BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pernikahan adalah sunatullah yang sangat dianjurkan bagi mereka yang mampu
baik dari segi materi maupun mental, dan setiap makhluk yang bernyawa itu
diciptakan berpasang-pasangan, baik laki-laki maupun perempuan (Q.S.Dzariat
:49).
`ÏBur
Èe@à2 >äóÓx«
$oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry
÷/ä3ª=yès9
tbrã©.xs? ÇÍÒÈ
“Dan segala sesuatu kami ciptakan
berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran allah”.
Perkawinan
merupakan suatu hal yang penting dalam realita kehidupan umat manusia. Dengan
adanya perkawinan rumah tangga dapat ditegakkan dan dibina sesuai dengan norma
agama dan tata kehidupan masyarakat.
Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan merupakan tuntunan yang
telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka
disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki - laki dan perempuan yang
diatur dengan perkawinan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan
kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara
keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling kedua insan tersebut.
Dalam
agama samawi, masalah perkawinan mendapat tempat yang sangat terhormat dan
sangat terjunjung tinggi tata aturan yang telah ditetapkan dalam kitab suci.
Negara Indonesia misalnya, masalah perkawinan merupakan suatu hal yang sangat
penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga pemerintah Indonesia
sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga sekarang menaruh perhatian yang sangat
serius dalam hal perkawinan ini.
Pada
makalah ini akan dijelaskan tentang masalah hakikat
dan pengertian perkawinan menurut islam.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
hakikat perkawinan dalam islam?
2.
Bagaimana
pengertian perkawinan dalam islam?
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui dan memahami hakikat perkawinan dalam islam.
2.
Untuk
mengetahui dan memahami pengertian perkawinan dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Hakikat
Perkawinan dalam Islam
Hakikat
perkawinan dalam islam adalah mitsaqan ghalidzan (perjanjian yang
kokoh/teguh/kuat). Dalam al-Qur’an, kata mitsaqan ghalidzan ditemukan
pada tiga tempat, yaitu surah al-Ahzab (33):7, an-Nisa’ (4):21 dan
an-Nisa’(4):154. Masing-masing dari kata mitsaqan ghalidzan yang
terdapat pada tiga tempat memiliki makna dan maksud yang berbeda. Akan tetapi,
tiga ayat yang terdapat kata mitsaqan ghalidzan sama-sama menjelaskan
tentang pentingnya suatu perjanjian.
Surah al-Ahzab
(33):7;
øÎ)ur
$tRõs{r& z`ÏB
z`¿ÍhÎ;¨Y9$# öNßgs)»sVÏB
ZÏBur `ÏBur 8yqR tLìÏdºtö/Î)ur
4ÓyqãBur Ó|¤Ïãur
Èûøó$#
zNtótB
( $tRõs{r&ur Nßg÷YÏB $¸)»sWÏiB $ZàÎ=xî ÇÐÈ
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil Perjanjian dari nabi-nabi dan
dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami
telah mengambil dari mereka Perjanjian yang teguh.
An-Nisa’(4):154;
$uZ÷èsùuur
ãNßgs%öqsù
uqÜ9$#
öNÎgÉ)»sVÏJÎ/
$oYù=è%ur ãNßgs9
(#qè=äz÷$# z>$t7ø9$# #Y¯gà $oYù=è%ur öNçlm;
w
(#rß÷ès? Îû ÏMö6¡¡9$# $tRõs{r&ur Nåk÷]ÏB $¸)»sWÏiB $ZàÎ=xî ÇÊÎÍÈ
Dan telah Kami
angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) Perjanjian (yang
telah Kami ambil dari) mereka. dan Kami perintahkan kepada mereka:
"Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud", dan Kami perintahkan
(pula) kepada mereka: "Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari
Sabtu", dan Kami telah mengambil dari mereka Perjanjian yang kokoh.
An-Nisa’
(4):21;
y#øx.ur ¼çmtRräè{ù's? ôs%ur 4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ cõyzr&ur Nà6ZÏB $¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî ÇËÊÈ
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka
(isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.
Kata mitsaqan
ghalidzan yang pertama pada surah al-Ahzab (33):7 menjelaskan tentang
perjanjian Allah dengan sejumlah Nabi. Sedang pada surah an-Nisa’ (4):154, kata
mitsaqan ghalidzan digunakan untuk menunjukkan perjanjian Allah dengan
orang Yahudi. Kemudian pada surah an-Nisa’ (4):21, kata mitsaqan ghalidzan
menunjukkan tentang perjanjian perkawinan (nikah).[1]
Kata mitsaqan ghalidzan yang terdapat pada tiga tempat akan dijelaskan
secara terperinci pada makalah ini.
Pertama, kata mitsaqan
ghalidzan pada surah al-Ahzab(33):7 yang menunjukkan tentang perjanjian
antara Allah dengan sejumlah Nabi. Firman Allah SWT وإذ
أخذنا من النبين ميثقهم
“Dan (ingatlah) ketika Kami
mengambil Perjanjian dari nabi-nabi”, maksudnya adalah membuat perjanjian agar mereka melaksanakan apa yang
diperintahkan kepada mereka yaitu dengan mengajarkan ajaran-Nya, memberikan
kabar gembira kepada umat mereka yang shalih, dan memberikan ancaman bagi
mereka yang ingkar terhadap perintah atau titah. Semua ini telah disebutkan
ketika Allah menciptakan seluruh ciptaan-Nya dan ketika Allah mengambi sumpah
dan perjanjian dari seluruh nabi-nabi.
Penyebutan
dalam ayat ومنك و من نوح و إبراهيم و موسى و عيسى ابن مريم “Dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, dan
Musa putera Maryam ”, adalah karena keistimewaan yang mereka miliki,
walaupun sebenarnya mereka juga memiliki status yang sama dengan nabi-nabi
lainnya. Namun ada juga yang mengatakan penyebutan mereka
karena syari’at dan kitab-kitab suci yang mereka bawa. Mereka adalah para nabi
dan pemimpin yang dimaksudkan dalam kategori ulul azmi.
Ulama lain
berpendapat, bahwa ayat ini berkaitan erat dengan ayat sebelumnya. Maknanya
adalah Nabi saw harus lebih diprioritaskan oleh orang-orang beriman, bahkan
lebih daripada diri mereka sendiri. Hal ini sudah menjadi ketentuan dalam kitab
yang tertulis dan seperti sumpah yang diambil dari pada nabi.
Ayat و
أخذنا منهم ميثقا غليظا
“Dan kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”, maksudnya
adalah Allah SWT telah mengambil sumpah mereka untuk melaksanakan apa yang
menjadi kewajiban mereka, yaitu menyampaikan risalah Ilahi. Arti dari kata ميثقا sendiri adalah sumpah dengan mengatasnamakan Allah.
Sumpah kedua yang diambil dari para nabi ini adalah penguat dari sumpah
pertama. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa sumpah pertama adalah
pernyataan, ikrar, dan kesaksian mereka kepada Allah, sedangkan sumpah kedua
adalah tugas kenabian yang diembankan kepada mereka.
Qatadah
meriwayatkan dari Al Hasan, dari Abu Hurairah, bahwa alasan nabi Muhammad saw
pernah ditanya mengapa nama beliau disebutkan diurutan pertama pada firman
Allah SWT ومنك و من
نوح وإذ
أخذنا من النبين ميثقهم
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari
kamu (sendiri)”, maka beliau menjawab, “Karena aku adalah makhluk
pertama yang diciptakan, dan aku adalah makhluk terakhir yang dibangkitkan”.
Mujahid menambahkan, “Penciptaan beliau pada saat itu berbeda dengan penciptaan
Nabi Adam”.[2]
Kedua, kata mitsaqan ghalidzan yang
selanjutnya terdapat pada surah
an-Nisa’ (4): 154. Abu Ja’far menafsirkan bahwa maksud ayat و
رفعنا فوقهم الطور “Dan
telah kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina”, adalah gunung,
ketika mereka menolak untuk melakukan perbuatan yang diperintahkan dalam
Taurat, lalu mendorong mereka menerima dan mengamalkan apa yang didatangkan
oleh Nabi Musa kepada mereka. Sedangkan ayat بميثقهم “Karena (mengingkari) perjanjian (yang telah kami
ambil dari) mereka”, maksudnya mengingkari perjanjian yang telah mereka
sepakati, dengan berkata, “Tentu kami akan melaksanakan apa yang ada dalam
kitab Taurat”. Ayat و قلنا لهم ادخلوا الباب سجدا “Dan kami perintahkan kepada mereka, ‘Masukilah
pintu gerbang itu sambil bersujud’”, maksudnya adalah pintu gerbang, ketika
mereka diperintahkan masuk sambil bersujud, kemudian mereka masuk sambil
merangkak.
Ayat و قلنا لهم لا تعدوا في السبت “Dan kami perintahkan (pula) kepada mereka
‘Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari sabut’”, maksudnya adalah
‘Janganlah melewati batas peraturan hari Sabtu, peraturan yang telah Aku
bolehkan kepadamu’. Diperintahkan kepada kaum Nabi Musa untuk tidak makan ikan
pada hari sabtu, dan baru dibolehkan makan ikan selain pada hari sabtu, perintah
tersebut tidak boleh dilanggar.
Kemudian
firman Allah و أخذنا منهم ميثقا غليظا “Dan kami telah mengambil dari mereka perjanjian
yang kokoh”, maksudnya adalah janji yang kuat, yang menyatakan bahwa mereka
akan menaati perintah dan larangan Allah kepada mereka, melaksanakan apa yang
telah disebutkan pada ayat ini dan apa yang telah disebutkan di dalam Taurat.[3]
Dalam hal ini terdapat tiga golongan, yaitu pertama golongan orang-orang yang
shaleh dari para dai yang menjalankan kewajiban mereka dalam dakwah dan
memprotes orang-orang yang mengakali perintah-perintah Allah dengan berbagai
alibi, pelanggaran, dan perburuan mereka pada hari Sabtu. Kedua, golongan
orang-orang yang berdiam diri, yang diam melihat pelanggaran orang-orang yang
melampaui batas, dan mereka justru melontarkan celaan dan penentangan terhadap
orang-orang saleh yang berdakwah, dengan alasan bahwa tidak ada manfaatnya
menasihati dan memperingatkan sekelompok orang yang memang sudah sepantasnya
binasa dan akan mendapat azab. Sedangkan yang ketiga adalah golongan
orang-orang fasik yang melanggar perintah Allah SWT.
Selanjutnya
yang ketiga, kata mitsaqan ghalidzan terdapat pada surah an-Nisa’
(4): 21. Makna firman-Nya و كيف تأخذونه
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali”, adalah atas dasar apa kalian
mengambil dari istri kalian apa yang telah kalian berikan kepada mereka berupa
mahar, tatkala kalian ingin menthalak mereka dan menggantinya dengan perempuan
lain sebagai istri kalian, padahal kalian telah bercampur (melakukan hubungan
suami istri)?”
Meskipun
ungkapan ini berupa pertanyaan, namun masuk dalam kategori makna pengingkaran
dan kecaman, seperti seseorang yang berkata kepada orang lain “bagaimana kamu
melakukan ini dan itu, padahal aku tidak meridhainya?” sebagai bentuk
pengingkaran dan ancaman. Kemudian kata ifdhaa’ disini maksudnya adalah
mencapai sesuatu dengan persentuhan (secara langsung). Jadi, “bagaimana mungkin
dibenarkan kalian mengambil apa yang telah kalian berikan kepada mereka,
padahal sebagian kalian telah berjima’ (melakukan hubungan intim)?”.
Selanjutnya
makna firman Allahو أخذن منكم ميثقا غليظا “Dan mereka (istri-istrimu) telah mangambil
dari kamu perjanjian yang kuat”. Ja’far berpendapat bahwa makna ayat
tersebut adalah apa yang kalian tetapkan berupa perjanjian dan ikrar kalian
kepada mereka untuk memperlakukan mereka dengan cara yang baik, atau
menceraikannya dengan cara yang baik pula. Yakni, apa yang diambil oleh wanita
dari suaminya ketika akad nikah, berupa janji untuk menggauli dengan cara yang
baik, atau menceraikannya dengan cara yang baik, yang diikrarkan oleh pihak
laki-laki”. Dengan itulah Allah SWT mewasiatkan kepada kaum laki-laki terhadap
istri-istri mereka.[4]
Penjelasan
tafsir dari masing-masing ayat telah diuraikan sehingga secara tidak langsung
dapat disimpulkan bahwa kesucian ikatan perkawinan antara suami dan istri mirip
dengan kesucian hubungan Allah dengan pilihan-Nya, yaitu Nabi-nabi atau
Rasul-rasul. Kesucian janji antara Allah dengan hamba-Nya. Sehingga sebagai
ikatan yang suci dan mulia haruslah dijaga dan dipelihara dengan baik, karena
hal tersebut sama halnya mereka (suami dan istri) berjanji kepada Allah.[5]
Dari sisi
bahasa, kata mitsaqan ghalidzan mengisyaratkan keyakinan suami dan istri
bahwa kebahagiaan bersama suami dan istri akan lebih besar daripada kebahagiaan
hidup dengan ibu bapak, dan pembelaan suami tidak lebih sedikit daripada
pembelaan saudara-saudara kandung.[6] Lafal
aqad yang diucapkan oleh lelaki ketika menikahi perempuan disebut sebagai mitsaqan
ghalizha. Mitsaq artinya janji, tetapi bila pelafalannya dengan ghalidzan
maka artinya janji yang sangat kuat dan tidak sembarangan. Maka seseorang tidak
boleh sembarangan dalam mengucapkan aqad tersebut. Ada tanggungjawab dan
konsekuensi yang besar di baliknya. Maka suami haruslah sadar ketika menerima
janji tersebut.[7]
Sejalan dengan
penting dan hebatnya nilai transaksi perkawinan tersebut, dalam hadits
disebutkan:
و من تزوج فقد أحرز شطر دينه فليتق الله في الشطر الباقي
Artinya:
“Seseorang yang melakukan perkawinan sama dengan seseorang yang melakukan
setengah ibadat”.
Hadits di atas
mengisyaratkan bahwa perkawinan mengandung nilai ibadah. Bahkan disebutkan
dengan tegas oleh Nabi Muhammad saw bahwa perkawinan mempunyai nilai kira-kira
sama dengan separoh nilai keberagamaan. Dengan demikian, perkawinan dalam islam
bukan sekedar restu, juga bukan sekedar pengakuan atau legalisasi hubungan
seorang pria dengan seorang wanita tetapi merupakan perjanjian suci, kokoh dan
kuat.
Dari
perjanjian suci, kokoh dan kuat, istilah yang digunakan al-Qur’an ini kemudian
muncul definisi perkawinan dalam arti istilah. Seperti yang tertuang dalam
pasal 2 KHI, “Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah”. Dan juga terdapat dalam pasal 1 UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, “Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kedua pasal tersebut telah memperjelas
bahwa perkawinan merupakan sebuah ikatan atau janji yang sangat kokoh/kuat
untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, damai, tenteram dan kekal, bukan
akad kepemilikan seperti yang diyakini sebagian orang.
Hakikat
perkawinan sebagai mitsaqan ghalidzan (ikatan yang suci, kokoh dan kuat)
mengisyaratkan bahwa suami dan istri harus menjaga dan mempertahankan hubungan
dan ikatan ini secara bersama dan bermitra. Lebih dari itu juga, bahwa hubungan
suami dan istri tidak akan lengkap tanpa pasangannya. Suami merasa kesepian
tanpa istrinya dan istri juga demikian. Kedua suami istri saling membutuhkan.[8]
B. Pengertian Perkawinan dalam Islam
Perkawinan
adalah terjemahan dari kata nakaha dan zawwaja. Secara majazi, kata nakaha
dalam al-Qur’an diartikan dengan “hubungan seks”. Kata ini dalam berbagai
bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali dalam al-Qur’an. Secara bahasa pada
mulanya kata nikah digunakan dalam arti “berhimpun”. Sedangkan kata
zawwaja dari kata zauwj dalam al-Qur’an berarti “pasangan”. Hal ini disebabkan
karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata zawwaja dalam
berbagai bentuk dan maknanya ditemukan kurang lebih sebanyak 80 kali dalam
al-Qur’an.
Secara umum
al-Qur’an menggunakan dua kata ini untuk menggambarkan terjalinnya hubungan
suami istri secara sah. Memang ada kata wahabat (yang berarti “memberi”)
digunakan oleh al-Qur’an untuk melukiskan kedatangan seorang wanita kepada Nabi
saw dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri. Tetapi agaknya kata ini
hanya diperuntukkan untuk nabi Muhammad saw saja (QS. Al-Ahzab:50).
Zor&zöD$#ur ºpoYÏB÷sB
bÎ) ôMt7ydur
$pk|¦øÿtR ÄcÓÉ<¨Z=Ï9
÷bÎ)
y#ur& ÓÉ<¨Z9$# br& $uhysÅ3ZtFó¡o
Zp|ÁÏ9%s{ y7©9
`ÏB Èbrß tûüÏZÏB÷sßJø9$# 3 ... ÇÎÉÈ
Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya
kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan
untuk semua orang mukmin.
Pernikahan atau tepatnya berpasangan merupakan ketetapan ilahi atas segala
makhluk. Berulang-ulang hakikat ini ditegaskan dalam al-Qur’an antara lain
firman-nya:[9]
QS. Al-Dzari’at (51):49
`ÏBur
Èe@à2 >äóÓx«
$oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry
÷/ä3ª=yès9
tbrã©.xs? ÇÍÒÈ
“Dan segala sesuatu
Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.
QS. Ya Sin (36):36
z`»ysö6ß
Ï%©!$# t,n=y{
ylºurøF{$# $yg¯=à2 $£JÏB àMÎ7/Yè?
ÞÚöF{$#
ô`ÏBur
óOÎgÅ¡àÿRr& $£JÏBur w
tbqßJn=ôèt ÇÌÏÈ
“Maha suci Tuhan yang
telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan
oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.
Perkawinan dari sisi istilah didefinisikan sebagai ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan. Karena itu, definisi yang menyatakan bahwa perkawinan
adalah akad atau transaksi kepemilikan (‘aqd al-tamlik) atau sebagai
ganti kepemilikan (‘aqd mu’awadah) perlu dikaji ulang. Hal ini
disebabkan tidak sejalan dengan nash al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad saw,
yang menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara laki-laki dan
wanita sebagai pasangan untuk menciptakan keluarga yang bahagia, sejahtera,
damai, tenteram dan kekal, sebagaimana diisyaratkan dalam surah al-Rum ayat 21
dan ayat-ayat lainnya yang berhubungan dengan perkawinan.[10]
Dari sisi sosiologi, realita dalam kehidupan masyarakat indonesia,
perkawinan juga dapat dilihat sebagai fenomena penyatuan dua kelompok keluarga
besar yang berbeda baik dari segi prinsip, visi, misi dalam hidup bahkan
lingkungan yang berbeda. Perkawinan menjadi sarana terbentuknya keluarga besar
yang awalnya tidak saling mengenal, yakni terdiri dari keluarga suami
(laki-laki) dan keluarga istri (perempuan). Karena itu, dari sudut pandang
sosiologi, perkawinan yang semula hanya perpaduan dua insan, dapat pula menjadi
sarana pemersatu dua keluarga menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyatu.
Melihat dari sisi bagaimana proses awal manusia diciptakan dan sekaligus
sebagai pasangan, disebutkan dalam surah Fatir (35): 11;
ª!$#ur /ä3s)n=s{ `ÏiB 5>#tè? §NèO `ÏB 7pxÿõÜR ¢OèO ö/ä3n=yèy_ %[`ºurør& ... ÇÊÊÈ
“Dan Allah menciptakan
kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu
berpasangan (laki-laki dan perempuan)”.
Ayat di atas menjelaskan tentang proses penciptaan manusia, menunjukkan
dengan tegas bahwa sumber pokok penciptaan manusia, laki-laki dan perempuan
adalah dari sumber pokok yang sama. Kemudian, kedua jenis ciptaan dari sumber
pokok yang sama ini dijadikan sebagai pasangan. Hal ini mengisyaratkan bahwa
keduanya adalah bermitra dan sejajar, tidak ada pihak yang lebih superior dari
yang lain. Demikian juga, tidak ada pihak yang lebih inferior. Keduanya saling
membutuhkan dan saling melengkapi.
Kemudian diulang lagi dalam ayat lain, dengan ungkapan yang lebih tegas,
bahwa laki-laki (suami) dan perempuan (istri) adalah pasangan, dan mengisyaratkan
adanya kesejajaran dan kemitraan antara keduanya untuk saling dalam segala hal
dan aspek kehidupan, seperti ditegaskan dalam surah al-Baqarah (2):187;
£`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 ... ÇÊÑÐÈ
“Mereka para istri
adalah pakaian bagi kamu para suami, dan kamu para suami adalah pakaian bagi
para istrimu”.
Ayat lain dengan makna yang sama ditemukan dalam surah al-Baqarah (2): 228;
4
£`çlm;ur
ã@÷WÏB
Ï%©!$# £`Íkön=tã
Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ... ÇËËÑÈ
“Dan Para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf”.
Dengan demikian, dari sejumlah nash al-Qur’an tersebut di atas dapat
ditegaskan, bahwa suami dan istri adalah pasangan yang bermitra dan sejajar,
baik status ini ditegaskan secara tegas oleh nash maupun dengan makna isyarat.
Maka dari itu, baik dari sisi pengertian bahasa maupun dari pernyataan sejumlah
nash yang membicarakan perkawinan dapat ditegaskan, bahwa suami dan istri
adalah pasangan yang bermitra dan sejajar, yang karenanya mereka harus kerja
sama, saling melengkapi, saling menghargai dan saling menghormati. Sebaliknya,
tidak tepat kalau ada di antara suami dan istri yang merasa superior dari
pasangannya. Demikian juga tidak benar kalau ada pihak yang merasa dan/atau
memperlakukan pasangannya dengan perlakuan yang inferior. Penegasan lain yang
penting dicatat dari sejumlah nash tentang perkawinan di atas adalah, bahwa
perkawinan merupakan sunnatullah yang semestinya dilakukan setiap orang, dengan
niatan untuk melakukan dan beribadah kepada Allah SWT. Hal ini terlihat dari
pernyataan Nabi sendiri yang demikian serius menekankan dan menganjurkan untuk
menikah, sampai dikatakan bahwa orang yang tidak melakukan perkawinan tidak
masuk umat Nabi Muhammad saw.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Hakikat perkawinan dalam islam adalah mitsaqan ghalidzan (perjanjian
yang kokoh/teguh/kuat). Dalam al-Qur’an, kata mitsaqan ghalidzan
ditemukan pada tiga tempat, yaitu surah al-Ahzab (33):7, an-Nisa’ (4):21 dan
an-Nisa’(4):154. Masing-masing dari kata mitsaqan ghalidzan yang
terdapat pada tiga tempat memiliki makna dan maksud yang berbeda. Akan tetapi,
tiga ayat yang terdapat kata mitsaqan ghalidzan sama-sama menjelaskan
tentang pentingnya suatu perjanjian.
Kata mitsaqan ghalidzan yang pertama pada surah al-Ahzab (33):7
menjelaskan tentang perjanjian Allah dengan sejumlah Nabi. Sedang pada surah
an-Nisa’ (4):154, kata mitsaqan ghalidzan digunakan untuk menunjukkan
perjanjian Allah dengan orang Yahudi. Kemudian pada surah an-Nisa’ (4):21, kata
mitsaqan ghalidzan menunjukkan tentang perjanjian perkawinan (nikah).
Dari sisi bahasa, kata mitsaqan ghalidzan mengisyaratkan keyakinan
suami dan istri bahwa kebahagiaan bersama suami dan istri akan lebih besar
daripada kebahagiaan hidup dengan ibu bapak, dan pembelaan suami tidak lebih
sedikit daripada pembelaan saudara-saudara kandung. Lafal aqad yang diucapkan
oleh lelaki ketika menikahi perempuan disebut sebagai mitsaqan ghalizha.
Mitsaq artinya janji, tetapi bila pelafalannya dengan ghalidzan maka artinya
janji yang sangat kuat dan tidak sembarangan. Maka seseorang tidak boleh
sembarangan dalam mengucapkan aqad tersebut. Ada tanggungjawab dan konsekuensi
yang besar di baliknya. Maka suami haruslah sadar ketika menerima janji tersebut.
Perkawinan adalah terjemahan dari kata nakaha dan zawwaja. Secara majazi,
kata nakaha dalam al-Qur’an diartikan dengan “hubungan seks”. Kata ini dalam
berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali dalam al-Qur’an. Secara bahasa
pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti “berhimpun”. Sedangkan kata
zawwaja dari kata zauwj dalam al-Qur’an berarti “pasangan”. Hal ini disebabkan
karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata zawwaja dalam
berbagai bentuk dan maknanya ditemukan kurang lebih sebanyak 80 kali dalam
al-Qur’an.
Perkawinan dari sisi istilah didefinisikan
sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti yang tertuang
dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Karena itu, definisi yang
menyatakan bahwa perkawinan adalah akad atau transaksi kepemilikan (‘aqd
al-tamlik) atau sebagai ganti kepemilikan (‘aqd mu’awadah) perlu
dikaji ulang. Hal ini disebabkan tidak sejalan dengan nash al-Qur’an dan sunnah
nabi Muhammad saw, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara laki-laki dan wanita sebagai pasangan untuk menciptakan keluarga yang
bahagia, sejahtera, damai, tenteram dan kekal, sebagaimana diisyaratkan dalam
surah al-Rum ayat 21 dan ayat-ayat lainnya yang berhubungan dengan perkawinan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Ter.
Akhmad Affandi, Jakarta: PUETAKA AZZAM, 2008.
Dr. Moh Abdul Kholiq Hasan el-Qudsy, Majlis Kajian Interaktif Tafsir
Al-Qur'an, http://mkitasolo.blogspot.com/2012/03/tafsir-surat-nisa-4-ayat-20-21.html. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2013.
Khoiruddin
Nasution, Hukum Perkawinan I: Dilengkapi
Perbandingan UU Negara Muslim Kontemporer, Yogyakarta:
ACAdeMIA+TAZZAFA, 2005.
M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat, Bandung: Mizan,
1996.
Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Syaikh Imam Al Qurthubi, Ter. Fathurrahman Abdul
Hamid, Dudi Rosyadi, Marwan Affandi, Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2009.
[1] Khoiruddin Nasution, Hukum
Perkawinan I: Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: ACAdeMIA+TAZZAFA,
2005) hal : 25
[2] Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Syaikh
Imam Al Qurthubi, Ter. Fathurrahman
Abdul Hamid, Dudi Rosyadi, Marwan Affandi, (Jakarta: PUSTAKA AZZAM, 2009), hal
316-320
[3] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir
Ath-Thabari, Ter. Akhmad Affandi, (Jakarta: PUETAKA AZZAM, 2008) hal 78-80
[6] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an:
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Bandung: Mizan, 1996) hal
210
[7] Dr. Moh Abdul Kholiq Hasan el-Qudsy, Majlis
Kajian Interaktif Tafsir Al-Qur'an, http://mkitasolo.blogspot.com/2012/03/tafsir-surat-nisa-4-ayat-20-21.html. (Diakses pada tanggal
10 Oktober 2013 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar