Minggu, 10 September 2017

hakikat dan pengertian perkawinan menurut islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pernikahan adalah sunatullah yang sangat dianjurkan bagi mereka yang mampu baik dari segi materi maupun mental, dan setiap makhluk yang bernyawa itu diciptakan berpasang-pasangan, baik laki-laki maupun perempuan (Q.S.Dzariat :49).
`ÏBur Èe@à2 >äóÓx« $oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry ÷/ä3ª=yès9 tbr㍩.xs? ÇÍÒÈ  
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran allah”.
Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma agama dan tata kehidupan masyarakat.
Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki - laki dan perempuan yang diatur dengan perkawinan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling kedua insan tersebut.
Dalam agama samawi, masalah perkawinan mendapat tempat yang sangat terhormat dan sangat terjunjung tinggi tata aturan yang telah ditetapkan dalam kitab suci. Negara Indonesia misalnya, masalah perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga pemerintah Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga sekarang menaruh perhatian yang sangat serius dalam hal perkawinan ini.
Pada makalah ini akan dijelaskan tentang masalah hakikat dan pengertian perkawinan menurut islam.



B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hakikat perkawinan dalam islam?
2.      Bagaimana pengertian perkawinan dalam islam?
C.     Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui dan memahami hakikat perkawinan dalam islam.
2.      Untuk mengetahui dan memahami pengertian perkawinan dalam islam.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakikat Perkawinan dalam Islam
Hakikat perkawinan dalam islam adalah mitsaqan ghalidzan (perjanjian yang kokoh/teguh/kuat). Dalam al-Qur’an, kata mitsaqan ghalidzan ditemukan pada tiga tempat, yaitu surah al-Ahzab (33):7, an-Nisa’ (4):21 dan an-Nisa’(4):154. Masing-masing dari kata mitsaqan ghalidzan yang terdapat pada tiga tempat memiliki makna dan maksud yang berbeda. Akan tetapi, tiga ayat yang terdapat kata mitsaqan ghalidzan sama-sama menjelaskan tentang pentingnya suatu perjanjian.
Surah al-Ahzab (33):7;
øŒÎ)ur $tRõs{r& z`ÏB z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# öNßgs)»sVÏB šZÏBur `ÏBur 8yqœR tLìÏdºtö/Î)ur 4ÓyqãBur Ó|¤ŠÏãur Èûøó$# zNtƒótB ( $tRõs{r&ur Nßg÷YÏB $¸)»sWÏiB $ZàŠÎ=xî ÇÐÈ  
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil Perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka Perjanjian yang teguh.
An-Nisa’(4):154;
$uZ÷èsùuur ãNßgs%öqsù uqÜ9$# öNÎgÉ)»sVÏJÎ/ $oYù=è%ur ãNßgs9 (#qè=äz÷Š$# z>$t7ø9$# #Y¯gàž $oYù=è%ur öNçlm; Ÿw (#rß÷ès? Îû ÏMö6¡¡9$# $tRõs{r&ur Nåk÷]ÏB $¸)»sWÏiB $ZàÎ=xî ÇÊÎÍÈ  
Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) Perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. dan Kami perintahkan kepada mereka: "Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud", dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: "Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu", dan Kami telah mengambil dari mereka Perjanjian yang kokoh.


An-Nisa’ (4):21;
y#øx.ur ¼çmtRräè{ù's? ôs%ur 4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ šcõyzr&ur Nà6ZÏB $¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî ÇËÊÈ  
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.
Kata mitsaqan ghalidzan yang pertama pada surah al-Ahzab (33):7 menjelaskan tentang perjanjian Allah dengan sejumlah Nabi. Sedang pada surah an-Nisa’ (4):154, kata mitsaqan ghalidzan digunakan untuk menunjukkan perjanjian Allah dengan orang Yahudi. Kemudian pada surah an-Nisa’ (4):21, kata mitsaqan ghalidzan menunjukkan tentang perjanjian perkawinan (nikah).[1] Kata mitsaqan ghalidzan yang terdapat pada tiga tempat akan dijelaskan secara terperinci pada makalah ini.
Pertama, kata mitsaqan ghalidzan pada surah al-Ahzab(33):7 yang menunjukkan tentang perjanjian antara Allah dengan sejumlah Nabi. Firman Allah SWT وإذ أخذنا من النبين ميثقهمDan (ingatlah) ketika Kami mengambil Perjanjian dari nabi-nabi”, maksudnya adalah membuat perjanjian agar mereka melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka yaitu dengan mengajarkan ajaran-Nya, memberikan kabar gembira kepada umat mereka yang shalih, dan memberikan ancaman bagi mereka yang ingkar terhadap perintah atau titah. Semua ini telah disebutkan ketika Allah menciptakan seluruh ciptaan-Nya dan ketika Allah mengambi sumpah dan perjanjian dari seluruh nabi-nabi.
Penyebutan dalam ayat  ومنك و من نوح و إبراهيم و موسى و عيسى ابن مريمDan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, dan Musa putera Maryam ”, adalah karena keistimewaan yang mereka miliki, walaupun sebenarnya mereka juga memiliki status yang sama dengan nabi-nabi lainnya. Namun ada juga yang mengatakan penyebutan mereka karena syari’at dan kitab-kitab suci yang mereka bawa. Mereka adalah para nabi dan pemimpin yang dimaksudkan dalam kategori ulul azmi.
Ulama lain berpendapat, bahwa ayat ini berkaitan erat dengan ayat sebelumnya. Maknanya adalah Nabi saw harus lebih diprioritaskan oleh orang-orang beriman, bahkan lebih daripada diri mereka sendiri. Hal ini sudah menjadi ketentuan dalam kitab yang tertulis dan seperti sumpah yang diambil dari pada nabi.
Ayat و أخذنا منهم ميثقا غليظاDan kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”, maksudnya adalah Allah SWT telah mengambil sumpah mereka untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajiban mereka, yaitu menyampaikan risalah Ilahi. Arti dari kata ميثقا sendiri adalah sumpah dengan mengatasnamakan Allah. Sumpah kedua yang diambil dari para nabi ini adalah penguat dari sumpah pertama. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa sumpah pertama adalah pernyataan, ikrar, dan kesaksian mereka kepada Allah, sedangkan sumpah kedua adalah tugas kenabian yang diembankan kepada mereka.
Qatadah meriwayatkan dari Al Hasan, dari Abu Hurairah, bahwa alasan nabi Muhammad saw pernah ditanya mengapa nama beliau disebutkan diurutan pertama pada firman Allah SWT ومنك و من نوح  وإذ أخذنا من النبين ميثقهمDan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri)”, maka beliau menjawab, “Karena aku adalah makhluk pertama yang diciptakan, dan aku adalah makhluk terakhir yang dibangkitkan”. Mujahid menambahkan, “Penciptaan beliau pada saat itu berbeda dengan penciptaan Nabi Adam”.[2]
Kedua, kata mitsaqan ghalidzan yang selanjutnya terdapat pada surah an-Nisa’ (4): 154. Abu Ja’far menafsirkan bahwa maksud ayat و رفعنا فوقهم الطور Dan telah kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina”, adalah gunung, ketika mereka menolak untuk melakukan perbuatan yang diperintahkan dalam Taurat, lalu mendorong mereka menerima dan mengamalkan apa yang didatangkan oleh Nabi Musa kepada mereka. Sedangkan ayat بميثقهمKarena (mengingkari) perjanjian (yang telah kami ambil dari) mereka”, maksudnya mengingkari perjanjian yang telah mereka sepakati, dengan berkata, “Tentu kami akan melaksanakan apa yang ada dalam kitab Taurat”. Ayat و قلنا لهم ادخلوا الباب سجدا Dan kami perintahkan kepada mereka, ‘Masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud’”, maksudnya adalah pintu gerbang, ketika mereka diperintahkan masuk sambil bersujud, kemudian mereka masuk sambil merangkak.
Ayat و قلنا لهم لا تعدوا في السبت Dan kami perintahkan (pula) kepada mereka ‘Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari sabut’”, maksudnya adalah ‘Janganlah melewati batas peraturan hari Sabtu, peraturan yang telah Aku bolehkan kepadamu’. Diperintahkan kepada kaum Nabi Musa untuk tidak makan ikan pada hari sabtu, dan baru dibolehkan makan ikan selain pada hari sabtu, perintah tersebut tidak boleh dilanggar.
Kemudian firman Allah و أخذنا منهم ميثقا غليظا Dan kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh”, maksudnya adalah janji yang kuat, yang menyatakan bahwa mereka akan menaati perintah dan larangan Allah kepada mereka, melaksanakan apa yang telah disebutkan pada ayat ini dan apa yang telah disebutkan di dalam Taurat.[3] Dalam hal ini terdapat tiga golongan, yaitu pertama golongan orang-orang yang shaleh dari para dai yang menjalankan kewajiban mereka dalam dakwah dan memprotes orang-orang yang mengakali perintah-perintah Allah dengan berbagai alibi, pelanggaran, dan perburuan mereka pada hari Sabtu. Kedua, golongan orang-orang yang berdiam diri, yang diam melihat pelanggaran orang-orang yang melampaui batas, dan mereka justru melontarkan celaan dan penentangan terhadap orang-orang saleh yang berdakwah, dengan alasan bahwa tidak ada manfaatnya menasihati dan memperingatkan sekelompok orang yang memang sudah sepantasnya binasa dan akan mendapat azab. Sedangkan yang ketiga adalah golongan orang-orang fasik yang melanggar perintah Allah SWT.
Selanjutnya yang ketiga, kata mitsaqan ghalidzan terdapat pada surah an-Nisa’ (4): 21. Makna firman-Nya و كيف تأخذونهBagaimana kamu akan mengambilnya kembali”, adalah atas dasar apa kalian mengambil dari istri kalian apa yang telah kalian berikan kepada mereka berupa mahar, tatkala kalian ingin menthalak mereka dan menggantinya dengan perempuan lain sebagai istri kalian, padahal kalian telah bercampur (melakukan hubungan suami istri)?”
Meskipun ungkapan ini berupa pertanyaan, namun masuk dalam kategori makna pengingkaran dan kecaman, seperti seseorang yang berkata kepada orang lain “bagaimana kamu melakukan ini dan itu, padahal aku tidak meridhainya?” sebagai bentuk pengingkaran dan ancaman. Kemudian kata ifdhaa’ disini maksudnya adalah mencapai sesuatu dengan persentuhan (secara langsung). Jadi, “bagaimana mungkin dibenarkan kalian mengambil apa yang telah kalian berikan kepada mereka, padahal sebagian kalian telah berjima’ (melakukan hubungan intim)?”.
Selanjutnya makna firman Allahو أخذن منكم ميثقا غليظا  Dan mereka (istri-istrimu) telah mangambil dari kamu perjanjian yang kuat”. Ja’far berpendapat bahwa makna ayat tersebut adalah apa yang kalian tetapkan berupa perjanjian dan ikrar kalian kepada mereka untuk memperlakukan mereka dengan cara yang baik, atau menceraikannya dengan cara yang baik pula. Yakni, apa yang diambil oleh wanita dari suaminya ketika akad nikah, berupa janji untuk menggauli dengan cara yang baik, atau menceraikannya dengan cara yang baik, yang diikrarkan oleh pihak laki-laki”. Dengan itulah Allah SWT mewasiatkan kepada kaum laki-laki terhadap istri-istri mereka.[4]
Penjelasan tafsir dari masing-masing ayat telah diuraikan sehingga secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa kesucian ikatan perkawinan antara suami dan istri mirip dengan kesucian hubungan Allah dengan pilihan-Nya, yaitu Nabi-nabi atau Rasul-rasul. Kesucian janji antara Allah dengan hamba-Nya. Sehingga sebagai ikatan yang suci dan mulia haruslah dijaga dan dipelihara dengan baik, karena hal tersebut sama halnya mereka (suami dan istri) berjanji kepada Allah.[5]
Dari sisi bahasa, kata mitsaqan ghalidzan mengisyaratkan keyakinan suami dan istri bahwa kebahagiaan bersama suami dan istri akan lebih besar daripada kebahagiaan hidup dengan ibu bapak, dan pembelaan suami tidak lebih sedikit daripada pembelaan saudara-saudara kandung.[6] Lafal aqad yang diucapkan oleh lelaki ketika menikahi perempuan disebut sebagai mitsaqan ghalizha. Mitsaq artinya janji, tetapi bila pelafalannya dengan ghalidzan maka artinya janji yang sangat kuat dan tidak sembarangan. Maka seseorang tidak boleh sembarangan dalam mengucapkan aqad tersebut. Ada tanggungjawab dan konsekuensi yang besar di baliknya. Maka suami haruslah sadar ketika menerima janji tersebut.[7]
Sejalan dengan penting dan hebatnya nilai transaksi perkawinan tersebut, dalam hadits disebutkan:
و من تزوج فقد أحرز شطر دينه فليتق الله في الشطر الباقي
Artinya: “Seseorang yang melakukan perkawinan sama dengan seseorang yang melakukan setengah ibadat”.
Hadits di atas mengisyaratkan bahwa perkawinan mengandung nilai ibadah. Bahkan disebutkan dengan tegas oleh Nabi Muhammad saw bahwa perkawinan mempunyai nilai kira-kira sama dengan separoh nilai keberagamaan. Dengan demikian, perkawinan dalam islam bukan sekedar restu, juga bukan sekedar pengakuan atau legalisasi hubungan seorang pria dengan seorang wanita tetapi merupakan perjanjian suci, kokoh dan kuat.
Dari perjanjian suci, kokoh dan kuat, istilah yang digunakan al-Qur’an ini kemudian muncul definisi perkawinan dalam arti istilah. Seperti yang tertuang dalam pasal 2 KHI, “Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Dan juga terdapat dalam pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kedua pasal tersebut telah memperjelas bahwa perkawinan merupakan sebuah ikatan atau janji yang sangat kokoh/kuat untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, damai, tenteram dan kekal, bukan akad kepemilikan seperti yang diyakini sebagian orang.
Hakikat perkawinan sebagai mitsaqan ghalidzan (ikatan yang suci, kokoh dan kuat) mengisyaratkan bahwa suami dan istri harus menjaga dan mempertahankan hubungan dan ikatan ini secara bersama dan bermitra. Lebih dari itu juga, bahwa hubungan suami dan istri tidak akan lengkap tanpa pasangannya. Suami merasa kesepian tanpa istrinya dan istri juga demikian. Kedua suami istri saling membutuhkan.[8]
B.     Pengertian Perkawinan dalam Islam
Perkawinan adalah terjemahan dari kata nakaha dan zawwaja. Secara majazi, kata nakaha dalam al-Qur’an diartikan dengan “hubungan seks”. Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali dalam al-Qur’an. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti “berhimpun”. Sedangkan kata zawwaja dari kata zauwj dalam al-Qur’an berarti “pasangan”. Hal ini disebabkan karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata zawwaja dalam berbagai bentuk dan maknanya ditemukan kurang lebih sebanyak 80 kali dalam al-Qur’an.
Secara umum al-Qur’an menggunakan dua kata ini untuk menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah. Memang ada kata wahabat (yang berarti “memberi”) digunakan oleh al-Qur’an untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi saw dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri. Tetapi agaknya kata ini hanya diperuntukkan untuk nabi Muhammad saw saja (QS. Al-Ahzab:50).
Zor&zöD$#ur ºpoYÏB÷sB bÎ) ôMt7ydur $pk|¦øÿtR ÄcÓÉ<¨Z=Ï9 ÷bÎ) yŠ#ur& ÓÉ<¨Z9$# br& $uhysÅ3ZtFó¡o Zp|ÁÏ9%s{ y7©9 `ÏB Èbrߊ tûüÏZÏB÷sßJø9$# 3 ... ÇÎÉÈ  
Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.
Pernikahan atau tepatnya berpasangan merupakan ketetapan ilahi atas segala makhluk. Berulang-ulang hakikat ini ditegaskan dalam al-Qur’an antara lain firman-nya:[9]
QS. Al-Dzari’at (51):49
`ÏBur Èe@à2 >äóÓx« $oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry ÷/ä3ª=yès9 tbr㍩.xs? ÇÍÒÈ  
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.
QS. Ya Sin (36):36
z`»ysö6ß Ï%©!$# t,n=y{ ylºurøF{$# $yg¯=à2 $£JÏB àMÎ7/Yè? ÞÚöF{$# ô`ÏBur óOÎgÅ¡àÿRr& $£JÏBur Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÏÈ  
Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.
Perkawinan dari sisi istilah didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Karena itu, definisi yang menyatakan bahwa perkawinan adalah akad atau transaksi kepemilikan (‘aqd al-tamlik) atau sebagai ganti kepemilikan (‘aqd mu’awadah) perlu dikaji ulang. Hal ini disebabkan tidak sejalan dengan nash al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad saw, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan wanita sebagai pasangan untuk menciptakan keluarga yang bahagia, sejahtera, damai, tenteram dan kekal, sebagaimana diisyaratkan dalam surah al-Rum ayat 21 dan ayat-ayat lainnya yang berhubungan dengan perkawinan.[10]
Dari sisi sosiologi, realita dalam kehidupan masyarakat indonesia, perkawinan juga dapat dilihat sebagai fenomena penyatuan dua kelompok keluarga besar yang berbeda baik dari segi prinsip, visi, misi dalam hidup bahkan lingkungan yang berbeda. Perkawinan menjadi sarana terbentuknya keluarga besar yang awalnya tidak saling mengenal, yakni terdiri dari keluarga suami (laki-laki) dan keluarga istri (perempuan). Karena itu, dari sudut pandang sosiologi, perkawinan yang semula hanya perpaduan dua insan, dapat pula menjadi sarana pemersatu dua keluarga menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyatu.
Melihat dari sisi bagaimana proses awal manusia diciptakan dan sekaligus sebagai pasangan, disebutkan dalam surah Fatir (35): 11;
ª!$#ur /ä3s)n=s{ `ÏiB 5>#tè? §NèO `ÏB 7pxÿõÜœR ¢OèO ö/ä3n=yèy_ %[`ºurør& ... ÇÊÊÈ  
Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan)”.
Ayat di atas menjelaskan tentang proses penciptaan manusia, menunjukkan dengan tegas bahwa sumber pokok penciptaan manusia, laki-laki dan perempuan adalah dari sumber pokok yang sama. Kemudian, kedua jenis ciptaan dari sumber pokok yang sama ini dijadikan sebagai pasangan. Hal ini mengisyaratkan bahwa keduanya adalah bermitra dan sejajar, tidak ada pihak yang lebih superior dari yang lain. Demikian juga, tidak ada pihak yang lebih inferior. Keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi.
Kemudian diulang lagi dalam ayat lain, dengan ungkapan yang lebih tegas, bahwa laki-laki (suami) dan perempuan (istri) adalah pasangan, dan mengisyaratkan adanya kesejajaran dan kemitraan antara keduanya untuk saling dalam segala hal dan aspek kehidupan, seperti ditegaskan dalam surah al-Baqarah (2):187;
£`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 ... ÇÊÑÐÈ  
Mereka para istri adalah pakaian bagi kamu para suami, dan kamu para suami adalah pakaian bagi para istrimu”.
Ayat lain dengan makna yang sama ditemukan dalam surah al-Baqarah (2): 228;
4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ... ÇËËÑÈ  
Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf”.
Dengan demikian, dari sejumlah nash al-Qur’an tersebut di atas dapat ditegaskan, bahwa suami dan istri adalah pasangan yang bermitra dan sejajar, baik status ini ditegaskan secara tegas oleh nash maupun dengan makna isyarat. Maka dari itu, baik dari sisi pengertian bahasa maupun dari pernyataan sejumlah nash yang membicarakan perkawinan dapat ditegaskan, bahwa suami dan istri adalah pasangan yang bermitra dan sejajar, yang karenanya mereka harus kerja sama, saling melengkapi, saling menghargai dan saling menghormati. Sebaliknya, tidak tepat kalau ada di antara suami dan istri yang merasa superior dari pasangannya. Demikian juga tidak benar kalau ada pihak yang merasa dan/atau memperlakukan pasangannya dengan perlakuan yang inferior. Penegasan lain yang penting dicatat dari sejumlah nash tentang perkawinan di atas adalah, bahwa perkawinan merupakan sunnatullah yang semestinya dilakukan setiap orang, dengan niatan untuk melakukan dan beribadah kepada Allah SWT. Hal ini terlihat dari pernyataan Nabi sendiri yang demikian serius menekankan dan menganjurkan untuk menikah, sampai dikatakan bahwa orang yang tidak melakukan perkawinan tidak masuk umat Nabi Muhammad saw.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hakikat perkawinan dalam islam adalah mitsaqan ghalidzan (perjanjian yang kokoh/teguh/kuat). Dalam al-Qur’an, kata mitsaqan ghalidzan ditemukan pada tiga tempat, yaitu surah al-Ahzab (33):7, an-Nisa’ (4):21 dan an-Nisa’(4):154. Masing-masing dari kata mitsaqan ghalidzan yang terdapat pada tiga tempat memiliki makna dan maksud yang berbeda. Akan tetapi, tiga ayat yang terdapat kata mitsaqan ghalidzan sama-sama menjelaskan tentang pentingnya suatu perjanjian.
Kata mitsaqan ghalidzan yang pertama pada surah al-Ahzab (33):7 menjelaskan tentang perjanjian Allah dengan sejumlah Nabi. Sedang pada surah an-Nisa’ (4):154, kata mitsaqan ghalidzan digunakan untuk menunjukkan perjanjian Allah dengan orang Yahudi. Kemudian pada surah an-Nisa’ (4):21, kata mitsaqan ghalidzan menunjukkan tentang perjanjian perkawinan (nikah).
Dari sisi bahasa, kata mitsaqan ghalidzan mengisyaratkan keyakinan suami dan istri bahwa kebahagiaan bersama suami dan istri akan lebih besar daripada kebahagiaan hidup dengan ibu bapak, dan pembelaan suami tidak lebih sedikit daripada pembelaan saudara-saudara kandung. Lafal aqad yang diucapkan oleh lelaki ketika menikahi perempuan disebut sebagai mitsaqan ghalizha. Mitsaq artinya janji, tetapi bila pelafalannya dengan ghalidzan maka artinya janji yang sangat kuat dan tidak sembarangan. Maka seseorang tidak boleh sembarangan dalam mengucapkan aqad tersebut. Ada tanggungjawab dan konsekuensi yang besar di baliknya. Maka suami haruslah sadar ketika menerima janji tersebut.
Perkawinan adalah terjemahan dari kata nakaha dan zawwaja. Secara majazi, kata nakaha dalam al-Qur’an diartikan dengan “hubungan seks”. Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali dalam al-Qur’an. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti “berhimpun”. Sedangkan kata zawwaja dari kata zauwj dalam al-Qur’an berarti “pasangan”. Hal ini disebabkan karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata zawwaja dalam berbagai bentuk dan maknanya ditemukan kurang lebih sebanyak 80 kali dalam al-Qur’an.
Perkawinan dari sisi istilah didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Karena itu, definisi yang menyatakan bahwa perkawinan adalah akad atau transaksi kepemilikan (‘aqd al-tamlik) atau sebagai ganti kepemilikan (‘aqd mu’awadah) perlu dikaji ulang. Hal ini disebabkan tidak sejalan dengan nash al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad saw, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan wanita sebagai pasangan untuk menciptakan keluarga yang bahagia, sejahtera, damai, tenteram dan kekal, sebagaimana diisyaratkan dalam surah al-Rum ayat 21 dan ayat-ayat lainnya yang berhubungan dengan perkawinan.


DAFTAR PUSTAKA
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Ter. Akhmad Affandi, Jakarta: PUETAKA AZZAM, 2008.
Dr. Moh Abdul Kholiq Hasan el-Qudsy, Majlis Kajian Interaktif Tafsir Al-Qur'an, http://mkitasolo.blogspot.com/2012/03/tafsir-surat-nisa-4-ayat-20-21.html. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2013.
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I: Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim Kontemporer, Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2005.
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat, Bandung: Mizan, 1996.
Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Syaikh Imam  Al Qurthubi, Ter. Fathurrahman Abdul Hamid, Dudi Rosyadi, Marwan Affandi, Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2009.


[1] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I: Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA, 2005) hal : 25
[2] Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Syaikh Imam  Al Qurthubi, Ter. Fathurrahman Abdul Hamid, Dudi Rosyadi, Marwan Affandi, (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2009), hal 316-320
[3] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Ter. Akhmad Affandi, (Jakarta: PUETAKA AZZAM, 2008) hal 78-80
[4] Abu Ja’far, Tafsir,
[5] Khoiruddin, Hukum Perkawinan, hal 25
[6] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Bandung: Mizan, 1996) hal 210
[7] Dr. Moh Abdul Kholiq Hasan el-Qudsy, Majlis Kajian Interaktif Tafsir Al-Qur'an, http://mkitasolo.blogspot.com/2012/03/tafsir-surat-nisa-4-ayat-20-21.html. (Diakses pada tanggal 10 Oktober 2013 )
[8] Khoiruddin, Hukum Perkawinan, hal 28-29
[9] M. Quraish, Wawasan, hal. 191
[10] Khoiruddin, Hukum Perkawinan, hal. 18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

catatan penyanya ilmu kalam

03-11-2019 Erik: nama tokoh kiodariyah yang berasal dari negeri irak? ma’bad al-jauhani dan ghailan ad-dimasyqi. Dapat dari irak yang b...