonan tersebut dapat berupa lisan maupun tulisan dan harus disertai dengan bukti-bukti. Dan hal yang paling berbeda dengan ketentuan fikih adalah perceraian yang sah adalah perceraian yang dilakukan di depan sidang, hal ini diatur dalam pasal 39 UUP No. 1/1974, UUPA No. 7/1989 dan dalam KHI pasal 115.
Menyangkut saat mulai terjadinya perceraian karena talak dijelaskan dalam PP No. 9/1975 pasal 17 sebagai berikut:
Sesaat setelah dilakukan sidang Pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.
Selanjutnya pasal 18 menyatakan bahwa perceraian itu dihitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. Hal ini senada dengan yang dituangkan dalam KHI pasal 123:
Perceraian itu dihitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan.
Mengenai cerai gugat atau khulu’, gugatan perceraian harus diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat, kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.[18] Cerai gugat hanya boleh dilakukan apabila disertai dengan alasan-alasan yang tepat, seperti suami meninggalkan isteri selama dua tahun berturut-turut tanpa izin isterinya tanpa alasan yang sah atau suami seorang yang murtad dan tidak memenuhi kewajiban kepada isterinya, sedangkan isteri khawatir akan melanggar hukum Allah. Dalam kondisi seperti ini isteri tidak wajib menggauli suami dengan baik dan ia berhak untuk khulu’. Penjelasan mengenai khulu’ ini terdapat dalam pasal 148 KHI.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa apa yang ditetapkan dalam Undang-undang Hukum Keluarga telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan apabila disbanding dengan ketetapan yang ada dalam kitab-kitab fikih. Berkaitan dengan tujuan pembaruan, yaitu untuk mengangkat status social wanita juga sudah tampak, ini dapat kita cermati bahwa dalam kitab-kitab fikih tidak menjelaskan alasan-alasan bagi suami untuk menjatuhkan talak. Sedangkan dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, khususnya sekarang, untuk menjatuhkan talak harus ada alasan yang dikuatkan dengan saksi-saksi. Permohonan talak dengan alasan apapun harus diajukan ke Pengadilan serta harus diucapkan di depan sidang. Terjadinya perceraian baik dengan talak maupun gugat cerai terhitung sejak putusan Pengadilan Agama, putusan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai.
Namun demikian, pada umumnya perundang—undangan yang ada belum secara total menjunjung hak-hak dan martabat wanita, karena masih banyak pasal yang bias gender, seperti dalam masalah iddah. Hal ini dapat dipahami karena pada umumnya pembaruan perundang-undangan di Indonesia masih bertumpu pada kekuatan fikih.

C. KETENTUAN TALAK DALAM PERUNDANG-UNDANGAN HUKUM KELUARGA DI MESIR
Pada umumnya masyarakat muslim di Mesir menganut madzhab Syafi’i dan Hanafi.[19] Maka tidak heran apabila ketentuan-ketentuan yang digunakan dalam hukum keluarga di Mesir banyak mengambil dari kedua madzhab ini, khususnya sebelum terjadi pembaruan.
Dibandingkan Indonesia, Mesir lebih awal melakukan pembaruan perundang-undangan perkawinan. Mesir juga lebih sering melakukan pembaruan ini. Namun demikian bukan berarti perundang-undangan Mesir lebih lengkap dan lebih menjamin semua pihak.

1.      Sebab-sebab perceraian
Undang-undang Mesir tidak memberikan legitimasi kepada isteri untuk menuntut cerai kecuali ada kekerasan atau suami mengalami kelainan atau penyakit seksual seperti impoten. Madzhab Hanafi memang agak kaku (rigid), isteri harus menahan diri perceraian, jadi harus menghindari perceraian semaksimal mungkin. Hal ini berbeda dengan tiga madzhab lainnya, terutama madzhab Maliki.[20]
Pertama kali terjadi pembaruan pada Undang-undang Hukum Keluarga di Mesir adalah pada tahun 1915, pada masa daulah Utsmaniyyah. Dalam irada, Sultan menetapkan bahwa isteri dapat menuntut cerai apabila suami meninggalkan isterinya. Dalam irada lain ditetapkan bahwa seorang isteri dapat meminta cerai dengan alasan bahwa suami mengidap penyakit yang menyebabkan tidak mungkin hidup bersama sebagai suami isteri.[21] Kemudian pada tahun 1917 Sultan mengeluarkan ketetapan kembali melalui The Ottoman Law Family Rights yang menyatakan bahwa diperbolehkannya taklik talak bagi isteri dan suami tidak boleh nikah lagi dengan wanita lain. Ketetapan ini merupakan ketetapan pertama yang menjadi acuan pembaruan perundang-undangan hukum keluarga.[22]
Perkembangan selanjutnya adalah ketika Mesir menetapkan Undang-undang No. 25 Tahun 1920. Dalam Undang-undang ini ditetapkan bahwa pengadilan berhak untuk memutuskan cerai dengan alasan suami tidak mampu member nafkah, begitu juga apabila suami mengidap penyakit yang membahayakan. Dalam Undang-undang No. 25 Tahun 1929 alasan untuk menuntut talak diperluas. Dalam Undang-undang ini ditetapkan empat hal yang dapat dijadikan Pengadilan untuk menetapkan talak yaitu:
1.      Apabila suami tidak mampu untuk memberikan nafkah
2.      Apabila suami mempunyai penyakit menular atau membahayakan
3.      Apabila ada perlakuan yang semena-mena dari suami
4.      Apabila suami meninggalkan isteri dalam waktu yang cukup lama.
Menurut Khorudin Nasution, hal ini berarti bahwa Undang-undang tahun 1920 memberdayakan Pengadilan dan memperluas definisi penyakit membahayakan, sedangkan Undang-undang Tahun 1929 memberdayakan Pengadilan.
Pasal 2 UU No. 25 Tahun 1929 disebutkan bahwa talak yang diucapkan sebagai sumpah atau ancaman itu selayaknya dianggap mempunyai akibat hukum apabila suami yaang bersangkutan benar-benar menghendakinya. Dan di pasal 3 disebutkan bahwa isteri berhak mengajukan cerai apabila dirasa rumahtangga tetap diteruskan akan membahayakn isteri. Dan apabila terjadi pertengkaran yang tidak mungkin ada perdamaian, maka dalam keadaan seperti ini Pengadilan berhak menetapkan perceraian.[23]
Dalam hal suami meninggalkan isteri, UU tahun 1929 menyatakan bahwa apabila suami meninggalkan isteri selama satu tahun atau lebih tanpa ada alasan yang jelas dan tanpa keterangan, maka isteri berhak menuntut cerai. Apabila ternyata suami kembali, sebelum terjadi perceraian, maka ia harus meyakinkan isteri untuk meneruskan rumah tangga dan apabila gagal maka pengadilan berhak menetapkan perceraian.[24]
Pada bulan Juli 1979 Mesir menetapkan Undang-undang No. 44 yang di dalamnya menyatakan bahwa amandemen ini berisi lebih jauh mengenai amandemen Hukum Keluarga. Diantara isinya adalah isteri harus diberi tahu ketika suami akan melangsungkan poligami, atau poligami harus mendapatkan izin dari isteri, dan apabila isteri tidak mengizinkan maka ia berhak menuntut cerai. Apabila suami menyembunyikan fakta dari isteri kedua bahwa dia telah beristeri maka isteri kedua berhak menuntut cerai.

2.      Proses Perceraian
Mesir selalu berusaha memperbarui Undang-undang Hukum Keluarga untuk mengangkat status wanita. Namun demikian tidak selalu berhasil. Pada tahun 1943 dan 1945 Mentri Sosial menyiapkan draf yang di dalamnya menyebutkan bahwa seorang suami hanya boleh menceraikan isterinya setelah mendapat izin dari pengadilan dan petugas tidak boleh mencatatkan perceraian yang tidak diizinkan hakim. Pasal 2 menyebutkan bahwa hakim hanya memberikan izin perceraian kalau memang usaha perdamaian tidak berhasil. Orang yang melanggar aturan ini dapat dihukum dengan hukuman kurungan atau denda, meskipun perceraian tetap sah. Namun demikian draf  ini ditolak, karena ditentang oleh sejumlah ulama.[25]
Perkembangan selanjutnya yaitu pada tahun 1985. Dalam pasal 5 Undang-undang No. 100 tahun 1985 dinyatakan bahwa perceraian harus dicatatkan dalam sebuah sertifikat yang ditandatangani oleh notaris yang berwenang, 30 hari setelah terjadi perceraian. Keberadaan isteri harus diperhatikan kalau hadir pada waktu membuat sertifikat. Kalau tidak hadir, isteri harus dikirimkan salinan sertifikat dan pihak-pihak lain yang dianggap penting sesuai dengan prosedur yang ada, dan harus ditetapkan Menteri Kehakiman. Akibat perceraian terhitung dari tanggal sertifikat tersebut.[26]





















BAB III
KESIMPULAN
Pada umumnya ulama madzhab menyetujui hak talak mutlak suami, sementara isteri hanya mempunyai hak khulu’. Dengan demikian suami secara mutlak dapat menceraikan isterinya, sementara kalau isteri ingin cerai tetap harus melibatkan suami.
Pembaruan Perundang-undangan Hukum Keluarga, dalam hal ini yang berkaitan dengan talak dan cerai, baik di Indonesia maupun di Mesir masih bertumpu pada ketetapan yang ada dalam kitab-kitab fikih, sehingga maasih perlu terus dikembangkan sampai Undang-undang tersebut benar-benar menjunjung hak-hak dan statusnya. Namun demikian, sudah banyak kemajuan dalam hal talak dan cerai, baik di Indonesia maupun di Mesir harus melibatkan Pengadilan. Selain itu semua proses perceraian harus dengan bukti-bukti pembenar dan perceraian dihitung sejak dikeluarkannya surat cerai, kalau di Mesir sertifikat cerai.
Ada beberapa perbedaan dan persamaan antara Perundang-undangan Hukum Perkawinan, khususnya mengenai talak dan cerai yang berlaku di Mesir dan di Indonesia, sebagaimana dijelaskan di atas. Namun demikian perbedaan keduanya lebih banyak daripada persamaannya, baik tentang sebab-sebab perceraian maupun tentang prosesnya. Sebab-sebab yang disebutkan dalam Peerundang-undangan Indonesia lebih lengkap dan melibatkan suami isteri sebagai obyek pembahasannya. Hal ini berbeda dengan Perundang-undangan di Mesir yang kurang lengkap dana cenderung lebih banyak membahas hal-hal yang berkaitan dengan suami sebagai penyebab perceraian. Begitu juga dalam proses perceraian. Dalam Perundang-undangan Indoneesia, Pengadilan mempunyai peran yang cukup dominan dalam menentukan perceraian. Sedangkan di Mesir tidak demikian.
Tidak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan pemaparan atas kajian-kajian yang pemakalah sajikan sehingga kritik dan saran serta masukan yang konstruktif sangat diharapkan. Semoga kajian-kajian tersebut bermanfaat bagi semua pembaca yang budiman, amin.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, J.N.D. Recent Development in Syaria Law V. New York: New York University Press, 1959.
Anshori, Abdul Ghofur. Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif. Yogyakarta: UII Press, 2011.
Asy-Syafi’i. Al-Umm. Beirut: Da>r al-Kutub a-‘Ilmiyyah, 2002.
Asy-Syarakhsi, Syamsudin. Al-Mabsuth. Beirut: Da>r al-Ma’ru>fah, 1989.
Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Da>r al-Fikr al-Mu’a>shirah, 2002.
Bisri, Cik Hasan (penyunting). Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
El-Alami, Dawoed dan Doreen Hincheliffe. Islamic Marriage and Divorce Laws of the Arab World. London: Kluwer Law International, 1996.
Esposito, John L. Women in Muslim Family Law. t.t: Syracuse University Press, 1982.
Mahmood, Tahir. Family Law Reform in The Muslim World. Bombay: N.M. TRIPATHI PVT. LTD., 1972.
Mudzhar, Atho’ dan Khoirudin Nasution (editor). Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern. Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Nasution, Badher Johan dan Sri Warjiyati. Hukum Perdata Islam. Bandung: Mandar Maju, 1997.
Nasution, Khoirudin. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: Indonesian-Netherlands Coorporation in Islamic Studies [INIS], 2002.
Nurudin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana, 2004. 
Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1995.
Rasyidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Bandung: Alumni, 1982
Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan).


[1] Atho’ Mudzhar dan Khoirudin Nasution (editor), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 11.
[2] Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Coorporation in Islamic Studies [INIS], 2002), h. 33.
[3] Syamsudin Asy-Syarakhsi, Al-Mabsuth, (Beirut: Da>r al-Ma’ru>fah, 1989), h. 2.
[4] Asy-Syafi’i, Al-Umm, (Beirut: Da>r al-Kutub a-‘Ilmiyyah, 2002), h. 229.
[5] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 95-96.
[6] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-undang no. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), (Yogyakarta: Liberty, 2007), h. 103.
[7] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Da>r al-Fikr al-Mu’a>shirah, 2002), h. 6873.
[8] Ibid, h. 6877.
[9] Asy-Syafi’i, Al-Umm, (Beirut: Da>r al-Kutub a-‘Ilmiyyah), 2002, h. 105.
[10] Ibid, h. 216.
[11] Zuhaili, Al-Fiqh, h. 7008.
[12] Zuhaili, Al-Fiqh, h. 7076-7077.
[13] Ibid, h. 7123-7164.
[14] Khoirudin Nasution, Staatus Wanita di Asia Tenggara, h. 10.
[15] Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), h. 291.
[16] Cik Hasan Bisri (penyunting), Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 115-116.
[17] Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 222-223.
[18] Badher Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1997), h. 33.
[19] Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, (Bombay: N.M. TRIPATHI PVT. LTD., 1972), h. 48.
[20] John, L. Esposito, Women in Muslim Family Law, (t.t: Syracuse University Press, 1982), h. 53.
[21] Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, h. 245.
[22] John, L. Esposito, Women in Muslim Family Law, h. 53.
[23] John, L. Esposito, Women in Muslim Family Law, h. 56.
[24] Ibid, h. 57.
[25] J.N.D. Anderson, Recent Development in Syaria Law V, (New York: New York University Press, 1959), h. 246.
[26] Dawoed El-Alami dan Doreen Hincheliffe, Islamic Marriage and Divorce Laws of the Arab World, (London: Kluwer Law International, 1996), h. 56.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

catatan penyanya ilmu kalam

03-11-2019 Erik: nama tokoh kiodariyah yang berasal dari negeri irak? ma’bad al-jauhani dan ghailan ad-dimasyqi. Dapat dari irak yang b...