BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Melihat fenomena unifikasi hukum Islam di beberapa negara Islam,
terutama dalam hal hukum perkawinan atau hukum keluarga sudah menjadi buah
bibir disetiap negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam atau
negara-negara Islam dibelahan dunia. Sehingga fenomena ini mendapatkan
perhatian yang khusus oleh J.N.D. Anderson yang mencatat tentang beberapa sikap
atau kecendrungan negara-negara Islam ketika menghadapi dunia modern pada
masalah unifikasi dan kodifikasi hukum Islam di negara Islam terutama dalam
persoalan hukum keluarga. Anderson kemudian mengklasifikasikan hal ini menjadi
3 (tiga) kategori, yakni: pertama, sistem-sistem yang masih mengaku
Syari’ah sebagai dasar fundamental dan menerapkan secara utuh; kedua, sistem
yang telah meninggalkan Syari’ah dan menggantikannya dengan sistem hukum
sekuler; ketiga, sistem yang melakukan kompromi atau mendialogkan kedua jenis
pandangan tersebut.[1]
Ketika negara-negara Islam melakukan suatu unifikasi dan kodifikasi
hukum dalam mentransformasi atau mereformasi hukum Islam di suatu negara Islam,
terutama dalam hukum keluarga, setidaknya secara umum akan didapatkan dua jenis
sikap terhadap cara pembahatuan, pertama, intra-doctrinal reform artinya
tetap merujuk pada konsep fikih konvensional, dengan cara takhyir (memilih
pandangan salah satu ulama fikih, termasuk ulama di luar mazhab), dapat pula
disebut tarjih. Dan talfik (mengkombinasikan sejumlah pendapat
ulama); kedua, extra-doctrinal reform, maksudnya pada prinsipnya tidak
lagi merujuk pada konsep fikih konvensional, tetapi dengan melakukan
reinterpretasi terhadap nash.[2] Bila
kita melihat negara-negara Islam yang menggunakan hukum keluarga dalam
konstitusinya, maka kita akan menemukan 3 (tiga) corak peraturan, pertama, negara
yang masih menggunakan prodak fikih mazhab tradisional, dalam kategori ini ada
Saudi Arabia, Qatar, Yaman, Bahrain dan Kuwait. Kedua, negara yang telah
menggunakan hukum undang-undang modern yang dibuat oleh negara itu sendiri,
kategori ini ada Turki dan Albania. Ketiga, negara yang melakukan
pembaharuan terhadap hukum keluarga Islam, kategori ini termasuk Mesir, Sudan,
Jordan, Syiria, Tunisia, Maroko, Al-geria, Irak, Iran, dan Pakistan.[3] Berangkat
dari pengelompokan tersebut terlihat Irak mendapatkan kategori ketiga, dimana
kelompok ketiga dikategorikan sebagai negara yang melakukan pembaharuan
terhadap hukum Islam.
Dalam hukum keluarga di Irak, diatur juga masalah poligami dimana
kasus ini mendapatkan perhatian yang khusus dalam perundang-undangan Irak. Perundang-undangan
poligami Irak menarik untuk dikaji, karena merupakan negara Islam yang setengah
penduduknya didominasi oleh kalangan Syi’i, namun dalam parlemennya didominasi
oleh kalangan Sunni, ada juga penduduknya
yang bermazhab Kurdi Sunni. Sehingga, suatu yang wajar-wajar saja jika di Irak
berlaku dua Mazhab besar, Mazhab Ja’fari dan mazhab Hanafi. Jika melihat dari
kasus ini tentu merupakan hal yang sangat rumit ketika melakukan pembaharuan
hukum Islam, karena masyarakat setempat menganut dua mazhab besar. berbeda halnya
dengan beberapa negara-negara muslim lainnya yang kebanyakan menganaut satu
mazhab, sehingga pembaharuan hukum lebih mudah. misalnnya negara Indonesia yang
mayoritas masyarakatnya menganut mazhab Syafi’iah.[4]
B.
Rumusan
Masalah
Berangkat dari pernyataan di atas tentang kodifikasi hukum keluarga
di Irak tentang poligami, maka pada makalah yang singkat ini penulis akan
berfokus pada dua pokok masalah. pertama,
bagaimana undang-undang Irak mengatur tentang poligami,?. dan kedua, sejauh
mana perbedaan dan persamaan perundang-undangan di Indonesia dengan
undang-undang di Irak dalam persoalan poligami?.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Irak dengan Sejarah Peradaban Islam
Kontribusi
Irak dalam peradaban Islam sungguh tidak bisa dikejuantahkan lagi adanya, hal
ini tercermin dalam buku-buku sejarah peradaban Islam dan sejarah pemikiran dan
Historiografi Islam. Irak resmi masuk ke wilayah pemerintahan Islam pada abad
pertama Hijriah, yakni berkisar pada tahun 19 H atau 641 M, ketika khalifah
Umar Ibnu al-Khaththab melakukan ekspedisi meliternya ke Irak yang dipimpun
oleh Syurahbil Ibnu Hasanah dan Sa’ad Ibnu Abi Waqqash pada tahun 14 H
bertepatan dengan tahun 635 M. Namun, Islam pertama kali masuk ke wilayah Irak
adalah pada tahun 12 H bertepatan dengan 633 M ketikah Khalifah Abu Bakar
ash-Shiddiq mengangkat Khalid Ibn Walid dan Mutsanna Ibn Haritsah sebagai
panglima perang, kemudian berhasil menaklukkan atau menguasai Hirah dan
beberapa kota di Irak, seperti Anbar, Daumatul Jandal dan Faradh.[5]
kontribusi
Irak selanjutnya dalam peradaban Islam adalah pada perkembangan politik
selanjutnya adalah berdirinya dua Dinasti besar Islam di Irak, hal ini terbukti
dengan berdirinya Dinasti Umayyah I dipimpin oleh 14 generasi ke-Khalifahan.
kemudian dengan tumbangnya kekuasaan Umayyah oleh Abbasiyyah, kemudian perkembangan
sejarah selanjutnya digantikan oleh dinasti Abbasyyah yang dipimpin oleh 37 generasi
ke-Khalifahan baik di Irak maupun di luar Irak. Dari sinilah Islam mulai
merajai dunia, baik secara administrasi Negara, lembaga-lembaga pendidikan,
seni ukir dan tulis, militer, perekonomian, pertanian, kebebasan berfikir dan
sosial peradaban lainnya.[6]
Perkembangan
seni tulis di Irak berawal dari masa-masa formatif Islam di Irak, yakni pada
awal abad ke-2 Hijriah bertepatan dengan tahun 114 H. Seni karya tulis yang
pertama ditulis pada masa-masa ini adalah kesejarahan pemerintahan Islam, sejarah
peperangan yang langsungkan oleh umat Islam, sejarah suku-suku dan klan Raja
Islam di Irak maupun di Arab, sejarah raja-raja Islam dan sejarah perjalanan
Islam dari Makkah ke Irak. Hal ini terbukti dengan bermunculannya sejarawan
pada masa ini seperti Abu Amr ibn al-A’la (w.154 H/770 M), Hmmad al-Rawiyah (w.
156 H/774 M), Abu Mikhnaf (w. 157 H/ 774 M), Awanah ibn al-Hakim (w. 147 H/764
M), Syayf ibn Umar al-Asadi at-Tamimi (w. 180 H/796 M), Nashr ibn muzahim (w.
212 H/827 M), al-Haitsam ibn Udi (130-207 H/747-822 M), al-Mad’ini (135-225
H/752-843 M), Abu Ubaydah Ma’mar ibn al-Mutsni al-Taymi (114-211 H), al-Ashma’i
(w. Antara 213-217), Abu al-Yaqzhan al-Nassabah (w. 190 H/808 M), Muhmmad ibn
al-Sa’ib al-Kalibi (w.146 H/763 M), dan Hasyam ibn Muhammad al-Sa’ib al-Kalibi
(w. 204 H/819 M).[7]
B.
Poligami dalam Realitas Sosial
Pristiwa
poligami tidak sajak dikenal oleh masyarakat Islam yang secara normatif telah
menanamkan legitimasi tersendiri terhadap poligami dalam ajaran Islam, dan
tidak juga dibenarkan adanya poligami itu hanya dalam Islam saja. Namun,
pristiwa ini sudah dikenal dan dipraktikkan oleh masyarakat sebelum Islam dan di
luar Islam, praktik poligami ini dibenarkan juga adanya dalam agama-agama Samawi
atau Ibrahimi. Kemudian, Islam datang untuk meletakkan dan menjelaskan lebih
detail lagi prinsip-prinsip dasar, peraturan-peraturan, dan syarat-syarat dari
praktik poligami itu sendiri. Abduttawab Haikal mengatakan dalam tulisannya yang
diberi judul Rahasia Perkawinan Rasulullah s.a.w. menjelaskan bahwa:
“Islam bukanlah agama pertama yang melegitimasi poligami, karena
sejarah membuktikan bahwa poligami itu sudah umum dilakukan sebelum Islam
datang, hal ini tercermin pada beberapa suku bangsa sebelum Islam, seperti pada
bangsa Ebre dan Arab pada zaman Jahiliah, suku bangsa Salafiun yaitu
negara-negara yang sekarang menjadi Rusia, Letonia, Lesonia, Austonia, Bulunia,
Cekoslowakia dan Yugoslowakia. Dan juga pada sebagian bangsa Jerman dan Saxtion
yakni Almania, Nomasa, Swiss, Belgia, Holand, Denmark, Swedia, Norwegia dan
Inggris. Kebiasaan berpoligami juga dipraktikkan oleh negara-negara Afrika,
India, Cina dan Jepang, dan poligami ini berkembang secara pesat.”[8]
Pada
masyarakat terdahulu pandangan terhadap sistem nilai sosial berhubungan dengan
poligami hampir tidak ada yang tidak memperbolehkannya, baik secara norma agama
maupun norma-norma sosial lainnya. Dalam agama kristen misalnya, pada dasarnya
tidak melarang poligami. Karena larangan itu tidak ditemukan dalam Injil maupun
surat-surat para Rasul yang dikenal dengan kitab perjanjian baru. Kitab Taurat
(perjanjian baru) malah memperbolehkan poligami tanpa batas. Pada bangsa Israil
sebelum Nabi Isa diutus, Musa mewajibkan seorang untuk mengawini janda saudara lelakinya sendiri yang
meninggal dan tidak mempunyai anak. Waster Marx, seorang sejarawan terkemuka
dalam perkawinan berkata: “bahwa poligami yang diakui Gereja masih ada sampai
abad ke-17 M bahkan banyak terjadi poligami yang tidak tercatan di Greja maupun
di Pemerintahan. Lebih dari itu sebagian sekte Kristen ada yang pindah tempat
hanya untuk berpoligami. Pada tahun 1531 M, di Monster terdapat sekelompok
orang yang berteriak-teriak, menganjurkan agar penganut Kristen berpoligami.”[9]
Dikatakan
bahwa tidak ada hubungan antara poligami dengan keterbelakangan budaya, karena
sejarah membuktikan bahwa kebiasaan poligami hanya ditemukan pada masyarakat
yang berkebudayaan tinggi. beberapa Sosiologi dan Antropolog, diantaranya
Waster Marx, Hobes, Heler dan Jhon Robert, dalam penelitiannya menemukan bahwa
perkawinan yang monogamis sangat menonjol pada masyarakat primitif yang
terbelakang, yaitu masyarakat yang terganrung pada kebaikan alam, dengan
berburu atau memakan buah-buahan yang ada secara alamiah.[10]
Sehingga tidak bisa diidentikkan poligami dalam Islam dengan kebudayaan yang
primitif, karena Islam memiliki Syari’at dan ajaran yang sangat bijaksana dan
modern dalam poligami, serta membuka ruang dialog dengan pengetahuan dan
pradaban penganutnya. Tidak bijak kiranya mengabsolutkan atas ketidak bolehan
poligami dalam kondisi dan situasi apapun, manusia memiliki keterbatasan
pengetahuan terhap ruang dan waktu yang sedang dan akan terjadi.
C.
Poligami Perspektif Mazhab Ja’fari dan Mazhab Hanafi
Perlu
kiranya untuk diketahui mazhab yang dianut oleh masyarakat Irak, sebelum
membahas lebih lanjut tentang praktik poligami di Irak. Seperti yang telah
dikatan bahwa masyarakat Irak terdiri dari tiga golongan masyarakat Islam yang
mendominasi, yakni kalangan Syi’i, Sunni, dan Kurdi Sunni. Masyarakat Irak yang
alirannya Syi’i kebanyakan berpengangan kepada Mazhab Ja’fari, sedangkan
masyarakatnya yang golongan Sunni kebanyakan yang bermazhab Hanafi.[11] Kemudian dikatakan bahwa saan ini penduduk
Irak mencapai 26 juta jiwa dengan komposisi mayiritas berbangsa Arab (75-85%),
minoritas Kurdi (15-20%), Turki, Parsi, dan sebagaian kecil Armenia (5%). Dari
segi agama, Islam Syi’ah (60-65%), Islam Sunni (32-37%), dan 3% agama minoritas
lain seperti Nasrani. Dalam tatanan politik, secara geografis penduduk Irak
terpisah berdasarkan perbedaan. Sebagaian besar Suku Kurdi tinggal di Irak
Utara, kaum Sunni tinggal di Irak Tengah, dan Syi’ah tinggal di Irak Selatan.[12]
Secara
spesifik Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafiah) tidak memberikan penjelasan yang
secara khusus tentang poligami ini. Namun, bukan berarti mazhab hanafi tidak
mau tau masalah poligami ini, beberapa tokoh Hanafiah memberikan perhatian
terhadap poligami ini. Hal ini terepleksi oles seorang ulama Hanafiah yang
bernama al-Sarakhsi (w.483/1090) dalam kitab al-mabsuth-nya, menjelaskan
bahwa, bagi seorang suami yang berpoligami harus berlaku adil terhadap
Istrinya. Kemudian, Al-Kasani (w. 587/1191) juga dari mazhab Hanafi, menulis
tentang kewajiban suami yang poligami, dia mengatakan bahwa suami yang
berpoligami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya, dan mendapatkan
perlakuan adil dari semai tersebut merupakan hak bagi seorang istri.[13]
Dalam pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa mazhab Hanafiah pada dasarnya
membolehkan poligami dengan syarat bahwa seorang suami yang melakukan poligami
wajib berlaku adil kepada istri-istrinya yang dipoligami, dan perlakuan adil
dari suami tersebut merupakan hak bagi seorang istri yang dipoligami. Nampaknya
mazhab Hanafi tidak memberikan pembatasan kuantitatif dalam renah poligami,
tetapi sepertinya mazhab Hanafi memberikan batasan yang kualitatif hanya pada
suami yang berpoligami, baginya adalah sejauh mana seorang suami yang
berpoligami berlaku adil.
D.
Poligami dalam perundang-undangan Irak
Peraturan
perundang-undangan tentang poligami di Irak akan ditemukan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku saat ini adalah The Code of Personal Status
And Supplementary Laws (1959-1984,) secara spesifikasinya tentang poligami
akan didapatkan penjelasannya yang secara detail pada peraturan The Iraki
Law of Personal Status (ILPS) tahun 1959.
jika diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia akan menjai kitab
udang-undang hak pribadi dan hukum-hukum tambahan 1959-1984.[14]
Sebelum penulis mengajak rekan-rekan pembaca untuk berwisata di Irak dengan
mendiskusikan tentang perundang-undangan poligami yang diberlakukan di Irak,
alangkah baiknya penulis mengajak sahabat-sahabat terlebih dahulu untuk
berjalan-jalan dalam sejarah perjalanan perundang-undangan masyarakat Irak.
Pada
abad 16 M, Irak sudah menjadi bagian Ottoman Empaire (Kerajaan Turki Usmani)
selama dua ratus tahun, sejak tahun 1850 semua aturan civil termasuk aturan
sipil pada tahun 1876 diterapkan juga di Irak. Hingga akhir priode Turki Usmani
semua aturan sipil dan hukum status
personal diatur bedasarkan Syari’ah. Pada tahun 1917 dibentuknya pengadilan
Syari’ah yang mengadili hanya kasus personal yang bercorak mazhab Sunni. Tahun
1918 dibentuklah Majlis Tamyiz Syar’i untuk meninjau ulang aturan-aturan yang
dibuat oleh pengadilan Syari’ah Sunni, dan persoalan yang terkait dengan status
privat untuk mazhab Ja’fari diterapkan oleh pengadilan sipil. Kemudian tahun
1922 pemerintah setempat memutuskan bahwa hukum sementara yang berlaku adalah
seperti prosedur Syari’ah yang dibentuk oleh kerajaan Turki Usmani,
undang-undang peradilan Syari’ah dibentuk kemudian pada tahun 1923, yang
didalamnya bermazhab Ja’fari dan dibentuk juga dewa pengawas mazhab Ja’fari,
lembaga ini membantu pembentukan The Basic Law pada tahun 1925. Kemudian
tahun 1947 dibentuklah Comitte for Judicial Affirs yang menghasilkan
satu Draf Code of Personal Status yang berisi tentang perkawinan,
wasiat, dan warisan.[15]
Undang-undang
hukum keluarga di Irak baru terlaksana pada tahun 1959 dimana peraturan ini
merujuk pada prinsip-prinsip Syari’ah yang secara umum dapat diterima oleh
negara-negara Muslim. Pada tahun 1947 dibuatlah Draf Qanūn al-Ahwāl al-Syakhsiyyah (Law of
Personal Status), ini dibuat kemudian tanpa melihat mazhab-mazhab fikih
yang ada. Dari perjalanan proses kodifikasi hukum Irak di atas hasilnya
membuahkan hasil perundang-undangan yang berlaku di Irak sekarang adalah
undang-undang tahun 1959 (The Irak Law of Personal Status) Law No.
188/1959, kemudian diadakan perubahan-perubahan tahun 1963 (Law No.
11/1963) tambahannya pada ini adalah masalah waris, kemudian tahun 1978 (Law
no. 21/1978) tambahannya adalah berhubungan dengan wanita dalam perkawinan
dan perceraian, Covil Code 1957 Drafted by Abd al-Razzaq al-Sanhuri, Law
No. 35/1977 garis besar petunjuk-petunjuk partai Sosialis Arab Ba’ath dan
usaha-usaha perubahan Hukum, Law No. 78/1980 tentang kesejahtraan
minoritas, Law No. 125/1981 tentang Liwath sebagai alasan
perceraian, Law No. 77/1983 hak tempat tinggal istri yang dicerai, Law
No. 5/1986 alasan perceraian karena mabuk-mabukan, dan Law No. 106/1987
tentang hak-hak pengasuhan.[16]
Poligami
dalam perundang-undangan Irak memberikan ketentuan dan batasan-batasan bagi
siapa saja masyarakat Irak yang akan melakukan Poligami. Aturan poligami dituangkan
pada peraturan ILPS atau The Irak Law of Personal Status tahun 1959
dalam ketentuan pasal 3 ayat 4, 5 dan 6. Pasal-pasal ini mengatakan sebagai
berikut:
Ayat 4, Marrying more
than one woman is not allowed except with the authorization of the qadi (judge).
Granting this authorization is dependant on the fulfillment of the following
two conditions: poin pertama, The husband should have the financial
capacity to provide for more than one wife. Poin kedua, There is a
legitimate interest.
Ayat 5, If justice
between wives is feared, polygamy may not be allowed. The issue would then be
left to the judge’s determination.
Ayat 6, Each person who
concludes a marriage contract with more than one wife, contrary to the
stipulations of paragraphs 4 and 5, shall be sentenced to no more than one year
of imprisonment or charged with a fine not exceeding 100 Dinars or both.[17]
Dari pasal di atas, prof. Khairuddin Nasution
memberikan penjelasan dengan mengatakan bahwa, poligami tidak diperbolehkan
kecuali mendapatkan Izin pengadilan, poligami tanpa izin hakim tidak sah.
Sedangkan pengadilan hanya memberikan izin
kepada suami untuk poligami dengan ketentuan: pertama, Suami
secara finansial mampu untuk berpoligami. kedua, Adanya kepentingan yang
dibenarkan oleh hukum atau ada kemaslahatan. Ketiga, Adanya ketidak
hawatiran bahwa suami mampu untuk berlaku adil kepada istri-istrinya. Keempat,
kemampuan ekonomi suami memberikan nafkah. Kelima, poligami dapat
menjadi alasan perceraian bagi istri. Pasal selanjutnya menegaskan bahwa,
apabila dikhawatirkan suami tidak mampu atau tidak bisa berlaku adil, maka
poligami tidak diizinkan. Adapun ketentuan berdasarkan fakta yang ada
diserahkan sepenuhnya kepada hakim (qadi). Jikalau ada orang yang tidak
tunduk dengan ketentuan atau aturan poligami yang sudah ditetapkan maka akan
mendapatkan sangsi atau hukuman. pada
pasal 3 ayat 6 ILPS menjelaskan ketentuan tentang hukuman, setiap orang yang
melanggar aturan ayat 4 dan 5, dapat dihukum dengan hukuman berupa penjara
maksimal satu tahun atau denda sebanyak 100 dinar atau dengan kedua-duanya
ketentaun itu, bagi mereka yang tidak tunduk terhadap aturan tersebut.[18]
Dalam
perkembangan selanjutnya undang-undang tenang ketentuan poligami tanpa izin
pengadilan merupakan perkawinan tidak sah dihapus atau diamandemen oleh
undang-undang No. 11 Tahun 1963. Kemudian poligami menjadi dilarang terkecuali
wanita yang dipoligami adalah seorang Janda. Aturan ini mungkin agak berbeda
dengan negara-negara Muslim lainnya, model poligami di negara-negara Muslim
lainnya paling tidak ditemukan adalah membolehkan poligami secara mutlak,
melarang poligami secara mutlak, poligami harus dengan izin pengadilan,
poligami dapat menjadi alasan perceraian, dan memberikan hukuman bagi mereka
yang tidak taat dengan aturan poligami.[19]
Suatu hal yang menarik dari perundang-undangan Irak adalah adanya pengecualian
aturan untuk poligami dengan janda, yakni boleh poligami dengan janda tanpa
mengikuti aturan yang berlaku. Ketentuan yang ditambah tahun 1980 ini, sebagai
interpretasi terhadap ayat poligami, yang menurut ketentuan
perundang-undangan Irak, membolehkan
poligami dengan tujuan untuk kemaslahatan anak yatim dan janda.[20]
Peraturan tentang Code civil No.189 of the year 1980 ini hasil amandemen dari
beberapa pasal yang ada di Personal Status Law No. 188 tahun 1959, seperti
pasal 3 ayat 4 dan 5. ketentuan ini mengatakan:
Exception from the provisions of
paragraphs 4 and 5 of this article: marriage to more than one woman is
permissible when the prospective wife is a widow[21]
Melihat
corak pengaturan poligami Irak diatas bahwa Irak pada dasarnya menganut sistem
perkawinan yang monogami terbuka. Artinya bahwa masih adanya peluang untuk
berpoligami dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan
secara legal, namun pada ketentuan-ketentaun yang lebih khusus menunjukkan
bahwa perundangan Irak ingin mewujudkan perkawinan yang monogami murni, hal ini
terepleksikan pada kenyataan bahwa adanya pelarangan terhadap poligami.
Poligami yang diperbolehkan, tanpa mengikuti peraturan yang berlaku sedikitpun
tentang peraturan poligami adalah berpoligami dengan seorang wanita yang sedang
berstatus janda. Sehingga kebolehan berpoligami adalah upaya pemerintah Irak
dalam memahami ayat-ayat atau nash-nas yang berkaitan dengan poligami.[22]
Peraturan-peraturan
tersebut tidak bisa terlepas dari gejolak politik yang ada di Negara Irak itu
sendiri dimana peperangan yang sering terjadi, dalam perperangan tersebut
dimungkinkan banyaknya kematian dari pihak suami yang ikut berperang atau juga
terbunuh, sehingga dimungkinkan pula aturan ini sebagai upaya mengatasi
persoalan sosial yang menyisakan banyaknya penderitaan terutama bagi wanita
yang ditinggal mati suaminya dan juga anak-anak yatim yang tidak ada tempat
mereka berlingung dan berteduh. Terekam dalam sejarah bahwa Irak dibawah
kekuasaan Saddam Husein, ada 3 (tiga) kali peperangan terjadi, yakni tahun
1980-1990, perang melawan Iran yang dipicu konflik perebutan daerah perbatasan.
Tahun 1991 bulan Januari, perang melawan Kuwait yang didalangi dibawah pimpinan
Amerika. Kemudian terakhir Maret 2003, perang melawan serangan Amerika dan
Inggris dikarenakan bahwa Irak dicurigai memproduksi senjata pembunuh masal,
walaupun hal ini cumen alasan Amerika dan Inggris untuk mewujudkan visi dan misi
mereka untuk menjadikan Irak sebagai negara Demokratis, walaupun hal ini sampai
sekarang tidak berhasil-berhasil visi dan misinya. Meskipun dilain pihak para
pengamat politik Timur Tengah mengatakan bahwa Amerika memiliki rencana khusus
dalam penyerangan Irak.[23]
E.
Poligami Perspektif Undang-Undang Indonesia
Dalam
perundang-undangan Indonesia poligami diatur dalam undang-undang republik
Indonesia No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Buku I
tentang hukum perkawinan. Undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 menegaskan
bahwa, perkawinan pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.[24] Pengkajian
dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa undang-undang perkawinan Indonesia
menghendaki bagi pemeluknya supaya menggigit dengan rahangnya tentang apa yang
dicita-citakan oleh aturan perundang-undangan itu, bahwa pasal itu menghendaki
asas monogami bagi perkawinan di Indonesia. Tetapi membuka kemungkinan poligami
atas izin pengadilan dengan alasan istri tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai istri seperti mandul, dan dengan ketentuan bahwa poligami dibolehkan
jikalau sudah mendapatkan izin dari istri yang pertama, dan dengan bukti bahwa
ia mampu memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya dan ia mampu berlaku
adil tanpa ada keraguan sedikit pun.[25]
Poligami
diperbolehkan oleh undang-undang jika ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat
dalam berpoligami sudah terpenuhi secara total, tanpa ada keraguan dan
kekurangan dari ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang telah diberlakukan
atau dilegalkan oleh hukum. Sedangkan standarisasi poligami yang diperbolehkan
dalam undang-undang perkawinan Indonesia No. 1 tahun 1974 adalah tertuang di
pasal 3 ayat 2, pasal 4 ayat 1 dan 2, pasal 5 ayat 1 dan 2. Pada ketentuan
pasal 3 ayat 2 dikatakan bahwa, pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang
suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan.[26]
Dalam ketentuan ini jelas dikatakan bahwa salah satu syarat untuk bisa
berpoligami atau memiliki istri lebih dari seorang istri harus mendapatkan
perizinan dari pengadilan atau hakim dengan ketentuan adalah bahwa harus sudah
mendapatkan restu atau izin dari pihak-pihak yang terkait atau yang
bersangkutan. jadi poligami yang tidak didasarkan oleh persetujuan pengadilan
atau hakim dan pihak-pihak yang terkait, maka poligami itu tidak sah dan
melanggar ketentuan konstitusi negara yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap.
Pihak-pihak
yang terkait yang dimaksudkan oleh pasal 3 ayat 2 UUP di atas adalah dijelaskan
pada pasal 5 ayat 1 huruf a, b, dan c. Sedangkan bunyi dari huruf tersebut
adalah adanya persetujuan dari istri; adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; dan adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka.[27]
Persetujuan yang dimaksudkan pada huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
istrinya sekurang-kurangnnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya
yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.[28]
Dalam proses pemberian izin pengadilan terhadap permohonan tersebut, kemudian
Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang dalam memutus pembolehan izin
poligami terhadap perkara yang diajukan, pada asasnya pengadilan agama bersifat
pasif, maka ketika ada pengajuan izin poligami dari seorang laki-laki, maka
pengadilan akan memproses dengan menerima pendaftaran lalu memanggil para
pihak, yaitu sang pemohon, kemudian istri pertama (istri-istrinya) pemohon dan
bakal calon istri yang akan dikawini, serta dua saksi yang akan dihadirkan
dalam persidangan yang dibuka dan terbuka untuk umum.[29]
Pengadilan
akan mengizinkan poligami jikalau terpenuhi ketentuan dalam pasal 4 ayat 1 UUP
kepada seorang suami yang ingin melakukan poligami adalah jika benar-benar
istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; istri mendapat cacat
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; istri tidak dapat melahirkan
keturunan.[30]
Kemudian KHI memberikan persyaratan selanjutnya bahwa adanya persetujuan dari
istri; adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri
dan anak-anak mereka;[31]
suami harus mampu berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anaknya.[32]
BAB III
PENUTUP
A.
Analisis
Seperti
yang telah penulis kemukakan pada bagian pendahuluan tentang sikap
negara-negara Islam ketika melakukan kodifikasi hukum keluarga Islam menurut
Prof. Khairuddin Nasution, secara umum tidak terlepas dari dua metode: pertama,
Intra-doctrinal reform. Kedua, Extra-doctrinal reform. Kegiatan kodifikasi
hukum keluarga Islam khususnya Indonesia dan Irak, seperti yang telah
dipaparkan pada bagian pembahasan dalam makalah ini tentang corak
perundang-undangan Indonesia dan Irak terhadap pasal-pasal poligami. Penulis
dalam hal ini akan menganalisis aktifitas tersebut berdasarkan dua metode yang
cukup dikenal oleh kalangan akademisi terhadap sikap negara-negara muslim yang
telah melakukan kodifikasi atau unifikasi hukum terhadap perundang-undangan di
negara Muslim, terutama pada hukum keluarga Islam, lebih spesifikasinya
terhadap ketentuan-ketentuan atas pasal-pasal poligami.
Jika
dilihat ketentuan perundang-undangan Irak tentang poligami yang melibatkan
pasal 3 ayat 4, 5, dan 6. Pada Law Personal Status No. 188 of the year 1959.
Bagi suami yang akan melakukan poligami, maka harus mendapatkan perizinan dari
hakim atau pengadilan. tertuang ketentuan bahwa sang suami mampu secara
finansial; adanya alasan maslahah; adanya kemampuan untuk berlaku adil; memberi
nafkah kepada istri dan anak-anaknya; dan poligami bisa menjadi alasan
perceraian. Jika dilihat dari huruf-huruf ini maka bisa dikatakan bahwa Irak
menggunakan metode Extra-doctrinal reform karen sudah keluar dari
pandangan para ulama mazhab atau sudah tidak lagi terikat dengan fiqih
konvensional, namun lebih menggunakan reinterpretasi ulang terhadap nash-nash
yang ada. Lebih-lebih terbukti lagi pada civil code No. 189 of the year 1980,
pasal ini menentukan bahwa bagi warga Iraq yang ingin berpoligami dengan Janda,
mereka terlepas dari peraturan-peraturan poligami yang ada. Tentu disini
memiliki semangat penafsiran baru terhadap nash-nash baru dalam al-qur’an yang
memiliki orientasi baru untuk melindungi para anak yatim dan para janda yang
tidak ada tempat mereka berteduh.
Beda
halnya dengan Indonesia yang sebagian pasal-pasalnya masih ada ruh-ruh mazhab
atau pandangan-pandangan fiqih konvensional atau fiqih klasik, seperti misalnya
yang didalam ketentuan pasal 55 KHI yang mengatakan bahwa seorang yang
berpoligami terbatas hanya boleh sampai empat istri. Atau misalnya pada pasal
57 KHI dan pasal 4 UUP No. 1 tahun 1974 masih ada nuansa-nuansa fiqih klasik.
Sehingga dalam konteks pasal ini Indonesia dalam kodifikasi hukumnya bisa
dikatakan dalam renah Intra-doctrinal reform. Namun dalam pasal-pasal
lain Indonesia dalam ketentuan poligaminya tidak bisa dikatakan sepenuhnya
menganut metode Intra-doctrinal reform, konteks ini bisa dilihat pada
pasal 56 KHI, dan pasal 3 ayat 2 UUP No. 1974 yang mengatakan bahwa poligami
harus mendapatkan izin dari pengadilan atau hakim. Atau pasal 5, ayat 1 huruf a
dan b UUP No. 1, 1974 dalam ketentuan pasal ini Indonesia menganut metode Extra-doctrinal
reform.
B.
Kesimpulan
1.
pasal
3 ayat 4, 5, dan 6. Pada Law Personal Status No. 188 of the year 1959.
Bagi suami yang akan melakukan poligami, maka harus mendapatkan perizinan dari
hakim atau pengadilan. tertuang ketentuan bahwa sang suami mampu secara
finansial; adanya alasan maslahah; adanya kemampuan untuk berlaku adil; memberi
nafkah kepada istri dan anak-anaknya; dan poligami bisa menjadi alasan
perceraian. Kemudian pasal ini diamandemen dengan ketentuan civil code No.
189 of the year 1980, pasal ini menentukan bahwa bagi warga Iraq yang ingin
berpoligami dengan Janda, mereka terlepas dari peraturan-peraturan poligami
yang ada.
2.
Persamaan
dan perbedaan undang-undang Irak dan Indonesia.
a.
Persamaan
undang-undang Indonesia dan Irak adalah terletak pada poligami yang dalam
keadaan normal, dalam artai berpoligami dengan bujang, sama-sama harus
mendapatkan perizinan dari hakim atau pengadilan. Poligami tanpa mendapatkan
izin dari pengadilan, maka poligaminya tidak disahkan menurut hukum negara atau
menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh negara, dan
konsekuansinya harus mendapatkan hukuman atau sangsi seperti yang telah atur
dalam perunadang-undangan yang ada.
b.
Sedangkan
perbedaannya antara perundang-undangan Indonesia dengan Irak tentang
pasal-pasal poligami adalah peraturan di Indonesia tidak ada pengklasifiksaian
antara berpoligami dengan bujang maupun janda semua disamakan tanpa terkecuali.
Berbeda halnya dengan di Irak berpoligami dengan seorang janda dengan bujangan
dibedakan ketentuannya menurut hukum, hal ini berlaku mulai terbitnya peraturan
civil code No. 189 of the year 1980. Sedangkan, berpoligami dengan
bujang tetap berlaku peraturan yang semula dalam arti poligaminya tetap harus
mendapatkan perizinan dari hakim atau pengadilan. Sebaliknya poligami dengan
janda, semua ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan poligami sudah
tidak mengikat lagi bagi pelaku poligami dengan janda. Seperti, izin dari
pengadilan atau hakim.
[1] Khairudddin
Nasution, dkk., Hukum Perkawinan dan Warisan di dunia Muslim modern,
(Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZZAFA, 2012), hlm. 4.
[2] Khairuddin
Nasution., pengantar dan pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia,
(Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZZAFA, 2007), hlm 47.
[3] Khairuddin
Nasution, dkk., hlm. 5
[4] Baca, Khairuddin
Nasution, dkk., ed. Hukum Perkawinan dan Warisan di dunia Muslim modern,
(Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZZAFA, 2012), hlm. 7-8.
[5] Baca, Choirul
Rafiq., ed. Sejarah Peradaban Islam dari masa Klasik hingga Modern, (Ponorogo:
STAIN Ponorogo Press, 2009), hlm. 87-93.
[6] Ibid., hlm.
113-155
[7] Badri Yatim., Historiografi
Islam, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.73-74
[8] Abduttawab
Haikal., Rahasia Perkawinan Rasulullah s.a.w. (Poligami dalam Islam vs
Monogami Barat), Penerjemah Ilyas Ismail al-Sendany, (Jakarta: CV Pedoman
Ilmu Jaya, 1993), hlm. 48-49
[9] Ibid., hlm.
49-50
[10] Ibid., hlm.
52
[11] Khairuddin
Nasution, dkk., 2002, hlm. 7
[12] Siti Mut’ah
Setiawati, dkk., Irak di bawah kekuasaan Amerika “dampaknya bagi stabilitas
politik di Timur Tengah dan reaksi rakyat Indonesia”, (Yogyakarta: PPMTT
Jurusan Ilmu Hukum Internasional UGM, 2004), hlm. 37-38.
[13] Khairuddin
Nasution., Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan perbandingann hukum
perkawinan di dunia Muslim, (Yogyakarta: TAZZAFA dan ACAdeMIA, 2009), hlm.
259-260.
[14] Khairuddin
Nasution, dkk., 2002, hlm. 5 dan 13.
[15] Baca,
Khairuddin Nasution, dkk., ed. Hukum Perkawinan dan Warisan di dunia Muslim
modern, (Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZZAFA, 2012), hlm. 8-10
[16] Ibid., hlm.
10-12
[17] Law No. 188 of
the year 1959, Personal Status Law, pasal 3 ayat 4-6
[18] Baca,
Khairuddin Nasution., ed. Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan
perbandingann hukum perkawinan di dunia Muslim, (Yogyakarta: TAZZAFA dan
ACAdeMIA, 2009), hlm.293. dan Baca juga, Khairuddin Nasution, dkk., ed. Hukum
Perkawinan dan Warisan di dunia Muslim modern, (Yogyakarta: ACAdeMIA dan
TAZZAFA, 2012), hlm. 13
[19] Khairuddin
Nasution, dkk., 2012, hlm. 13-15
[20] Khairuddin
Nasution., 2009, hlm. 294.
[21] Code Civil
No.189 of year 1980.
[22] Khairuddin
Nasution, dkk., 2012, hlm. 15.
[23] Ibid., hlm.
15. Dan Baca, Siti Mut’ah Setiawati, dkk., ed. Irak di bawah kekuasaan
Amerika “dampaknya bagi stabilitas politik di Timur Tengah dan reaksi rakyat
Indonesia”, (Yogyakarta: PPMTT Jurusan Ilmu Hukum Internasional UGM, 2004),
hlm. 27-36
[24] Pasal 3 ayat
1, UUP No. 1 tahun 1974.
[25] Abdul Ghafur
Anshori., Hukum Perkawinan Islam perspektif Fiqih dan Hukum Positif, (Yogyakarta:
UII Press,2011), hlm. 205
[26] Pasal, 3 ayat
2, UUP No. 1 tahun 1974
[27] Pasal 5, ayat
1 huruf a, b, dan c, UUP No. 1 tahun 1974
[28] Abdul Ghafur
Anshori., 2011, hlm. 207
[29] Ibid., hlm.
207-208
[30] Pasal, 4 ayat
2 UUP No.1 tahun 1974. Dan KHI pasal 57 buku I
[31] Pasal 58 KHI,
buku I
[32] Pasal 55,
huruf b, KHI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar