BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Antpologi adalah salah satu cabang ilmu
sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu.
Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang
melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang
dikenal di Eropa. Antropologi mempunyai bidang kajian sendiri yang dapat
dibedakan dengan ilmu sosial lainnya, yang salah satunya seperti soiologi, dan
ilmu sosial lainnya. Antropologi juga
dapat dikelompokkan ke dalam cabang ilmu humaniora karena kajiannya yang
terfokus kepada manusia dan kebudayaannya. Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa,
secara umum dapat dikatakan antropologi merupakan ilmu yang mempelajari manusia
dari segi keragaman fisiknya, masyarakatnya, dan kebudayaannya.[1][1]
Antropologi hukum pada dasarnya adalah
subdisiplin ilmu hukum empiris yang memusatkan perhatiannya pada studi-studi
hukum dengan menggunakan pendekatan antropologis. Kendati demikian, darisudut
pandang antropologi, sub disiplin antropologi budaya yang memfokuskankajiannya
pada fenomena empiris kehidupan hukum dalam masyarakat secaraluas dikenal
sebagai antropologi hukum. Antropologi hukum pada dasarnya mempelajari hubungan
timbal-balik antara hukum dengan fenomena-fenomenasosial secara empiris dalam
kehidupan masyarakat; bagaimana hukum berfungsidalam kehidupan masyarakat, atau
bagaimana hokum bekerja sebagai alatpengendalian sosial ( social control ) atau
sarana untuk menjaga keteraturansosial ( social order ) dalam masyarakat.
Dengan kata lain, studi-studiantropologis mengenai hokum memberi perhatian pada
segi-segi kebudayaanmanusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam
fungsinya sebagaisarana menjaga keteraturan sosial atau alat pengendalian
social.[2][2]
Sedangkan sosiologi sendiri merupakan
Studi hukum dalam perspektif ilmu sosial merupakan sebuah ikhtiar melakukan
konstuksi hukum yang didasarkan pada fenomena sosial yang ada. Prilaku
masyarakat yang dikaji adalah prilaku yang timbul akibat berinteraksi dengan
sistem norma yang ada. Interaksi itu muncul sebagai bentuk reaksi masyarakat
atas diterapkannya sebuah ketentuan perundang-undangan positif dan bisa pula
dilihat prilaku masyarakat sebagai bentuk aksi dalam memengaruhi pembentukan
sebuah ketentuan hukum positif. Contoh yang dapat digambarkan dalam model studi
hukum dalam perspektif sosial adalah misalnya studi tentang hukum pertanahan
tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Kita bisa mulai dari aturan perundang-undangan
yang berlaku yang mengatur masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Apakah ada ketidaksesuaian antara peraturan perundangan dengan kondisi
masyarakat, sehingga menimbulkan konflik ketika pemrintah melakuakan pembebasan
tanah dan seterusnya.
Dengan demikian, kajian sosiologi hukum
adalah suatu kajian yang objeknya fenomena hukum, tetapi menggunakan optik ilmu
sosial dan teori-teori sosiologis, sehingga sering disalahtafsirkan bukan hanya
oleh kalangan non hukum, tetapi juga dari kalangan hukum sendiri. Yang pasti
Kajian yang digunakan dalam kajian sosiologi hukum berbeda dengan Kajian yang
digunakan oleh Ilmu Hukum seperti Ilmu Hukum Pidana, Ilmu Hukum Perdata, Ilmu
Hukum Acara, dan seterusnya. Persamaannya hanyalah bahwa baik Ilmu Hukum maupun
Sosiologi Hukum, obyeknya adalah hukum. Jadi meskipun obyeknya sama yaitu
hukum, namun karena “kacamata” yang digunakan dalam memandang obyeknya itu
berbeda, maka berbeda pulalah penglihatan terhadap obyek tadi. Yang mengenakan
kaca mata hitam akan melihat obyeknya sebagai sesuatu yang hitam, sebaliknya
yang memakai kacamata abu-abu akan melihat obyeknya abu-abu.[3][3]
Dari sini lah penulis beranjak mengangkat tema dalam
makalah ini yaitu bagaimana Hukum Persefektif Antropologi dan Sosiologi
Hukum.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa Definisi Antropologi Hukum dan Sosiologi Hukum?
2. Bagaimana Hukum Persefektif Antropologi dan Sosiologi
Hukum
BAB II
HUKUM PERSEFEKTIF ANTROPOLOGI DAN
SOSIOLOGI HUKUM
A. Definsi Antropologi dan Sosiologi Hukum
1. Antropologi Hukum
Antropologi hukum itu
adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang manusia (antropos) yang bersangkutan
dengan hukum. Manusia yang dimaksud adalah manusia yang hidup bermasyarakat,
bergaul antara yang satu dan yang lain, baik masyarakat yang masih sederhana
budayanya (primitif) maupun yang sudah modern (maju) budayanya. Budaya yang
dimaksud adalah budaya hukum, yaitu segala bentuk perilaku budaya manusia yang
mempengaruhi atau yang berkaitan dengan masalah hukum.[4][4]
Masalah hukum yang dimaksud
ialah bukan saja hukum dalam arti dan bentuk perilaku sebagai kebiasaan yang
berulangulang terjadi, sebagaimana dalam hukum adat; atau hukum dalam arti dan
bentuk kaidah peraturan dan bentuk kaidah peraturan perundangan; jika demikian
hukum dengan pendekatan yang normatif. Tetapi juga masalah hukum yang dilihat
dari segi-segi kecendikiawan (intelektual), filsafat, ilmu jiwa dan lainnya
yang melatar belakangi hukum itu serta cara-cara menyelesaikan sesuatu
perselisihan yang timbul dalam masyarakat.
Sasaran pokok dalam
antropologi adalah manusia, baru kemudian perilaku budayanya, tidaklah
sebaliknya sebagaimana dalam ilmu yang lain. Dikarenakan perbedaan tempat dan
lingkungan, perbedaan sejarah dan asal-usulnya, perbedaan semangat dan jiwanya,
perbedaan akal dan cara berpikirnya, perbedaan budaya dan agama yang
mempengaruhinya, maka perilaku budaya manusia itu berbeda-beda antara yang satu
dan yang lain. Jadi tidak ada suatu sistem pola perilaku manusia yang seragam,
dan oleh karenanya tidak ada pula sistem pola kepribadian manusia itu yang
sama.[5][5]
Antropologi melihat hukum
itu hanya sebagai suatu aspek dari kebudayaan yaitu suatu aspek yang digunakan
oleh kekuasaan masyarakat yang teratur dalam mengatur perilaku manusia dan
masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan dan agar penyimpangan yang terjadi
dari norma-norma sosial yang telah ditentukan dapat diperbaiki. Dengan demikian
adat masyarakat yang menjadi suatu sistem kontrol sosial itu akan mempunyai
kekuatan hukum, apabila ia digunakan oleh kekuasaan masyarakat. Sebagaimana
dikatakan Hoebel: “Hukum itu ada pada masyarakat yang sederhana dengan hukumnya
yang sederhana atau primitive law, hukum itu ada pada masyarakat purba dengan
hukumnya yang purba atau archaic law, dan hukum itu ada pada masyarakat yang telah
maju dan hukumnya yang modern.”[6][6]
Maka sebagaimana telah
diuraikan di atas dapatlah diketahui bahwa antropologi hukum adalah ilmu
tentang manusia dalam kaitannya dengan kaedah-kaedah sosial yang bersifat
hukum, sedangkan kaedah-kaedah sosial yang tidak bersifat hukum bukanlah
sasaran pokok dalam penelitian antropologi hukum.[7][7]
Antropologi hukum sebagai
ilmu tidak mungkin dibatasi pada suatu bentuk atau bidang khusus hukum.
Bentuk-bentuk seperti hukum negara, hukum adat atau hukum agama, serta bidang-bidang
seperti hukum publik atau hukum privat yang terdiferensiasi dalam ilmu-ilmu
hukum dogmatik. Penelitian antropologi hukum berhubungan dengan semua hukum
yang relevan bagi masalah penelitian khusus yang dikaji. Dalam mengkaji hukum
dalam masyarakat, antar hubungan serta interdependensi berbagai bentuk
normative serta lembaga-lembaga, serta hubunganhubungannya dengan perilaku,
manusialah yang merupakan tema pusat dalam penelitian antropologi hukum.
Antropologi hukum pada
dasarnya mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum dengan
fenomena-fenomena sosial secara empiris dalam kehidupan masyarakat; bagaimana
hukum berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja
sebagai alat pengendalian sosial (social control) atau sarana untuk menjaga
keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat.
2. Sosiologi Hukum
Definisi Sosiologi Menurut
Para Pakar antara lain:[8][8]
Piritim Sorokin Sosiologi
adalah suatu ilmu yang mempelajari :
1.
Hubungan
dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala social (misalnya
antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral; hukum dengan
ekonomi, gerak masyarakat dengan politik dsb.)
2.
Hubungan
dan pengaruh timbale balik antara gejala social dengan gejala-gejala non-sosial
(misalnya gejala geografis, biologis, dsb.
3.
Cirri-ciri
umum semua jenis gejala-gejala sosial.
Roucek dan Warren Sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi Sosiologi atau ilmu masyarakat ialah
ilmu yang mempelajari struktur social dan proses-proses social, termasuk
perubahan-perubahan sosial.
Definisi hukum menurut para
pakar, Mochtar Kusumaatmadja Hukum adalah keseluruhan azas-azas dan
kaedah-kaedah yang mengatur kehidupan masyarakat, termasuk didalamnya lembaga
dan proses untuk mewujudkan hukum itu kedalam kenyataan.
Roscoe Pound, memaknai
hukum dari dua sudut pandang, yakni:
1. Hukum dalam arti sebagai
tata hukum (hubungan antara manusia dengan individu lainnya, dan tingkah laku
para individu yang mempengaruhi individu lainnya, atau tata sosial, atau tata
ekonomi).
2. Hukum dalam arti selaku
kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan
administratif (harapan-harapan atau tuntutan-tuntutan oleh manusia sebagai
individu ataupun kelompok-kelompok manusia yang mempengaruhi hubungan mereka
atau menentukan tingkah laku mereka).
Hukum bagi Rescoe Pound
adalah sebagai “Realitas Sosial” dan negara didirikan demi kepentingan umum ;
hukum adalah sarana utamanya. Karl von Savigny Aliran Historis:
All law is originally
formed by custom and popular feeling, that is, by silently operating forces.
Law is rooted in a people’s history: the roots are fed by the consciousness,
the faith and the customs of the people (Keseluruhan hukum sungguh-sungguh
terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui
pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia,
dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga negara.
Definisi Sosiologi Hukum
Menurut Para Pakar, Soerjono Soekanto Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu
pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari
hubungan timbale balik antara hukum dengan gejala-gejala social lainnya.[9][9]
Satjipto Rahardjo Sosiologi hukum (sociology of law) adalah pengetahuan hukum
terhadap pola prilaku masyarakat dalam konteks sosialnya.[10][10]
R. Otje Salman Sosiologi
hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbale balik antara hukum dengan
gejala-gejala social lainnya secara empiris analitis.[11][11]
Sosiologi hukum adalah ilmu
yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial
lainnya secara empiris analitis.[12][12]
Menurut Brade Meyer
1.
Sociology
af the law – Menjadikan hukum sebagai alat pusat penelitian secara sosiologis
yakni sama halnya bagaimana sosiologi meneliti suatu kelompok kecil lainnya.
Tujuan penelitian adalah selain untuk menggambarkan betapa penting arti hukum
bagi masyarakat luas juga untuk menggambarkan proses internalnya hukum.
2.
Sociology
in the law – Untuk memudahkan fungsi hukumnya, pelaksanaan fungsi hukum dengan
dibantu oleh pengetahuanatau ilmu sosial pada alat-alat hukumnya.
3.
Gejala
social lainnya – Sosiologi bukan hanya saja mempersoalkan penelitian secara
normatif (dassollen) saja tetapi juga mempersoalkan analisa-analisa normatif
didalam rangka efektifitas hukum agar tujan kepastian hukum dapat tercapai.
B. Hukum Persefektif Antropologi dan Sosiologi Hukum
1. Hukum Persefektif
Antropologi Hukum
Awal kelahiran antropologi
hukum biasanya berkaitan dengan karya klasik Sir Henry Maine yang bertajuk “The
Ancient Law”, yang secara ringkas menyatakan hukum berkembang seiring dan
sejalan dengan perkembangan masyarakat, dari masyarakat yang sederhana
(primitive), tradisional, dan kesukuan (tribal) ke masyarakat yang kompleks dan
modern, dan hukum yang inheren dengan masyarakat semula menekankan pada status
kemudian wujudnya berkembang ke bentuk kontrak.[13][13]
Manusia sebagai pelaku-pelaku
hukum dan objek hukum tidak lagi memiliki identitas alami yang lama, melainkan
berubah menjadi (hasil) konstruksi. Hasil konstruksi tersebut adalah seperti
subjek hukum, hak hukum, asas hukum, proses hukum, hubungan hukum dan akibat
hukum. Kendati demikian, masyarakat tempat hukum itu ada dan bekerja tidak
sepenuhnya ikut direkonstruksi bahkan untuk sebagian besar tetap menjalani
kehidupannya yang biasa, yaitu yang alami.[14][14]
Hukum dalam perspektif
antropologi dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara
keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi
sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politk,
ekonomi, ideologi, religi, struktur sosial, dan lain-lain atau hukum dipelajari
sebagai proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena
itu, hukum dalam perspektif antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan
perundang-undangan yang diciptakan oleh negara (state law), tetapi juga hukum
dalam wujudnya sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu
kebiasaan masyarakat (customary law/folk law), termasuk pula di dalamnya
mekanismemekanisme pengaturan dalam masyarakat (self regulation) yang juga
berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (legal order).[15][15]
Menurut pandangan
antropologi, tempat hukum di dalam budaya masyarakat adalah sangat luas. Hukum
mencakupi suatu pandangan masyarakat tentang kebutuhannya untuk survival, hukum
juga merupakan aturan yang mengatur produksi dan distribusi kekayaan dan metode
untuk melindungi masyarakat terhadap kekacauan internal dan musuh dari luar.
Oleh karena itu, para
antropolog mempunyai pengertian tersendiri tentang apa yang mereka pandang
sebagai hukum, yaitu antara lain:
1.
Any
rule of conduct likely to be enforced by the courts (Schapera).
2.
The
whole reservoir of ruler on which judges draw for their decisions (Gluckman).
3.
That
bodies of binding obligation, which has been reinstitutionalised whithin, the
legal institutions (Bohannan).
4.
Rules
or modes of conduct made obligations by same sanction which is imposed and
enforced for their violations by controling authority (Pospisil).
Dewasa ini ada kecendrungan
luas untuk membatasi ruang lingkup antropologi hukum pada masalah sengketa yang
terjadi di dalam suatu masyarakat, baik itu mengenai pola-pola sengketa,
bagaimana reaksinya dalam masyarakat dan bagaimana cara mengatasi
sengketa-sengketa tersebut, yang pada mulanya hanya bersifat menguraikan
laporan tentang norma-norma hukum dalam masyarakat sederhana yang dikumpulkan
dari para penulis pegawai pemerintahan kolonial dan para misionaris. Seperti
pernyataan Laura Nader dalam bukunya “The Anthropological Study of Law”, antara
lain dikemukakan masalah pokok yang merupakan ruang lingkup antropologi hukum
sebagai berikut:
1.
Apakah
dalam setiap masyarakat terdapat hukum, dan bagaimana karakteristik hukum yang
universal.
2.
Bagaimana
hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi sosial.
3.
Mungkinkah
mengadakan tipologi hukum tertentu, sedangkan variasi karakteristik hukum
terbatas.
4.
Apakah
tipologi hukum itu berguna untuk menelaah hubungan antara hukum dan aspek
kebudayaan dan organisasi sosial. Mengapa pula hukum itu berubah.
5.
Bagaimana
cara mendeskripsi sistemsistem hukum, apakah akibat jika sistem hukum dan
subsistem hukum antara masyarakat dan kebudayaan yang saling berhubungan, dan
bagaimana kemungkinan untuk membandingkan sistem hukum yang satu dan yang lain.[16][16]
Oleh karena itu
masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian erat hubungannya dengan lembaga
pengendalian sosial di dalam masyarakat-masyarakat tertentu. Pendapat Leopold Pospisil mengenai ciriciri
hukum yang diutarakan dalam bukunya “Anthropology of Law: A Comparative
Theory”, sebagaimana yang diutarakan pada halaman sebelumnya, oleh karena pada
saat ini ciri-ciri yang dikemukakan olehnya dianggap sudah cukup lengkap untuk
dapat menggambarkan hukum dan membedakannya dari gejala-gejala sosial budaya
lainnya di dalam masyarakat.[17][17]
Studi-studi antropologis
mengenai hukum diawali dengan munculnya pertanyaanpertanyaan mendasar: apakah
hukum itu? Dan apakah hukum itu terdapat dalam setiap bentuk masyarakat? Untuk
menjawab pertanyaan di atas diungkapkan oleh dua ahli antropologi ternama,
yaitu Radcliffe-Brown dan Bronislaw Malinowski.
Hukum menurut
Radcliffe-Brown: “Suatu sistem pengendalian sosial yang hanya muncul dalam
kehidupan masyarakat yang berada dalam suatu bangunan negara, karena hanya
dalam suatu organisasi sosial seperti negara terdapat pranata-pranata hukum
seperti polisi, pengadilan, penjara, dan lain-lain. Sedangkan dalam masyarakat
masyarakat bersahaja yang tidak terorganisasi secara politis sebagai suatu
negara tidak mempunyai hukum. Walaupun tidak mempunyai hukum, ketertiban
sosial dalam masyarakat tersebut diatur dan dijaga oleh tradisi-tradisi yang
ditaati oleh warga masyarakat secara otomatis spontan.”[18][18]
Hukum menurut Bronislaw Malinowski: “Hukum tidak semata-mata terdapat dalam masyarakat
yang terorganisasi suatu negara, tetapi hukum sebagai sarana pengendalian
sosial (legal order) terdapat dalam setiap bentuk masyarakat. Hukum dalam
kehidupan masyarakat bukan ditaati karena adanya tradisi ketaatan yang bersifat
otomatis spontan, seperti dikatakan Radcliffe- Brown, tetapi karena adanya
prinsip timbalbalik dan prinsip publisitas.”
Pendapat dua ahli antropologi di atas
dapat dikatakan bahwa apabila hukum diberi pengertian yang sempit, hanya
sebagai sistem pengendalian sosial yang diciptakan oleh lembaga legislatif dan
diterapkan oleh aparat penegakan hukum seperti polisi, pengadilan, jaksa, atau
penjara dalam kehidupan organisasi negara, maka hukum diartikan bahwa
masyarakatmasyarakat yang sederhana yang tidak terorganisasi sebagai suatu
negara tidak memiliki hukum, tetapi bila hukum diberi pengertian yang luas,
yaitu sebagai prosesproses pengendalian sosial yang didasarkan pada prinsip
resiprositas dan publisitas yang secara empiris berlangsung dalam kehidupan
masyarakat, maka semua bentuk masyarakat betapapun
sederhananya memiliki hukum dalam bentuk mekanisme-mekanisme yang diciptakan
untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana pengendalian sosial.
Dalam perkembangannya
pendapat Malinowski memperoleh komentar dan kritik dari Bohannan, yang
menyatakan:
1.
Mekanisme
resiprositas dan publisitas sebagai kriteria untuk mengatur hak dan kewajiban
dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya bukanlah merupakan hukum seperti
dimaksudkan Malinowski, tetapi hanya merupakan suatu kebiasaan (custom) yang
digunakan masyarakat untuk menjaga keteraturan sosial.
2.
Pengertian
hukum harus dibedakan dengan tradisi atau kebiasaan, atau lebih spesifik norma
hukum mempunyai pengertian yang berbeda dengan kebiasaan. Norma hukum adalah
peraturan hukum yang mencerminkan tingkah laku yang seharusnya (ought)
dilakukan dalam hubungan antar individu. Sedangkan kebiasaan merupakan
seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan berlangsung dalam
kurun waktu yang lama. Kadangkala kebiasaan bisa sama dengan norma hukum,
tetapi bisa juga bertentangan.
3.
Kebiasaan
terwujud sebagai institusi non hukum sedangkan peraturan merupakan institusi
hukum, di dalam masyarakat ditemukan keduanya. Norma-norma hukum cenderung
mengabaikan bahkan sebaliknya memfungsikan keberadaan kebiasaan-kebiasaan dalam
penyelesaian kasus-kasus sengketa yang terjadi dalam masyarakat.
Peraturan-peraturan hukum
juga mengembangkan kebiasaan-kebiasaan sebagai institusi hukum melalui proses
pelembagaan ulang (reinstitutionalized) dan dinyatakan ulang (restated)
sehingga peraturan hukum juga sebagai suatu kebiasaan yang telah dilembagakan
kembali untuk tujuan-tujuan yang ingin dicapai hukum tersebut.
Komentar dan kritik
terhadap Malinowski juga dilontarkan oleh Pospisil, yang pada pokoknya
menyatakan:
1.
Pengertian
hukum yang dikemukakan Malinowski dipandang terlalu luas, sehingga hukum yang
dimaksudkan juga mencakup pengertian kebiasaan-kebiasaan, dan bahkan semua
bentuk kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan aspek religi dan juga
kewajiban yang bersifat moral dalam kehidupan masyarakat.
2.
Hukum
pada dasarnya adalah suatu aktivitas kebudayaan yang mempunyai fungsi sebagai
alat untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana pengendalian sosial
dalam masyarakat. Untuk itu cara
membedakan peraturan hukum dengan norma-norma lain, peraturan hukum dicirikan
ada 4 atribut hukum, yaitu:
a.
Atribut
otoritas (attributes of authority), keputusan berdasarkan pemegang otoritas
untuk menyelesaikan sengketa atau ketegangan sosial dalam masyarakat.
b.
Atribut
dengan maksud untuk diaplikasikan terhadap peristiwa peristiwa-peristiwa yang
sama secara universal (attribute of intention of universal application).
c.
Atribut
obligasio (attribute of obligatio), yaitu keputusan-keputusan dari pihak
pemegang otoritas mengandung suatu pernyataan bahwa pihak pertama memiliki hak
untuk menagih sesuatu dari pihak kedua, dan pihak kedua mempunyai kewajiban
untuk memenuhi hak pihak pertama tersebut sepanjang mereka masih hidup.
d.
Atribut
sanksi (attribute of sanction), yaitu keputusan-keputusan dari pihak pemegang
otoritas tersebut juga disertai dengan penjatuhan sanksi-sanksi, baik berupa
sanksi yang bersifat fisik, seperti hukuman badan dan penyitaan harta benda,
atau sanksi non fisik seperti dipermalukan di depan orang banyak, diasingkan
dari pergaulan sosial, dibuat menjadi ketakutan, dan lain-lain.
Di bawah ini akan diuraikan
pandangan beberapa sarjana tentang apakan hukum itu, berdasarkan hasil-hasil
penelitian mereka di berbagai suku-suku bangsa atau masyarakat yang kehidupan
budayanya masih sederhana, di antaranya:
1.
Bronislaw
Malinowski
Sarjana Antropologi hukum
bernama Bronislaw Malinowski (1884-1942) yang pernah melakukan pada masyarakat
Trobian di Kepulauan Solomon Papua Nugini mengemukakan bahwa untuk membedakan
antara aturan hukum dengan aturan kemasyarakatan yang lain ialah dilihat dari
mekanisme kekuatan mengikat. Bahwa ciri-ciri aturan hukum itu dapat dirinci
pengertiannya sebagai berikut:
a.
Dikatakan
aturan-aturan hukum apabila aturan itu dirasakan dan dianggap menimbulkan
kewajiban di satu pihak dan hak-hak di lain pihak.
b.
Aturan
hukum itu mempunyai sanksi negatif atau sanksi positif berdasarkan kejiwaan dan
adanya mekanisme (cara bekerja) kekuatan yang mengikat.
c.
Kekuatan
mengikat itu terwujud dari adanya hubungan timbal balik karena proses tukar
menukar jasa.
d.
Kekuatan
mengikat itu didasarkan pada adanya hak untuk saling menuntut dalam hubungan
yang bersifat ganda.
e.
Kekuatan
mengikat itu bertambah kuat dengan adanya upacara dalam proses transaksi,
karena dengan diadakan upacara berarti umum mengetahui dan terbuka mengemukakan
pendapatnya.
Dengan demikian yang
pertama, bukan rasa kebersamaan atau tanggung jawab bersama yang menjadi sebab
dan menjamin ketaatan terhadap adat sehingga timbul sifat mengikat, sehingga
adat itu menjadi hukum adat. Kedua tidaklah benar jika dikatakan dengan adanya
kepercayaan yang supernatural dan kemungkinan terhadap si pelaku pelanggaran
hukum akan dikucilkan, merupakan tindakan yang sudah cukup untuk mencegah
seseorang melakukan pelanggaran. Ketiga bahwa setiap pelanggaran adat itu
dijatuhi pidana, bahkan menurut mekanisme yang berlaku dapat diketahui yang
mana yang merupakan hukum pidana dan yang mana yang hukum perdata. Begitu pula
halnya dengan masyarakat Melanesia menurutnya:
·
Hukum
itu tidaklah berproses dalam lembaga yang mandiri.
·
Hukum
itu adalah suatu aspek dari kehidupan masyarakat sederhana yang sekaligus
sebagai bagian dari susunan masyarakat, dan tidak terpisahkan sebagai lembaga
sendiri.
·
Hukum
tidaklah terdapat dalam bentuk keputusan yang berkaitan dengan pelanggaran yang
akan terjadi kemudian dan kemudian baru diatur penanggulangannya.
·
Hukum
adalah hasil dari susunan hak dan kewajiban yang mencegah seseorang untuk
menghindari tanggung jawab dari pelanggaran, oleh karenanya ia harus menanggung
akibatnya.[19][19]
Teori yang dikembangkan
Malinowski terhadap hukum adalah adanya prinsip timbal-balik (principle of
reciprocity) dan prinsip publisitas (principle of publicity) yang secara
empiris berlangsung dalam kehidupan masyarakat, maka semua bentuk masyarakat
betapapun sederhananya memiliki hukum dalam bentuk mekanisme-mekanisme yang
diciptakan untuk menjaga keteratuan sosial atau sebagai sarana pengendalian sosial.[20][20]
2.
E.
Adamson Hoebel
Sarjana Antropologi Amerika
E. Adamson Hoebel adalah antropolog pertama yang melakukan kerja sama antar
disiplin sarjana hukum Karl Llewellyn sehingga melahirkan antropologi hukum.
Mereka antara lain melakukan penelitian lapangan terhadap orang-orang Indian
Comanche, Chyenne, ueblos Keresan (New Mexico).
Dia memulai pengertian
hukum itu dengan pengertian suatu definisi, karena suatu definisi hanya
menguraikan kata-kata sedangkan fakta-fakta adalah kenyataan yang terjadi; memang
suatu definisi adalah sekunder, tetapi gunanya bersifat fungsional.
Dalam buku mereka (Hoebel
dan Karl Llewellyn) “Cheyenne Way” mereka mengemukakan adanya empat unsur
hakiki dari hukum yang mengelompok sebagai suatu gejala yang disebut
‘authority’, baik dalam kelompok masyarakat maupun dalam suatu kebudayaan.
Unsur-unsur dimaksud adalah:
a.
Unsur
imperatif (yang memerintah), bahwa hukum itu dibuat atau ditetapkan oleh pihak
yang memerintah, untuk mengatur warga masyarakat pada suatu arah tertentu,
b.
Supremasi
(yang tertinggi), bahwa hukum itu menunjukkan sebagai fakta dan jika hukum itu
diperlukan,
c.
Sistem,
bahwa hukum itu merupakan tata yang bertautan satu sama lain,
d.
Resmi,
bahwa hukum itu memiliki kualitas umum (publik) yang diakui oleh masyarakat
dengan resmi.
Authority menurut Hoebel
dan Karl Llewellyn merupakan suatu ringkasan pengertian ciri hukum yang
dikaitkan dengan keputusan dari seseorang atau berbagai kelompok dan
kebudayaan. Sehingga kekuasaan itu merupakan acara (procedure) atau merupakan
pola kegiatan atau kaedah-kaedah kegiatan yang sudah lemah derajatnya terhadap
seseorang. Misalnya dalam hukum yang sudah kuno, terdapat tabu atau pantangan
yang mempunyai kekuatan tanpa ada petugas yang memaksakan berlakunya, dan atau
suatu cara menyelesaikan kekecewaan dengan mengadakan perjanjian, sumpah atau
pertandingan keagamaan yang dilaksanakan tanpa adanya petugas yang mengawasi.
Dengan demikian kekuasaan ini adalah dalam arti yang abstrak.
Esensi pandangan Hoebel
tentang hukum, adalah antara lain:
a.
Ia
menggunakan metode kasus dari studinya sebagai alat yang memungkinkan baginya
untuk melakukan pendekatan terhadap bahan hukum dari suatu kebudayaan (“the law
stuff of a culture”). Ia menolak investigasi terhadap aturan-aturan yang
abstrak, atau abstraksi semata dari perilaku sosial.
b.
Konsep
dari beberapa pakar antropologi tentang “lawless tribal society” (masyarakat
yang tidak mengenal hukum) ditolaknya sebagai suatu mitos. Ketegasannya
mengatakan tidak ada tribal groups.
c.
Ada
tiga unsur esensial hukum yang mungkin digunakan sebagai kriteria untuk
mengidentifikasi yang mana yang termasuk fenomena-fenomena hukum, ketiga unsur
esensial itu adalah :
·
Keteraturan
hidup (regularity);
·
Otoritas
pajabat (official authority);
·
Sanksi,
secara yuridis sanksi ini merupakan aplikasi paksaan secara fisik yang
dilaksanakan secara resmi (officially) maupun quasi officially, atas nama
masyarakat secara keseluruhan dan dengan penerimaan masyarakat secara umum
terhadap legitimasinya.
Fungsi
hukum yang dikaitkan Hoebel dengan pola-pola budaya, dilihat dalam empat lapis,
yaitu :
a.
The
determination and promulgation of the mode of relations among members of a
group, involving the acceptance or prohibition of certain declared types of
behavior.
b.
The
allocation of authority in relation to the prevention and punishment of those
who ignore norms.
c.
The
resolution of disputes so that social cohesion might continue.
d.
The
continue re-examination of social relationship so that legal system might
reflect, and adapt to, change.[21][21]
Teori yang dikembangkan
Hoebel dan Karl Llewellyn terhadap hukum adalah Keteraturan hidup (regularity);
Otoritas pejabat (official authority); Sanksi, Pada akhirnya hukum dirumuskan
yaitu:
“Suatu kaedah sosial adalah
hukum, apabila ada kelalaian dalam mentaatinya atau pelanggaran terhadapnya
ditanggulangi dalam bentuk ancaman atau kenyataannya, dengan menerapkan
kekuatan fisik, dilakukan oleh se seorang atau kelompok yang diakui masyarakat
mempunyai hak istimewa”.[22][22]
3.
Robert
Redfield
Robert Redfield menulis
beberapa buku ‘La ley primitiva’, Mexicana ed Sociologica (1941); ‘Maine’s
Ancient in the Light of Primitive Societies’, Western Political Quarterly
(1950), ‘the Primitive World and Its Transformations’ 1953) mengemukakan jika
akan membahas hukum sederhana dapat memilih tiga jalur, yaitu:
1.
Jalur
kanan, yaitu jalur yang mengakui adanya hukum apabila ada pengadilan dan kitab
Undang-undang dalam suatu negara.
2.
Jalur
kiri, yaitu jalur yang tidak mengidentifikasi hukum dengan pengadilan dan kitab
Undang-undang.
3.
Jalur
tengah, yaitu jalur yang bertitik tolak dari konsep hukum sebagai gejala yang
dikenal pada masyarakat yang sudah beradab (civilized societies) dan sudah
menerapkan kekuatan secara sistematis dan formal oleh negara, di dalam
melaksanakan aturan-aturan yang eksplisit.
Hukum pada masyarakat yang
maju menunjukkan sebagai berikut:
1.
terdapat
berbagai kekhususan,
2.
hukum
terwujud dalam kerangka yang berbeda dari pertimbangan pribadi dan budaya, yang
mendorong orang memilih pola perilaku tertentu dalam kehidupan sehari-hari,
3.
hukum
terwujud dalam sendi-sendi dan batas-batas dengan berbagai macam sarana
penegakannya,
4.
hukum
dirasakan sebagai gejala yang berada di luar kehidupan sosial, bersifat mandiri
dan memaksa.[23][23]
Pada masyarakat sederhana
sistem hukum yang rumit itu tidak akan dijumpai, tetapi akan ada aturan-aturan
perilaku yang mencerminkan bentuk hukum. Dari hasil penelitian yang dilakukan
terhadap aturan-aturan dan tata cara yang dilakukan terhadap masyarakat
sederhana, jika dikembangkan akan menjadi suatu sistem hukum yang dikenal dalam
masyarakat yang sudah maju. Masalah yang penting ialah bagaimana menentukan
aturan-aturan perilaku tadi sebagai hukum, jika tidak ada organisasi politik
dan lembaga-lembaga hukum tertentu seperti pengadilan dan kitab undang-undang.
Dan perlu diperhatikan bahwa hukum sederhana itu tidak hanya satu dan sama,
oleh karena masyarakat sederhana itu bermacam ragam, dengan aturan dan
lembaga-lembaganya yang berbeda-beda.[24][24]
Teori yang dikembangkan
Robert Redfield terhadap hukum adalah Jalur tengah, yaitu jalur yang bertitik
tolak dari konsep hukum sebagai gejala yang dikenal pada masyarakat yang sudah
beradab (civilized societies) dan sudah menerapkan kekuatan secara sistematis
dan formal oleh negara, di dalam melaksanakan aturan-aturan yang eksplisit.
4.
P.
J. Bohannan
P.J.Bohannan, bukunya
berjudul ”Justice and Judgement Among the Tiv”, mengemukakan sebagai berikut:
1)
Orang-orang
yang terlibat dalam suatu peristiwa sosial akan menafsirkan peristiwa itu,
2)
Mereka
akan menyusun sistem-sistem yang berarti dalam hubungan sosial itu,
3)
Sistem
itu merupakan suatu sistem interpretasi rakyat (folksystem of interpretation)
yang sejalan dengan cara rakyat berbicara.[25][25]
Ajaran Paul Bohannan yang
paling khusus dan terkenal adalah “a double legitimacy”. Ia berpandangan bahwa
seluruh kaedah hukum berasal dari kaedah-kaedah nonhukum lain yang sudah ada
sebelumnya. Tidak ada kaedah hukum yang langsung lahir sebagai kaedah hukum.
Keseluruhannya melalui proses penglegitimasian kembali (double legitimacy).[26][26]
Bagi Bohannan, hukum
sebaiknya Dipikirkan sebagai seperangkat kewajibankewajiban yang mengikat yang
dipandang sebagai hak oleh suatu pihak dan diterima sebagai kewajiban oleh
pihak lain, dan yang telah dilegitimasi kembali dalam pranatapranata hukum agar
masyarakat dapat terus berfungsi dengan cara teratur berdasarkan aturan-aturan
yang dipertahankan melalui cara tersebut.[27][27]
Asas timbal-balik merupakan
dasar kebiasaan, dan berbeda dengan hukum yang berdasarkan kepada
penglegitimasian kembali. Menurut Bohannan sanksi adalah seperangkat aturan
yang mengatur bagaimana pranata-pranata hukum mencampuri suatu masalah agar
dapat memelihara suatu sistem sosial sehingga memungkinkan warga masyarakat
hidup dalam sistem itu secara tenang serta dengan cara-cara yang dapat
diperhitungkan.
Suatu dilema yang tidak dapat
dielakkan banwa hukum itu selalu tertinggal dari masyarakat, oleh karenanya
warga masyarakat harus selalu berusaha untuk memperkecil kesenjangan tersebut.
Contohnya pada masyarakat yang sudah maju, seperti diperkotaan, prosedur
pelembagaan kembali untuk menjadikan hukum, diserahkan kepada badan politik
seperti badan pembuat Undang-undang. Sehingga terdapat kecendrungan bahwa pada
lembaga-lembaga hukum untuk tidak lagi mencerminkan adat kebiasaan, tetapi
malahan membentuk hukum yang baru, maka lembaga-lembaga sosial yang bukan
lembaga hukum memerlukan banyak waktu untuk dapat mengejar hukum itu.[28][28]
Pada masyarakat yang
hukumnya masih sederhana atau sistem hukumnya kurang berkembang, jarang sekali
para warga masyarakatnya mengajukan perkaranya kepada lembaga-lembaga hukum.
Oleh karenanya maka di antara lembaga-lembaga sosial yang primer dan
lembaga-lembaga hukum dapat dikatakan tidak berhubungan yang satu dan lainnya.[29][29]
Teori yang dikembangkan
Bohannan terhadap hukum adalah mengemukakan unsur-unsur hukum itu adalah
penggunaan ‘paksaan fisik’ yang didampingi unsure ‘keteraturan’ dan unsur
‘authority’. Ini berkaitan dengan adanya adat kebiasaan yang ditaati masyarakat
dan adanya hukum yang merupakan aturan-aturan yang ditafsirkan oleh lembaga
(institution). Juga berkaitan dengan pelembagan ganda yang dapat
mengidentifikasi hukum sebagai kaedah-kaedah yang menjabarkan hukum ke dalam
bagian-bagian yang lebih kecil sehingga dapat ditautkan dengan pribadi atau
kelompok-kelompok. Kesenjangan merupakan sifat hukum dan kemampuannya untuk
melaksanakan sesuatu terhadap lembaga-lembaga sosial, terjadinya perubahan
terhadap lembaga-lembaga primer, berakibat timbulnya kesenjangan. Lalu
kekuasaan yang sifatnya unisentris (terpusat menjadi satu).
5.
Leopold
J. Pospisil
Leopold J. Pospisil berasal
dari Cekoslovakia, bukunya yang terkenal adalah “Anthropology of Law: a Comparative Theory”. Menurutnya hukum
dikenal Melalui identitas yang mempergunakan atribut-atribut atau ciri-ciri yang
dapat dipergunakan untuk membedakan hukum dari gejala-gejala sosial lainnya
(misalnya ekonomi, politik dan lain-lain). Di dalam penelitiannya terhadap
berbagai masyarakat, ia membuat suatu analisa perbandingan, sehingga
menghasilkan 4 atribut hukum, yakni:
1.
wewenang
(authority), merupakan kekuasaan yang diakui, sehingga keputusan- keputusan
yang dihasilkan oleh pihak yang berwenang diikuti oleh pihak- pihak lainnya.
2.
tujuan
agar hukum diperlakuakn secara universal (intention of universal application),
apabila ada masalahmasalan di kemudian hari, maka hal itu akan diputuskan
berdasarkan prinsip-prinsip yang sama, walaupun kemungkinan terjadinya variasi
tentu ada.
3.
hak
dan kewajiban (obligation), ini harus ada di dalam setiap keputusan pihak yang
berwenang. Di dalam keputusan-keputusan yang menyangkut hubungan antara
pihak-pihak tertentu, maka salah satu pihak mempunyai hak atau wewenang,
sedangkan pihak lain mendapat kewajiban atau tugas. Hak dan kewajiban tersebut
hanyalah menyangkut pribadi-pribadi yang masih hidup.
4.
dan
sanksi (sanction), hanya merupakan ciri bukan suatu kriterium utama atau pokok,
sebab sanksi tersebut tidak selamanya berbentuk fisik tetapat bisa juga
berbentuk kejiwaan atau psikologis.[30][30]
Teori yang dikembangkan
Pospisil terhadap hukum adalah wewenang (authority), tujuan agar hukum
diperlakuakn secara universal (intention of universal application), hak dan
kewajiban (obligation), dan sanksi (sanction).
2. Hukum Persefektif Sosiologi Hukum
Studi hukum dalam
perspektif ilmu sosial merupakan sebuah ikhtiar melakukan konstuksi hukum yang
didasarkan pada fenomena sosial yang ada. Prilaku masyarakat yang dikaji adalah
prilaku yang timbul akibat berinteraksi dengan sistem norma yang ada. Interaksi
itu muncul sebagai bentuk reaksi masyarakat atas diterapkannya sebuah ketentuan
perundang-undangan positif dan bisa pula dilihat prilaku masyarakat sebagai
bentuk aksi dalam memengaruhi pembentukan sebuah ketentuan hukum positif.
Contoh yang dapat digambarkan dalam model studi hukum dalam perspektif sosial
adalah misalnya studi tentang hukum pertanahan tentang pengadaan tanah untuk
kepentingan umum. Kita bisa mulai dari aturan perundang-undangan yang berlaku
yang mengatur masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Apakah ada
ketidaksesuaian antara peraturan perundangan dengan kondisi masyarakat,
sehingga menimbulkan konflik ketika pemrintah melakuakan pembebasan tanah dan
seterusnya.
Dengan demikian, kajian
sosiologi hukum adalah suatu kajian yang objeknya fenomena hukum, tetapi
menggunakan optik ilmu sosial dan teori-teori sosiologis, sehingga sering
disalahtafsirkan bukan hanya oleh kalangan non hukum, tetapi juga dari kalangan
hukum sendiri. Yang pasti Kajian yang digunakan dalam kajian sosiologi hukum
berbeda dengan Kajian yang digunakan oleh Ilmu Hukum seperti Ilmu Hukum Pidana,
Ilmu Hukum Perdata, Ilmu Hukum Acara, dan seterusnya. Persamaannya hanyalah
bahwa baik Ilmu Hukum maupun Sosiologi Hukum, obyeknya adalah hukum. Jadi
meskipun obyeknya sama yaitu hukum, namun karena “kacamata” yang digunakan
dalam memandang obyeknya itu berbeda, maka berbeda pulalah penglihatan terhadap
obyek tadi. Yang mengenakan kaca mata hitam akan melihat obyeknya sebagai
sesuatu yang hitam, sebaliknya yang memakai kacamata abu-abu akan melihat
obyeknya abu-abu.[31][31]
Disadari bahwa hukum
merupakan salah satu dari pranata-pranata yang bersifat sentral bagi sifat
sosial manusia dan yang tanpa pranata-pranata itu, maka manusia akan menjadi
suatu makhluk yang sangat berbeda. Banyak bidang pemikiran dan tindakan, yang
di dalamnya hukum, ditelaah dan terus memainkan peran besar dalam kegiatan
manusia. Pemikiran tentang hukum telah berkembang sepanjang sejarah umat
manusia. Para filosof mulai dari Plato hingga Marx telah menegaskan betapa
hukum adalah sesuatu yang buruk, yang menjadikan umat manusia akan melakukan
dengan baik untuk mengendarai cirinya sendiri. Namun demikian, terhadap semua
keraguan filosofis tersebut, pengalaman telah membuktikan bahwa hukum merupakan
salah satu dari kekuatan-kekuatan besar yang menciptakan peradaban dalam
masyarakat manusia, di mana perkembangan peradaban umumnya telah dikaitkan
dengan perkembangan gradual suatu sistem aturan-aturan hukum, bersama-sama
dengan mekanisme untuk penegakannya yang teratur dan efektif.
Namun demikian, seperti
yang pernah dikemukakan oleh Prof. Dennis Lloyd (1982), ketentuan hukum tidak
berada dalam suatu ruang kosong, tetapi ditemukan berdampingan dengan
aturan-aturan moral dengan kompleksitas atau kurang-lebih yang berwujud
kepastian. Di lain pihak, hukum juga merupakan salah satu “gejala sosial” ,
yang diterapkan di dalam masyarakat yang berbeda-beda satu sama lain. Olehnya,
kitapun tak dapat menafikan wujud hukum sebagai “realitas sosial”.
Dalam perkembangannya,
paling tidak ada tiga jenis kajian yang dapat digunakan dalam mempelajari ilmu
hukum, yaitu : (a) Kajian normatif, yang memandang hukum hanya dalam
wujudnyasebagai aturan dan norma; (b) Kajian filosofis, yang memandang hukum
sebagai pemikiran, dan (c) Kajian sosiologis, yang memandang hukum sebagai
perilaku.
Kajian sosiologis terhadap
hukum menunjukkan karakter pandangan empiris. Mereka ingin melakukan pemahaman
secara sosiologis terhadap fenomna hukum. Jadi, “interpretative understanding
of sosial conduct” ( suatu usaha untuk memahami objeknya dari segi tingkah laku
sosial), meliputi : “ causes, its course, and its effects”. Fenomena hukum dari
sudut pandangan aliran sosiologis ini adalah gejala-gejala yang mengandung
streotip baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Kebangkitan kembali
kajian-kajian sosial mengenai hukum pada dekade 1960-1970 an, diikuti juga
dengan kelahiran critical legal thought generasi baru, seperti studi hukum
kritis (critical legal studies-CLS). Menurut Erlyn Indarti CLS adalah salah
satu dari 4 paradigma utama yaitu: Positivisme,Post-positivisme,Critical Theory
et al dan Kontruktivisme[32][32].CLS
atau Critical Theory et al sebagai salah satu aliran atau mashab dalam
pemikiran hukum, kehadirannya telah menginspirasi jurisprudence-jurisprudence
baru semacam feminist jurisprudence dan critical race theories. Sebagian orang
menilai CLS bukan sebagai aliran pemikiran hukum melainkan hanya gerakan dalam
pemikiranhukum. Sementara realisme hukum, menurut Karl Llewellyn bukan sebuah
filsafat melainkan teknologi. Realisme hukum tidak lebih dari hanya sekedar
teknologi.
Baik kajian-kajian sosial
mengenai hukum maupun pemikiran kritis mengenai hukum sama-sama berasumsi bahwa
hukum tidak terletak di dalam ruang hampa. Hukum tidak dapat eksis, dan oleh
karena itu tidak dapat dipelajari, dalam ruang yang vakum.[33][33]
Hukum terletak dalam ruang
sosial yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar hukum. Bagi kalangan
instrumentalis, hukum bahkan dianggap hanya sebagai instrumen yang mengabdi
kepada kepentingan kelompok berkuasa. Pendapat ini sedikit berbeda dengan
kelompok strukturalis yang , sekalipun mengakui pengaruh kekuatan di luar hukum
terhadap hukum, namun menganggap hukum masih memiliki otonomi relatif.
Sekalipun demikian, terdapat sedikit perbedaan antara kajian-kajian sosial
terhadap hukum dengan pemikiran kritis mengenai hukum. Studi hukum perspektif
sosiologis melihat hukum sebagai salah satu faktor dalam sistem sosial yang
dapat menentukan dan ditentukan. Ada sejumlah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan hal ini, seperti: apply sosial science to law, sosialscientific
approaches to law, disciplines that apply sosial scientific perspective to
study of law. Sedangkan critical legal thought, mencoba menjelaskan hukum
dengan meminjam bantuan dari ilmu-ilmu sosial.
Terdapat perbedaan mengenai
daftar ilmu-ilmu sosial yang dimasukkan ke dalam cakupan studi hukum perspektif
sosiologis. Sekalipun demikian, ada 5 disiplin ilmu yang selalu masuk ke dalam
daftartersebut, yakni sosiologi hukum, antropologi hukum, sejarah hukum,
politik hukum (hubungan politik dengan hukum) dan psikologi hukum. Terus
berkembangnya minat untuk mengkaji hukum menyebabkan lahirnya disiplin-disiplin
baru yang masuk ke dalam cakupan studi hukum perspektif sosiologis seperti
administrasi publik.
Ilmu-ilmu sosial yang masuk
ke dalam studi hukum perspektif sosiologis tergolong sebagai ilmu hukum (dalam
arti luas). Ilmu hukum pun dibagi ke dalam 2 kelompok yakni: ilmu hukum
normatif, yang juga popular disebut sebagai dogmatika hukum dan ilmu hukum
empirik. Kelompok disiplin ilmu yang masuk ke dalam socio-legal studies, masuk
ke dalam kelompok ilmu hukum empirik. Dalam konsepsi Meuwissen, ilmu hukum atau
dogmatika hukum adalah disiplin hukum yang paling rendah tingkat abstraksinya.
Sedangkan filsafat hukum adalah disiplin hukum yang tingkat abstraksinya paling
tinggi. Di tengah-tengah ilmu hukum dan filsafat hukum terdapat teori hukum
(jurisprudence). Penggolongan yang dirumuskan oleh Meuwissen tentulah
bertetangan dengan pendapat yang mengatakan bahwa hampir semua disiplin ilmu
yang masuk ke dalam studi hukum perspektif sosiologis adalah anak dari induknya
yang nota bene adalah ilmu sosial. Sosiologi hukum adalah anak dari ilmu
sosiologi. Antropologi hukum adalah anak dari antrpologi budaya dan sejarah
hukum adalah anak dari ilmu sejarah.
Di awal-awal kemunculannya,
studi hukum perspektif sosiologis banyak dipengaruhi oleh aliran pemikiran
kiri. Teori Kritis dari Mazhab Frankfurt dan new left berkontribusi banyak pada
socio-legal studies. Sekalipun ada anggapan bahwa studi hukum perspektif
sosiologis banyak dipengaruhi teori-teori berhaluan kiri, namun kajian ini
justru menuai kritik dari kelompok kiri sendiri. Adalah kelompok Marxist legal
sociologist dari Inggris yang menuding pemikir studi hukum perspektif
sosiologis sebagai kaum liberal yang karya-karyanya defisit dan konservatif.
Mulai dekade 1980-an, studi hukum perspektif sosiologis banyak diwarnai juga
oleh kajian-kajian post-modernisme. Studi hukum perspektif sosiologis
mengembangkan konsep anti metanarasi, anti totalitas dan anti universalitas ke
dalam kajian-kajian mengenai hukum. Studi hukum perspektif sosiologis
mempertanyakan tafsir monolitik dari pengambil kebijakan, universalitas dari
pemberlakukan undang-undang dan kebenaran dari doktrin-doktrin (metanarasi) klasik
seperti rule of law dan equality before the law.[34][34]
Studi sosiologi berbeda
dengan sosiologi hukum, dimana sosiologi hukum benih intelektualnya terutama
berasal dari sosiologi arus utama, dan bertujuan untuk dapat mengkonstruksi
pemahaman toritik dari sistem hukum. Ha itu dilakukan oleh para sosiolog hukum
dengan cara menempatkan hukum dalam kerangka struktur sosial yang luas.
Hukum sebagai mekanisme
regulasi sosial dan hukum sebagai sesuatu profesi dan disiplin, menjadi
perhatian dalam studi ini. Studi ini banyak memusatkan perhatian kepada wacana
hukum yang merupakan bagian dari pengalaman dalam kehidupan keseharian
masyarakat. Hukum yang dimaksud adalah kaidah atau norma sosial yang telah
ditegaskan sebagai hukum dalam bentuk perundang-undangan. Lingkup kajiannya
adalah mengenai berfungsi atau tidaknya hukum dalam masyarakat dengan melihat
aspek struktur hukum, dan aparat penegak hukum. Beberapa konsep penting yang
dikaji adalah mengenai pengendalian sosial, sosialisasi hukum, stratifikasi,
perubahan hukum dan perubahan sosial.
a. Ruang lingkup Sosiologi Hukum, Dasar
sosial dari hukum dengan anggapan bahwa hukum timbul dan tumbuh dari proses
sosial lainnya (the genetic sociology of law), Efek hukum terhadap
gejala-gejala social lain (the operational sociology of law);
· Antropologi
hukum adalah ilmu yang mempelajari pola-pola sengketa dan penyelesaiannya pada
masyarakat sederhana dan modern sesuai dengan budaya masing-masing
· Psikologi hukum
adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan
jiwa manusia dengan tujuan penyerasian terhadap hukum
· Perbandingan
hukum adalah ilmu pengetahuan yang memperbandingkan sistem hukum yang berlaku
didalam satu atau beberapa mayarakat dengan tujuan melakukan pembinaan hukum
· Sejarah hukum
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum masa lampau (masa penjajahan
kolonial belanda) sampai dengan sekarang dengan tujuan pembinan terhadap hukum
· Politik hukum
adalah memilih nilai-nilai dan menerapkannya dalam kehidupan
· Nilai yaitu
konsepsi abstrak dalam pikiran manusia tentang sesuatu hal yang baik atau buruk
· Disiplin yaitu
suatu ajaran yang menentukan apakah yang seharusnya atau seyogyanya dilakukan
dalam menghadapi kenyataan
b. Perihal
perspektif dari pada sosiologi hukum, maka secara umum ada dua pendapat utama,
yaitu sebagai berikut :
· Pendapat-pendapat
yang menyatakan bahwa kepada sosiologi hukum harus diberikan suatu fungsi yang
global, artinya sosiologi hukum harus menghasilkan suatu sintesa antara hukum
sebagai sarana organisasi sosial dan hukum sebagai sarana dari keadilan.
Didalam fungsi tersebut maka hukum dapat memperoleh bantuan yang tidak kecil
dari sosiologi hukum didalam mengidentifikasi konteks sosial dimana hukum tadi
diharapkan berfungsi.
· Pendapat-pendapat
lain menyatakan bahwa kegunaan sosiologi hukum adalah justru dalam bidang
penerangan dan pengkaidahan, dimana sosiologi hukum dapat mengungkapkan data
tentang keajegan-keajegan mana didalam masyarakat yang menuju pada pembentukan
hukum (baik melalui keputusan penguasa maupun melalui ketetapan bersama dari
para warga masyarakat terutama yang menyangkut hukum fakultatif).
Dari perspektif sosiologi hukum
tersebut maka dapatlah dikatakan bahwa kegunaan sosiologi hukum adalah sebagai
berikut :
· Sosiologi hukum
berguna untuk memberikan kemampuan-kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum
didalam konteks sosial.
· Penguasaan
konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan kemampuan untuk
mengadakan analisa terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat baik sebagai
sarana untuk mengubah masyarakat atau sarana untuk mengatur interaksi sosial
agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu.
· Sosiologi hukum
memberikan kemungkinan-kemungkinan serta kemampuan untuk mengadakan evaluasi
terhadap efektifitas hukum didalam masyarakat.
BAB III
KESIMPULAN
Antropologi hukum pada dasarnya adalah
subdisiplin ilmu hukum empiris yang memusatkan perhatiannya pada studi-studi
hukum dengan menggunakan pendekatan antropologis. Kendati demikian, darisudut
pandang antropologi, sub disiplin antropologi budaya yang memfokuskankajiannya
pada fenomena empiris kehidupan hukum dalam masyarakat secaraluas dikenal
sebagai antropologi hukum. Antropologi hukum pada dasarnya mempelajari hubungan
timbal-balik antara hukum dengan fenomena-fenomenasosial secara empiris dalam
kehidupan masyarakat; bagaimana hukum berfungsidalam kehidupan masyarakat, atau
bagaimana hokum bekerja sebagai alatpengendalian sosial ( social control ) atau
sarana untuk menjaga keteraturansosial ( social order ) dalam masyarakat.
Dengan kata lain, studi-studiantropologis mengenai hokum memberi perhatian pada
segi-segi kebudayaanmanusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam
fungsinya sebagaisarana menjaga keteraturan sosial atau alat pengendalian
social.
Sedangkan sosiologi sendiri merupakan
Studi hukum dalam perspektif ilmu sosial merupakan sebuah ikhtiar melakukan
konstuksi hukum yang didasarkan pada fenomena sosial yang ada. Prilaku
masyarakat yang dikaji adalah prilaku yang timbul akibat berinteraksi dengan
sistem norma yang ada. Interaksi itu muncul sebagai bentuk reaksi masyarakat
atas diterapkannya sebuah ketentuan perundang-undangan positif dan bisa pula
dilihat prilaku masyarakat sebagai bentuk aksi dalam memengaruhi pembentukan
sebuah ketentuan hukum positif.
Dengan demikian, kajian sosiologi hukum
adalah suatu kajian yang objeknya fenomena hukum, tetapi menggunakan optik ilmu
sosial dan teori-teori sosiologis, sehingga sering disalahtafsirkan bukan hanya
oleh kalangan non hukum, tetapi juga dari kalangan hukum sendiri. Yang pasti
Kajian yang digunakan dalam kajian sosiologi hukum berbeda dengan Kajian yang
digunakan oleh Ilmu Hukum seperti Ilmu Hukum Pidana, Ilmu Hukum Perdata, Ilmu
Hukum Acara, dan seterusnya. Persamaannya hanyalah bahwa baik Ilmu Hukum maupun
Sosiologi Hukum, obyeknya adalah hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Hilman Hadikusuma,
Pengantar Antropologi Hukum,
(PT.Citra Aditya Bakti, Bandar
Lampung, 2004).
Ali,
Achmad., Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis”, (PT.
Gunung Agung Tbk, Jakarta,
2002)
Soerjono
Soekanto, 1984, Antropologi Hukum Materi Pengembangan Ilmu Hukum Adat,
(C.V. Rajawali, Jakarta, TT).
_______________, “Sosiologi
Suatu Pengantar”, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1982)
_______________, “Mengenal
Sosiologi Hukum”, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1989)
Satjipto rahardjo, “Ilmu Hukum” (Bandung: Alumni, 1982)
_____________,
2006, Hukum dalam Jagad Ketertiban, (Uki Press, Jakarta,TT)
R.Otje Salman, “Sosiologi Hukum :
Suatu Pengantar, ( Bandung:
Armico, 1992) .
Ali, Achmad., Menguak Tabir
Hukum “Suatu Kajian
Filosofis dan Sosiologis”,( PT.
Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002).
http://kukuhtirtas.blogspot.com/2012/02/studi-hukum-dalam-perspektif-ilmu.html
http://adikanina1987.wordpress.com/2012/05/14/ruang-lingkup-antropologi-hukum/
http://abdulganilatar.blogspot.com/2011/05/sejarah-pemikiran-hukum-responsif.html
http://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/sosiologi-hukum/
I Nyoman
Nurjaya, “Perkembangan Tema Kajian, Metodologi dan Model Penggunaannya Untuk
Memahami Fenomena Hukum di Indonesia”, http://editorsiojo85.wordpress.com/2009/03/31/antropologi-hukum/,
diakses pada tanggal 18 November 2012
by: umi salamah shodiq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar