BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dunia Islam mempunyai
pengalaman yang sangat beragam mengenai berbagai upaya yang dilakukan untuk
mempertahankan eksistensi “hukum-hukum” agamanya, mulai dari yang paling
“ekstrim kiri” sampai yang “ekstrim kanan” . Ekstrim kiri yang dimaksud adalah
negara-negara muslim yang sangat kental dengan faham sosialismenya dalam
menerapkan hukum Islam dalam ranah kehidupan negara. Sedangkan ekstrim kanan
merupakan kekuatan Islam yang tumbuh dan berkembang dengan visi dan misi
menerapkan syariat Islam sebagai paradigma hukum yang mengatur kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sehingga sistem sosial yang dibangun berlandaskan
kepada hukum Islam.
Upaya untuk
melaksanakan hukum Islam di berbagai Negara yang paling menonjol adalah dalam
bidang hukum keluarga. Hukum keluarga mempunyai posisi yang penting dalam
Islam. Hukum keluarga dianggap sebagai inti syari’ah. Hal ini berkaitan dengan asumsi umat Islam
yang memandang hukum keluarga sebagai pintu gerbang untuk masuk lebih jauh ke
dalam agama Islam.
Mesir dan Indonesia adalah dua Negara yang
mengalami pengalaman sejarah yang kuat mengenai Islam, meskipun Mesir
memperolehnya lebih awal dan pengaruhnya lebih nyata terhadap struktur sosial
masyarakat dari sejak awal datangnya Islam hingga sekarang.
Institusionalisasi merupakan sebuah proses
menjadikan hukum Islam yang hidup di masyarakat menjadi bahan hukum di
institusi hukum, yaitu peradilan. Dalam perjalanan sejarahnya, Islam di kedua
Negara, Mesir dan Indonesia telah menjadi dasar kehidupan masyarakat. Islam
tidak hanya mengakar dalam aspek-aspek sosial, tetapi juga dalam aspek hukum,
saat lahir suatu kasus hukum, maka pemerintah menyelesaikannya dengan hukum
agama.
Sejalan dengan penguatan institusionalisasi
hukum, pemerintah Mesir dan Indonesia melakukan kodifikasi hukum untuk bahan
hukum tertulis bagi para hakim di Peradilan Agama. Kodifikasi hukum yang
membawa pengaruh pada substansi hukum keluarga Islam di Mesir terjadi tahun
1897, kemudian diamendemen tahun 1909, 1910, 1923 dan 1931. Usaha kodifikasidi
Mesir ini berjalan lambat dan dalam rentang waktu yang panjang. Seluruh
kodifikasi hokum keluarga Islam ini tidak diunifikasi dalam buku hukum, tetapi
dalam bentuk draft di sejumlah peraturan.
Sementara di Indonesia, meski dibarengi
oleh perdebatan sengit antara kubu nasionalis dan Islamis, pemerintah akhirnya
mengesahkan Undang-undang hukum keluarga Islam dengan nama Hukum Perkawinan
nomor 1 tahun 1974. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 ini merupakan jawaban dari
kegalauan umat Islam ketika masih dalam bentuk rancangan undang-undang yang
akhirnya undang-undang ini merupakan satu bentuk kompromi pemerintah dan para
penentangnya dengan umat Islam yang mendukung. Pada dasarnya, keberadaan
undang-undang ini menguatkan eksistensi hukum Peradilan Agama, dan secara tidak
langsung mengukuhkan bahwa undang-undang ini adalah bukti konkrit dari
perkembangan hokum keluarga Islam di tengah-tengah ideologi nasional Negara,
yaitu Pancasila. Setelah undang-undang nomor 1 tahun 1974, proses
institusionalisasi dan kodifikasi hukum Islam di Indonesia semakin nyata dengan
ditetapkannya Undang-undang nomor 7 tahun 1989, dan Kompilasi Hukum Islam yang
disahkan dengan Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1991.
Pembahasan dalam tulisan ini bersifat
deskriptif komparatif, yaitu yaitu perbandingan antara perkembangan ketentuan
talak dan cerai dalam Perundang-undangan Hukum Keluarga di Indonesia dan Mesir.
Pada dasarnya, tujuan diadakannya pembaruan di dua Negara ini sama, yaitu untuk
mengangkat status wanita.[1]
B. Pokok Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dari makalah ini
adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana konsep perceraian
dalam fikih munakahat?
2.
Bagaimana perceraian dalam
perundang-undangan di Indonesia?
3.
Bagaimana perceraian dalam
perundang-undangan di Mesir?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dari makalah
ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui dan
memahami konsep perceraian dalam fikih munakahat.
2.
Untuk mengetahui dan
memahami perceraian dalam perundang-undangan di Indonesia.
3.
Untuk mengetahui dan
memahami perceraian dalam perundang-undangan di Mesir.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada umumnya ulama-ulama fikih berbeda
pendapat dalam penetapan hukum suatu kasus. Tidak terkecuali dalam hal putusnya
perkawinan. Perbedaab pendapat ulama ini bisa dipahami, karena metode ijtihad
dalam penetapan hukum juga terdapat perbedaan di kalangan ulama, perbedaan
penafsiran nash dan perbedaan sosio-kultural di masa mereka hidup. Oleh
karena itu tidak mengherankan jika terjadi perbedaan dalam hal putusnya
perkawinan.
Putusnya perkawinan, menurut kalangan
Malikiyah pada umumnya disebabkan oleh talak, khulu’, fasakh, syiqaq,
nusyuz, ila’, dan zhihar.[2]
Menurut kalangan Hanafiyah putusnya perkawinan disebabkan oleh talak, khulu’,
ila’, dan zhihar.[3]
Sedangkan menurut Syafi’iyah diantara sebab-sebab terjadinya perceraian antara
lain talak, khulu’, fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’, zhihar dan li’an.[4]
Menurut Ahmad Rafiq, secara garis besar
hal-hal yang menyebabkan putusnya perkawinan dalam perspektif fikih disebabkan
oleh empat hal, yaitu: pertama, nusyuz dari pihak isteri, kedua,
nusyuz suami terhadap isteri, ketiga, syiqaq dan keempat, salah
satu pihak melakukan perbuatan zina.[5]
Pertama, talak. Perceraian dalam istilah ahli fikih
disebut “talak” atau “furqah”. Adapun arti talak ialah: membuka ikatan
membatalkan perjanjian. Sedangkan furqah artinya bercerai, yaitu
lawan dari berkumpul. Kemudian kedua kata itu dipakai oleh para ahli
fikih sebagai satu istilah, yang berarti: perceraian antara suami-isteri.[6] Pendapat
lain mengatakan bahwa talak adalah lepasnya ikatan tali pernikahan dengan kata
talak dan sejenisnya.[7]
Dasar hukum talak antara lain QS Al-Baqarah
ayat 229; Surat Ath-Thalaq ayat 1. Dasar hukum lain aalah dari hadits yang
artinya “Pernuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak” (HR.
Abu Daud, Nasa’i dan Ibn Majjah dengan Isnad shahih). Dalam khazanah fikih, hak
untuk men-talak hanya dimiliki oleh suami. Hal ini menurut Az-Zuhaili
disebabkan oleh dua hal, pertama, pada umumnya, secara psikologis wanita
lebih mengedepankan perasaaan, sedangkan perasaan wanita cukup lembut, sehingga
apabila wanita mempunyai hak talak ia akan mudah mengucapkannya meskipun hanya
dengan sebab yang spele atau alasan yang tidak signifikan. Kedua, kaum
laki-laki, dalam hal ini adalah suami mempunyai tanggung jawab yang besar,
mukai dari mahar, nafkah, nafkah pada waktu iddah dan lain-lain.[8]
Dari segi akibat hukumnya, Imam Syafi’i
membagi talak menjadi talak ba’in kubro atau talak tiga, yaitu pertama,
talak tiga, kedua, talak ba’in, dan ketiga talak raj’i.[9]
Akibat hokum dari talak ba’in kubra adalah tidak diperbolehkannya ruju’ kecuali
bekas isteri telah dinikahi oleh laki-laki lain didukhul kemudian dicerai.
Setelah masa idddah dengan laki-laki lain maka baru boleh ruju’ dengan suami
yang telah menalak tiga. Selain itu, apabila terjadi talak ba’in kubra maka isteri
tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari bekas suami. Sedangkan
akibat hokum dari talak raj’i adalah suami masih berhak merujuk dan suami tidak
boleh mengusir isteri dan isteri dilarang keluar rumah kecuali ada alas an yang
dibenarkan oleh syara’.[10]
Kedua, khulu’. Imam Syafi’i mendeefinisikan khulu’ sebagai
talak yang dijatuhkan oleh suami dengan syarat sang isteri memberi tebusan
(iwadh). Sedangkan menurut kalangan Malikiyyah khulu’ sama halnya dengan talak
ba’in. Begitu juga dalam hal akibat hukumnya, kalangan syafi’i juag berpendapat
bahwa khulu’ tidak ada ruju’ dan sang isteri tidak berhak mendapat tempat
tinggal. Dasar hukum khulu’ antara lain, QS Al-Baqarah ayat 229; An-Nisa; ayat
4 dan ayat 128.
Menurut Maliki, khulu’ ini dapat diwakili
oleh wali atau orang lain.[11]
Adapun syarat-syarat khulu’ yaitu: 1). Suami harus cakap hukum; 2). Status
wanita yang menuntutu cerai adalah isterinya yang sah; 3). Ganti rugi merupakan
barang berharga yang juga dapat dijadikan mahar.
Ketiga, fasakh. Menurut kalangan Syafi’iyyah fasakh adalah
perpisahan atau perceraian suami dengan isteri yang diakibatkan oleh
alasan-alasan tertentu, seperti antara suami dan isteri ternyata masih mahram,
yang mengakibatkan suami dan isteri haram untuk menjalin ikatan sebagai suami isteri.
Menurut Imam Malik fasakh terjadi apabila salah satu dari suami atau isteri
mengidap penyakit gila, kudis dan penyakit kelamin yang fatal, seperti impoten.
Adapun akibat hukum dari terjadinya fasakh adalah tidak ada ruju’, dan
kemungkinan untuk berkumpul kembali hanya denga nikah baru, isteri tidak berhak
mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.
Keempat, syiqaq, yaitu percekcokan yang terjadi antara suami
dan isteri. Proses yang seharusnya dilalui dalam syiqaq adalah dengan
mengangkat juru damai dari masing-masing pihak yang bersangkutan.
Kelima, nusyuz, yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri.
Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. Nusyuz
dari pihak suami adalah bersikap keras terhadap isterinya, tidak mau
menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. Menurut Syafi’i ada perbedaan
antara nusyuz suami dan isteri. Apabila yang nusyuz suami maka jalan keluar
yang ditempuh adalah dengan perdamaian. Sementara apabila yang nusyuz isteri
maka dapat ditempuh dengan tiga jalan keluar, menasehati, membiarkan sendirian
di tempat tidur atau memukul. Namun untuk memukul harus ada syarat yang harus
dipenuhi.
Keenam, ila’. Menurut hanafi ila’adalah sumpah yang
disertai nama Allah atau salah satu dari sifta-Nya bahwa suami tidak akan
menggauli isterinya selama waktu tertentu. Sedangkan menurut Syafi’i ila’
adalah sumpah suami yang sah talaknya untuk tidak menggauli isterinya secara mutlaak (tidak
terbatas waktu) atau lebih dari empat bulan dengan menggunakan kata Allah
maupun salah satu nama-Nya. Dasar hukum ila’ antara lain dalam surat Al-Baqarah
ayat 226-227.
Menurut Hanafi syarat ila’ adalah: 1).
Wanita yang disumpah masih berstatus isteri; 2). Suami cakap hukum atau sah
talaknya; 3). Tidak terikat dengan tempat; 4). Lafazh ila’ tidak terkait dengan
bagian tubuh isteri; dan 5). Suami tidak menggauli isterinya selama empat bulan.[12]
Ketujuh, li’an, yaitu tuduhan suami terhadap isteri bahwa
ia telah berzina. Dasar hukum li’an adalah surat An-Nur ayat 6-8. Menurut
Hanafi li’an harus: 1). Di hadapan hakim; 2). Dilakukan setelah diminta oleh
hakim; 3). Lafazh li’an diucapkan lima kali dan sumpah; 4). Lafazh li’an sesuai
dengan tuntunan Al-Qur’an; 5). Proses pengucapan dimulai empat kali ucapan
sumpah kemudian diikuti dengan melaknat, dan boleh menunjuk pihak lain.
Kedelapan, zhihar, yaitu menyerupakan isteri dengan wanita
yang menjadi mahram suami, seperti ibu, saudara perempuan kandung dan
lain-lain, baik menyerupai secara keseluruhan, maupun sebagian anggota tubuh.
Dasar hukum zhihar antara lain surat Al-Mujadalah ayat 2 dan surat Al-Maidah
ayat 89. Akibat hukum zhihar yaitu 1). Suami tidak boleh menggauli isteri dan
2). Isteri berhak meminta digauli dan berhak menolak.[13]
Dari kedelapan hal-hal yang dapat
mengakibatkan putusnya perkawinan di atas, hamper semuanya berada dalam kendali
suami. Bahkan pada talaak, di dalam kitab-kitab fikih tidak terdapat keterangan
yang jelas mengenai sebab-sebab yang membolehkan suami untuk mentalak isterinya.
Dan dari sekian banyak sebab terjadinya perceraian hanya satu yang berada dalam
kendali isteri, yaitu khulu’. Meskipun khulu’ menjadi hak isteri,
itupun masih harus melalui ketentuan yang melibatkan suami. Ketentuan fikih
juga tidak mengatur proses perceraian. Perceraian tidak harus dilakukan di
depan sidang pengadilan atau di depan hakim.
B. KETENTUAN TALAK DALAM PERUNDANG-UNDANGAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA
Pada dasarnya pembaruan Hukum Perceraian di
Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya,
seperti Turki, Mesir, Tunisia, Maroko, Syiria, Irak dan lainnya. Namun demikian
pembaruan yang terjadi di Indonesia lebih maju dibandingkan dengan
Negara-negara Asia Tenggara, seperti Filipina, Singapura, Brunei Darussalam dan
Thailand.[14]
1. Sebab-sebab Perceraian
Pasal 38 UU No. 1/1974 menyebutkan bahwa
perkawinan dapat putus karena, 1). kematian, 2). perceraian, dan 3). atas
putusan pengadilan. Mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan oleh putusan
Pengadilan adalah apabila salah satu pihak suami atau isteri bepergian dalam
waktu yang cukup lama tanpa ada kabar yang jelas. Undang-undang ini tidak
menjelaskan berapa lama waktu yang menjadi alasan bagi Pengadilan untuk
memutuskan cerai. Undang-undang ini juga tidak menjelaskan berapa jangka waktu
untuk menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang itu.[15]
Namun demikian hal ini akan jelas apabila merujuk pada pasal 493 Hukum Perdata
(pasal 467 dan 468).
Di dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 19
disebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya;
c) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
d) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
e) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
KHI tampaknya menggunakan alur UU
No.1/1974, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan
aturan-aturan yang lebih rinci.[16]
KHI memuat masalah putusnya perkawinan pada Bab XVI. Dalam pasal 113 disebutkan
bahwa perkawinan dapat putus karena: 1) kematian, 2) perceraian dan 3) atas
putusan Pengadilan. Pasal selanjutnya, pasal 114 menyebutkan bahwa putusnya
perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian.
Disini bisa dicermati bahwa KHI menambahkan
talak dalam hal yang mengakibatkan perceraian. Hal ini berbeda dengan UU
Perkawinan No.1/1974 yang tidak mengenal istilah talak, kemudian disebutkan
dalam pasal 117 bahwa yang dimaksud talak adalah:
Ikrar suami di hadapan siding Pengadilan
Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan pasal 131.
Di sini KHI mensyaratkan ikrar talak harus
disampaikan di depan siding Pengadilan Agama. Hal ini senada yang disebutkan
dalam pasal 66 ayat (1) UU No.7/1974.
Adapun yang menjadi alasan perceraian
dijelaskan dalam pasal 116 yang menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi
karena alasan atau alasan-alasan:
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya;
c) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
e) Salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g) Suami melanggar taklik talak;
h) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan
dalam rumah tangga.
Berbagai alasan yang disebutkan pada
poin-poin di atas merupakan alasan untuk permohonan cerai talak. Untuk poin
terakhir, (k), yaitu permohonan cerai karena terjadi percekcokan terus-menerus
(syiqaq) dalam pasal 76 UU No. 7/1989, ayat 1) apabila gugatan
perceraian berdasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan
putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari
keluarga atau orang-orang yang dekat suami isteri. Kemudian ayat 2) Pengadilan
setelah mendengar saksi tentang sifat persengketaan antara suami isteri dapat
mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang
ain untuk menjadi hakim.
Kemudian tentang permohonan cerai
berdasarkan li’an dijelaskan dalam pasal 87 ayat 1 UU No. 7/1989 yang
berbunyi “apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu
pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat melengkapi
bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan hakim
berpendapat bahwa permohonan atau gugatan bukan tiada apembuktian sama sekali
serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin diperoleh baik dari pemohon atau
penggugat maupun dari termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatannya
dapat menyuruh pemohon atau tergugat untuk bersumpah”.
Berangkat dari pasal 116 KHI, ada tambahan
dua sebab perceraian disbanding dengan pasal 19 PP No.9/1975 yaitu suami
melanggar taklik talak dan murtad. Tambahan ini cukup penting, karena pada
Undang-undang yang lain tidak disebutkan. UU No.1/1974 juga tidak menyinggung
masalah murtad sebagai alasan perceraian. Penyebutan murtad sebagai salah satu
sebab perceraian merupakan suatu kemajuan. Dengan demikian apabila salah satu
pihak suami isteri keluar dari agama Islam, maka suami atau isteri dapat
mengajukan permohonan cerai kepada Pengadilan.[17]
Selanjutnya KHI menyebutkan aturan-aturan
tentang talak pada pasal 118-123. Dalam KHI disebutkan pembagian talak kepada talak
raj’i, talak ba’in sughra dan talak ba’in kubra.
2. Proses Perceraian
Menurut UU No. 1/1974 perceraian harus
dilakukan di depan sidang Pengadilan, UU ini menjelaskannya dalam pasal 39 yang
menyatakan:
(1)
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2)
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup
alasan bahwa suami isteri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami isteri.
(3)
Tata cara perceraian di depan sidang
Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.
Di dalam UU No. 7/1989 pasal 65 tentang
Peradilan Agama dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang Pengadilan setelah Pegadilan yang bersangkutan berusah dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Sedangkan di dalam KHI pasal 115
dinyatakan:
Bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Mengenai tempat pengajuan permohonan cerai
talak harus diajukan ke Pengadilan, hal ini berdasarkan UUPA No. 7/1989 pasal
66:
1)
Seorang suami yang beragama Islam yang akan
menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan
sidang guna menyaksikan ikrar talak.
2)
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman
yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
3)
Dalam hal termohon bertempat tinggal di
luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman pemohon.
4)
Dalam hal pemohon dan termohon bertempat
tinggal di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan
Agama Jakarta Pusat.
Berbeda dengan UUPA No. 7/1989 yang tidak
memuat aturan tatacara palaksanaan talak, KHI mengaturnya dalam pasal 129:
Seorang suami yang akan menjatuhkan talak
kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tulisan kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan
meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Keterangan di atas menjelaskan bahwa dalam
perundang-undangan yang berlaku, telah diatur bagi siapa saja yang hendak
menalak isterinya dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama. Permohonan
tersebut dapat berupa lisan maupun tulisan dan harus disertai dengan
bukti-bukti. Dan hal yang paling berbeda dengan ketentuan fikih adalah
perceraian yang sah adalah perceraian yang dilakukan di depan sidang, hal ini
diatur dalam pasal 39 UUP No. 1/1974, UUPA No. 7/1989 dan dalam KHI pasal 115.
Menyangkut saat mulai terjadinya perceraian
karena talak dijelaskan dalam PP No. 9/1975 pasal 17 sebagai berikut:
Sesaat setelah dilakukan sidang Pengadilan
untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 16, Ketua Pengadilan
membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat
keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian terjadi
untuk diadakan pencatatan perceraian.
Selanjutnya pasal 18 menyatakan bahwa
perceraian itu dihitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang
pengadilan. Hal ini senada dengan yang dituangkan dalam KHI pasal 123:
Perceraian itu dihitung pada saat
perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan.
Mengenai cerai gugat atau khulu’,
gugatan perceraian harus diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan
Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat, kecuali isteri
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.[18]
Cerai gugat hanya boleh dilakukan apabila disertai dengan alasan-alasan yang
tepat, seperti suami meninggalkan isteri selama dua tahun berturut-turut tanpa
izin isterinya tanpa alasan yang sah atau suami seorang yang murtad dan tidak
memenuhi kewajiban kepada isterinya, sedangkan isteri khawatir akan melanggar
hukum Allah. Dalam kondisi seperti ini isteri tidak wajib menggauli suami
dengan baik dan ia berhak untuk khulu’. Penjelasan mengenai khulu’
ini terdapat dalam pasal 148 KHI.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan
bahwa apa yang ditetapkan dalam Undang-undang Hukum Keluarga telah mengalami
kemajuan yang cukup signifikan apabila disbanding dengan ketetapan yang ada
dalam kitab-kitab fikih. Berkaitan dengan tujuan pembaruan, yaitu untuk
mengangkat status social wanita juga sudah tampak, ini dapat kita cermati bahwa
dalam kitab-kitab fikih tidak menjelaskan alasan-alasan bagi suami untuk
menjatuhkan talak. Sedangkan dalam perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, khususnya sekarang, untuk menjatuhkan talak harus ada alasan yang
dikuatkan dengan saksi-saksi. Permohonan talak dengan alasan apapun harus
diajukan ke Pengadilan serta harus diucapkan di depan sidang. Terjadinya
perceraian baik dengan talak maupun gugat cerai terhitung sejak putusan
Pengadilan Agama, putusan perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai.
Namun demikian, pada umumnya
perundang—undangan yang ada belum secara total menjunjung hak-hak dan martabat
wanita, karena masih banyak pasal yang bias gender, seperti dalam masalah
iddah. Hal ini dapat dipahami karena pada umumnya pembaruan perundang-undangan
di Indonesia masih bertumpu pada kekuatan fikih.
C. KETENTUAN TALAK DALAM PERUNDANG-UNDANGAN HUKUM KELUARGA DI MESIR
Pada umumnya masyarakat muslim di Mesir
menganut madzhab Syafi’i dan Hanafi.[19]
Maka tidak heran apabila ketentuan-ketentuan yang digunakan dalam hukum
keluarga di Mesir banyak mengambil dari kedua madzhab ini, khususnya sebelum
terjadi pembaruan.
Dibandingkan Indonesia, Mesir lebih awal
melakukan pembaruan perundang-undangan perkawinan. Mesir juga lebih sering
melakukan pembaruan ini. Namun demikian bukan berarti perundang-undangan Mesir
lebih lengkap dan lebih menjamin semua pihak.
1. Sebab-sebab perceraian
Undang-undang Mesir tidak memberikan
legitimasi kepada isteri untuk menuntut cerai kecuali ada kekerasan atau suami
mengalami kelainan atau penyakit seksual seperti impoten. Madzhab Hanafi memang
agak kaku (rigid), isteri harus menahan diri perceraian, jadi harus
menghindari perceraian semaksimal mungkin. Hal ini berbeda dengan tiga madzhab
lainnya, terutama madzhab Maliki.[20]
Pertama kali terjadi pembaruan pada
Undang-undang Hukum Keluarga di Mesir adalah pada tahun 1915, pada masa daulah
Utsmaniyyah. Dalam irada, Sultan menetapkan bahwa isteri dapat menuntut
cerai apabila suami meninggalkan isterinya. Dalam irada lain ditetapkan
bahwa seorang isteri dapat meminta cerai dengan alasan bahwa suami mengidap
penyakit yang menyebabkan tidak mungkin hidup bersama sebagai suami isteri.[21]
Kemudian pada tahun 1917 Sultan mengeluarkan ketetapan kembali melalui The
Ottoman Law Family Rights yang menyatakan bahwa diperbolehkannya taklik
talak bagi isteri dan suami tidak boleh nikah lagi dengan wanita lain.
Ketetapan ini merupakan ketetapan pertama yang menjadi acuan pembaruan
perundang-undangan hukum keluarga.[22]
Perkembangan selanjutnya adalah ketika
Mesir menetapkan Undang-undang No. 25 Tahun 1920. Dalam Undang-undang ini
ditetapkan bahwa pengadilan berhak untuk memutuskan cerai dengan alasan suami
tidak mampu member nafkah, begitu juga apabila suami mengidap penyakit yang
membahayakan. Dalam Undang-undang No. 25 Tahun 1929 alasan untuk menuntut talak
diperluas. Dalam Undang-undang ini ditetapkan empat hal yang dapat dijadikan
Pengadilan untuk menetapkan talak yaitu:
1. Apabila suami tidak mampu untuk memberikan nafkah
2. Apabila suami mempunyai penyakit menular atau membahayakan
3. Apabila ada perlakuan yang semena-mena dari suami
4. Apabila suami meninggalkan isteri dalam waktu yang cukup lama.
Menurut Khorudin Nasution, hal ini berarti
bahwa Undang-undang tahun 1920 memberdayakan Pengadilan dan memperluas definisi
penyakit membahayakan, sedangkan Undang-undang Tahun 1929 memberdayakan
Pengadilan.
Pasal 2 UU No. 25 Tahun 1929 disebutkan
bahwa talak yang diucapkan sebagai sumpah atau ancaman itu selayaknya dianggap
mempunyai akibat hukum apabila suami yaang bersangkutan benar-benar
menghendakinya. Dan di pasal 3 disebutkan bahwa isteri berhak mengajukan cerai
apabila dirasa rumahtangga tetap diteruskan akan membahayakn isteri. Dan
apabila terjadi pertengkaran yang tidak mungkin ada perdamaian, maka dalam
keadaan seperti ini Pengadilan berhak menetapkan perceraian.[23]
Dalam hal suami meninggalkan isteri, UU
tahun 1929 menyatakan bahwa apabila suami meninggalkan isteri selama satu tahun
atau lebih tanpa ada alasan yang jelas dan tanpa keterangan, maka isteri berhak
menuntut cerai. Apabila ternyata suami kembali, sebelum terjadi perceraian,
maka ia harus meyakinkan isteri untuk meneruskan rumah tangga dan apabila gagal
maka pengadilan berhak menetapkan perceraian.[24]
Pada bulan Juli 1979 Mesir menetapkan
Undang-undang No. 44 yang di dalamnya menyatakan bahwa amandemen ini berisi
lebih jauh mengenai amandemen Hukum Keluarga. Diantara isinya adalah isteri
harus diberi tahu ketika suami akan melangsungkan poligami, atau poligami harus
mendapatkan izin dari isteri, dan apabila isteri tidak mengizinkan maka ia
berhak menuntut cerai. Apabila suami menyembunyikan fakta dari isteri kedua
bahwa dia telah beristeri maka isteri kedua berhak menuntut cerai.
2. Proses Perceraian
Mesir selalu berusaha memperbarui Undang-undang
Hukum Keluarga untuk mengangkat status wanita. Namun demikian tidak selalu
berhasil. Pada tahun 1943 dan 1945 Mentri Sosial menyiapkan draf yang di
dalamnya menyebutkan bahwa seorang suami hanya boleh menceraikan isterinya
setelah mendapat izin dari pengadilan dan petugas tidak boleh mencatatkan
perceraian yang tidak diizinkan hakim. Pasal 2 menyebutkan bahwa hakim hanya
memberikan izin perceraian kalau memang usaha perdamaian tidak berhasil. Orang
yang melanggar aturan ini dapat dihukum dengan hukuman kurungan atau denda,
meskipun perceraian tetap sah. Namun demikian draf ini ditolak, karena ditentang oleh sejumlah
ulama.[25]
Perkembangan selanjutnya yaitu pada tahun
1985. Dalam pasal 5 Undang-undang No. 100 tahun 1985 dinyatakan bahwa
perceraian harus dicatatkan dalam sebuah sertifikat yang ditandatangani oleh
notaris yang berwenang, 30 hari setelah terjadi perceraian. Keberadaan isteri
harus diperhatikan kalau hadir pada waktu membuat sertifikat. Kalau tidak
hadir, isteri harus dikirimkan salinan sertifikat dan pihak-pihak lain yang
dianggap penting sesuai dengan prosedur yang ada, dan harus ditetapkan Menteri
Kehakiman. Akibat perceraian terhitung dari tanggal sertifikat tersebut.[26]
BAB III
KESIMPULAN
Pada umumnya ulama madzhab menyetujui hak
talak mutlak suami, sementara isteri hanya mempunyai hak khulu’. Dengan
demikian suami secara mutlak dapat menceraikan isterinya, sementara kalau
isteri ingin cerai tetap harus melibatkan suami.
Pembaruan Perundang-undangan Hukum
Keluarga, dalam hal ini yang berkaitan dengan talak dan cerai, baik di
Indonesia maupun di Mesir masih bertumpu pada ketetapan yang ada dalam
kitab-kitab fikih, sehingga maasih perlu terus dikembangkan sampai
Undang-undang tersebut benar-benar menjunjung hak-hak dan statusnya. Namun
demikian, sudah banyak kemajuan dalam hal talak dan cerai, baik di Indonesia
maupun di Mesir harus melibatkan Pengadilan. Selain itu semua proses perceraian
harus dengan bukti-bukti pembenar dan perceraian dihitung sejak dikeluarkannya
surat cerai, kalau di Mesir sertifikat cerai.
Ada beberapa perbedaan dan persamaan antara
Perundang-undangan Hukum Perkawinan, khususnya mengenai talak dan cerai yang
berlaku di Mesir dan di Indonesia, sebagaimana dijelaskan di atas. Namun
demikian perbedaan keduanya lebih banyak daripada persamaannya, baik tentang
sebab-sebab perceraian maupun tentang prosesnya. Sebab-sebab yang disebutkan
dalam Peerundang-undangan Indonesia lebih lengkap dan melibatkan suami isteri
sebagai obyek pembahasannya. Hal ini berbeda dengan Perundang-undangan di Mesir
yang kurang lengkap dana cenderung lebih banyak membahas hal-hal yang berkaitan
dengan suami sebagai penyebab perceraian. Begitu juga dalam proses perceraian.
Dalam Perundang-undangan Indoneesia, Pengadilan mempunyai peran yang cukup
dominan dalam menentukan perceraian. Sedangkan di Mesir tidak demikian.
Tidak ada gading yang tak retak, begitu
juga dengan pemaparan atas kajian-kajian yang pemakalah sajikan sehingga kritik
dan saran serta masukan yang konstruktif sangat diharapkan. Semoga
kajian-kajian tersebut bermanfaat bagi semua pembaca yang budiman, amin.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson,
J.N.D. Recent Development in Syaria Law V. New York: New York University
Press, 1959.
Anshori,
Abdul Ghofur. Hukum Perkawinan Islam Perspektif Fikih dan Hukum Positif.
Yogyakarta: UII Press, 2011.
Asy-Syafi’i.
Al-Umm. Beirut: Da>r al-Kutub a-‘Ilmiyyah, 2002.
Asy-Syarakhsi,
Syamsudin. Al-Mabsuth. Beirut: Da>r al-Ma’ru>fah, 1989.
Az-Zuhaili,
Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Da>r al-Fikr
al-Mu’a>shirah, 2002.
Bisri, Cik
Hasan (penyunting). Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
El-Alami,
Dawoed dan Doreen Hincheliffe. Islamic Marriage and Divorce Laws of the Arab
World. London: Kluwer Law International, 1996.
Esposito,
John L. Women in Muslim Family Law. t.t: Syracuse University Press,
1982.
Mahmood,
Tahir. Family Law Reform in The Muslim World. Bombay: N.M. TRIPATHI PVT.
LTD., 1972.
Mudzhar,
Atho’ dan Khoirudin Nasution (editor). Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern.
Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Nasution,
Badher Johan dan Sri Warjiyati. Hukum Perdata Islam. Bandung: Mandar
Maju, 1997.
Nasution,
Khoirudin. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia. Jakarta:
Indonesian-Netherlands Coorporation in Islamic Studies [INIS], 2002.
Nurudin,
Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI.
Jakarta: Kencana, 2004.
Rafiq,
Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1995.
Rasyidi, Lili. Hukum Perkawinan dan
Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Bandung: Alumni, 1982
Soemiyati.
Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974,
tentang Perkawinan).
[1] Atho’ Mudzhar dan Khoirudin Nasution (editor), Hukum
Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 11.
[2] Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara:
Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia
dan Malaysia, (Jakarta: Indonesian-Netherlands Coorporation in Islamic
Studies [INIS], 2002), h. 33.
[3] Syamsudin Asy-Syarakhsi, Al-Mabsuth, (Beirut:
Da>r al-Ma’ru>fah, 1989), h. 2.
[4] Asy-Syafi’i, Al-Umm, (Beirut: Da>r al-Kutub
a-‘Ilmiyyah, 2002), h. 229.
[5] Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam
Perspektif Fikih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 95-96.
[6]
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan
(Undang-undang no. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), (Yogyakarta: Liberty,
2007), h. 103.
[7] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh,
(Beirut: Da>r al-Fikr al-Mu’a>shirah, 2002), h. 6873.
[8] Ibid, h. 6877.
[9] Asy-Syafi’i, Al-Umm, (Beirut: Da>r al-Kutub
a-‘Ilmiyyah), 2002, h. 105.
[10] Ibid, h. 216.
[11] Zuhaili, Al-Fiqh, h. 7008.
[12] Zuhaili, Al-Fiqh, h.
7076-7077.
[13] Ibid, h. 7123-7164.
[14] Khoirudin Nasution, Staatus
Wanita di Asia Tenggara, h. 10.
[15] Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di
Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), h. 291.
[16] Cik Hasan Bisri (penyunting), Kompilasi Hukum Islam
dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 115-116.
[17] Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum
Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih,
UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 222-223.
[18] Badher Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum
Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1997), h. 33.
[19] Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim
World, (Bombay: N.M. TRIPATHI PVT. LTD., 1972), h. 48.
[20] John, L. Esposito, Women in Muslim Family Law, (t.t:
Syracuse University Press, 1982), h. 53.
[21] Khoirudin Nasution, Status Wanita
di Asia Tenggara, h. 245.
[22] John, L. Esposito, Women in
Muslim Family Law, h. 53.
[23] John, L. Esposito, Women in
Muslim Family Law, h. 56.
[24] Ibid, h. 57.
[25] J.N.D. Anderson, Recent Development in Syaria Law V,
(New York: New York University Press, 1959), h. 246.
[26] Dawoed El-Alami dan Doreen Hincheliffe, Islamic
Marriage and Divorce Laws of the Arab World, (London: Kluwer Law
International, 1996), h. 56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar