BAB I
PENDAHULUAN
Pada hakekatnya perkawinan merupakan suatu proses, prosedur, atau
perbuatan mukallap untuk menghalalkan secara hukum pertemuan atau percampuran kelamin
laki-laki dengan perempuan yang bertujuan untuk memenuhi hasrat birahi naluri
kemanusiaannya antara pria dan wanita. dengan terjadinya hal demikian itu
(perkawinan) diharapkan akan adanya regenerai gen (keturunan) atau akan
terwujud momongan dari hasil perkawinan itu, untuk menjadi penerus manusia
sebagai khalifah Allah di muka bumi, dan dari perkawinan itu diharapkan supaya
terwujudnya keluarga yang aman, damai, kasih sayang, sejahtra dan terwujudnya
cita-cita masyarakat yang ideal.
Dalam buku yang berjudul nikah siri mut’ah dan kontra yang ditulis
oleh Prof. Dr. Yusuf ad-Duraiwisy. Pernikahan kemudian didefinisikan oleh
al-Duraiwisy sebagai perjanjian yang bersifat syar’i yang berdampak pada
halalnya seseorang (lelaki atau perempuan) memperoleh kenikmatan dengan
pasangannya, berupa berhubungan badan dan cara-cara lainnya dalam bentuk yang
disyari’atkan dengan ikrar tertentu secara disengaja.[1]
Selanjutnya Prof. Dr. Khairuddin Nasution, MA. lebih spesifik
menggunakan istilah Hukum Keluarga dalam membahas tentang perkawinan keluarga
islam, karena umat islam sudah terikat dengan negara dan budaya lokal yang
ditempati oleh penganutnya dan sudah bersifat lokalitas dan temporal. sehingga
dalam buku yang ditulisnya berjudul Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga
(Perdata) Islam Indonesia mendefinisikan Hukum Keluarga atau yang sering
disebut Hukum Perorangan sebagai hukum yang berkaitan dengan dan mengatur
tentang orang, sejak pernikahan sebagai awal proses lahirnya generasi sampai
warisan (termasuk wasiyat) akibat orang tua meninggal dunia (wafat), sebab Hukum
Keluarga juga mengatur masalah warisan Sehingga Hukum keluarga pasti berkenaan
dengan setiap orang tanpa terkecuali.[2]
Kemudian dipertegas oleh yuridiksi perundang-undangan Republik
Indonesia tentang apa yang dimaksud dengan perkawinan. dalam Undang-Undang No 1
(satu) tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan didefinisi
sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[3]
Seterusnya lebih ditegaskan tentang penguraian istilah perkawinan
di dalam islam bagi masyarakat Indonesia yang beragama islam, hal ini telah
dituangkan dalam Kompulasi Hukum Islam (KHI) yang berkaitan dengan istilah perkawinan.
Dalam KHI perkawinan didefinisikan sebagai perkawinan menurut Hukum Islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miistaaqon gholiidhan untuk
menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[4]
Makalah yang ada di hadapan pembaca ini akan menjelaskan tentang
keluarga yang ideal, dan penyusun berusaha dengan semaksimal mungkin untuk
menguraikan dengan singkat tentang masalah keluarga ideal dalam tuntunan al-Qur’an
dan al-Sunnah yang akan dianalisis dengan cara tematik holistik. Semua hasil
analisis tersebut berdasarkan sedikit
dan keterbatasan pengetahuan penyusun tentang ilmu al-Qur’an, al-sunnah dan
analisis tematik yang digunakan. oleh karenanya makalah ini tentu sangat banya
kelemahan keilmiahannya dan oleh sebab itu mohon pembaca memakluminya, karena
makalah ini merupakan proses studi penyusun yang diajukan untuk memenuhi tugas
dalam studi al-Qur’an dan al-Hadis tentang Hukum Keluarga di Pasca Sarjana Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam konsentrasi Hukum Keluarga.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Keluarga Ideal
Keluarga adalah merupakan kelompok primer yang terpenting dalam
masyarakat. Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang
merupakan organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama
pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Dengan kata lain,
keluarga tetap merupakan bagian dari masyarakat total yang lahir dan berada
didalamnya, yang secara berangsur-angsur akan melepaskan ciri-ciri tersebut
karena tumbuhnya mereka kearah pendewasaan.[5] Dalam
kamus Hukum yang ditulis oleh M. Marwan dan Jimmy keluarga dikemukakan sebagai
semua orang yang memiliki hubungan darah hingga tingkatan tertentu atau
hubungan perkawinan dengan mereka yang terlibat dalam suatu proses pidana, atau
keluarga sedarah merupakan garis kekeluargaan menurut hubungan darah secara
garis lurus ke atas dan ke bawah, suatu pertalian keluarga antara mereka yang
satu dengan dengan yang lainnya adalah keturunan yang lain atau yang semua
mempunyai nenek moyang yang sama.[6]
Selanjutnya perlu disampaikan bahwa dalam tulisan ini yang
difokuskan dalam istilah keluarga oleh penulis adalah hanya terbatas pada apa
yang disebut dalam renah atau konteks keluarga kecil bukan keluarga dalam arti
luas. Yang dimaksud dengan keluarga kecil dalam tulisan ini adalah keluarga
yang terdiri hanya dari bapak, ibu, anak dalam satu ikatan darah. Keluarga
sebagai organisasi, mempunyai perbedaan dari organisasi-organisasi lainnya,
yang terjadi hanya sebagai suatu proses. Salah satu perbedaan yang cukup
penting terlihat dari bentuk hubungan anggota-anggotanya yang lebih bersifat gemeinschaft
dan merupakan ciri-ciri kelompok primer, yang antara lain : mempunyai
hubungan yang lebih intim, kooperatif, face to face, masing-masing anggota
memperlakukan anggota lainnya sebagai tujuan bukannya sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Ciri-ciri lain juga dikemukakan oleh paul H. Landis, adalah :
intimate, face to face warm hearted relationship.[7]
Belakangan ini beberapa orang telah berusaha mewujudkan atau mempraktikkan
apa yang dicita-citakan dengan keluarga ideal. Sehingga, banyaknya wajah dan
cara suatu keluarga dalam merancang dan menempuh keluarga yang ideal itu
berdasarkan keahlian dan pengalaman subyektifitas dari masing-masing keluarga
ketika mendayungi perahu kehidupan. Dalam realitas sosial keluarga yang ideal
sudah terimplementasikan dalam berbagai corak dan telah terinterpretasi baik
dalam masyarakat agraris, agamis, maupun masyarakat industrial, semua ini sudah
menjadi suatu aktifitas subyektifitas suatu keluarga. Jadi, sangat menarik apa
yang ditulis oleh prof. Kahiruddin Nasution tentang pembangunan bangsa
seharusnya berangkat dari pembangunan terhadap keluarga. Prof. Khairuddin
selanjutnya mengatakan dalam tulisannya menyampaikan bahwa: membangun negara
yang baik dimulai dari bangunan keluarga yang baik. manakala keluarga sudah
baik, pada gilirannya negara atau bangsa juga otomatis akan menjadi baik.[8]
Kiranya dalam makalah ini juga perlu diuraikan tentang maksud dari
kata ideal. Ideal dalam Kamus Hukum yang ditulis oleh M. Marwan dan Jimmy, dari
segi bahasa dia artikan sebagai “cocok atau sesuai dengan yang diharapkan
atau dikehendaki”.[9]
Sedangkan dalam Kamus Ilmiah Populer yang ditulis oleh Windy Novia kata ideal
diartikan sebagai “pikiran yang diwarnai emosi dari suatu kepribadian
(watak, garis, kelakuan) sebagai penggambaran atas suatu tujuan, menurut ide
atau cita-cita (keinginan), angan-angan, cocok dengan ide, sesuai dengan
cita-cita, sempurna dan cita-cita.”[10]
Dalam definisi di atas penulis kira penjelasan yang berkaitan dengan kata ideal
sudah cukup jelas, sehingga pada makalah ini tidak dijelaskan lebih panjang
lebar tentang kata tersebut (ideal).
B.
Mengenal
Metode Penafsiran Maudhu’i (Tematik)
Tafsir maudhu’i (Tematik) diberi pengertian istilahi oleh para
ulama dengan penjelasan yakni: menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang memiliki
tujian dan tema yang sama. Setelah itu kalau mungkin disusun berdasarkan
kronologis turunnya dengan memperhatikan
sebeb-sebab turunnya, langkah selanjutnya adalah emnguraikannya dengan
menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali. Bersamaan dengan itu, dikemukakan
pula tujuannya yang menyeluruh dengan ungkapan yang mudah dipahami sehingga
bagian-bagian yang terdalam sekalipun dapat diselami.[11]
Tafsir Maudhu’i oleh Dr. Abdul Hayy al-Farwami dibedakan menjadi
dua macam tafsir. Pertama; penafsiran yang mengkaji sebuah surat dengan
kajian universal (tidak parsial), yang di dalamnya dikemukakan misi awalnya,
lalu misi utamanya, serta kaitan antara satu bagian surat dan bagain lain,
sehingga wajah surat itu mirip seperti bentuk yang sempurna dan saling
melengkapi. Kedua; penafsiran yang menghimpun seluruh ayat al-Qur’an
yang berbicara tentang tema yang sama. Semuanya diletakkan di bawah satu judul,
lalu ditafsirkan dengan metode maudhu’i.[12]
Metode penafsiran maudhu’i (tematik) dalam format dan prosedur yang
jelas sesungguhnya belum lama lahir. Orang yang pertama kali memperkenalkan
metode ini adalah Dr. Ahmad as-Sa’id al-Kumi, ketua jurusan tafsir di
Universitas al-Azhar. Lalu diikuti oleh teman-teman dan mahasiswa. Namun,
sebelum itu metode yang mirip dengan maudhu’i (tematik) sudah ada sejak dahulu,
tatapi belum merupakan satu metode yang memiliki prosedur jelas yang berdiri
sendiri. Ada beberapa rumusan tentang prosedur metode maudhu’i tematik adalah
sebagai berikut: menetapkan masalah yang akan dibahas; menghimpun ayat-ayat
yang berkaitan dengan masalah tersebut; menyususn runtutan ayat sesuai dengan
masa turunnya disertai pengetahuan tentang asbab an-nuzulnya; memahami korelasi
ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing; menyusun pembahasan dalam
kerangka yang sempurna (out line); melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis
yang relevan dengan pokok-pokok bahsan; mempelajari ayat-ayat tersebut secara
keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang
sama, atau mengkompromikan antara yang am (umum) dan yang khas
(khusus, mutlak dan muqayyad (terikat)), atau yang pada lahirnya bertentangan,
sehingga semuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.[13]
Dalam buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Khairuddin Nasution, MA.
Berjudul Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia pada bab kombinasi tematik
dan hosistik memberikan perhatian yang khusus tentang metode maudhu’i ini, yang
ditulis dibukunya adalah salah seorang tokoh abad 20 yang bernama Amin al-Khuli
(1895-1966), ia adalah ilmuan mesir yang menekankan pentingnya pendekatan
tematik dalam memahami isi al-Qur’an. Kemudian al-Khuli mensyaratkan dua ahl
agar seseorang dapat memahami al-Qur’an secara komprehensif, yaitu: perama, memahami
al-Qur’annya sendiri. Kedua, memahami di sekitar al-Qur’an atau latar
belakang atau konteks. Apa yang dikatakan kuli di atas senada dengan apa yang
disampaikan oleh Fazlur Rahman yang melatar belakang turunnya ayat (asbab
al-nuzul) dibedakan menjadi dua, yakni: pertama, mikro adalah latar
belang langsung turunnya ayat. Kedua, makro adalah sejarah kehidupan
masyarakat Arab semasa pewahyuan.[14]
Kemudian Prof. Khairuddin memberikan langkah-langkah dalam aplikasi
dari tafsir tematik berdasar topik atau subyek adalah sebagai berikut: Pertama,
mengumpulkan semua ayat-ayat yang membahas topik atau subyek yang sama. Kedua,
menggabungkan dan menghubungkan semua ayat-ayat tersebut menjadi satu
pembahasan yang utuh dan menyatu. Ketika membuat hubungan antar semua ayat,
ayat-ayat rersebut diurutkan secara kronologis berdasar urutan turunnya ayat. Ketiga,
mendiskusikan subyek yang ada secara keseluruhan dengan mempertimbangkan
konteksnya masing-masing (asbab al-nuzul), termasuk di dalamnya sunnah
Nabi Muhammad s.a.w. yang berhubungan dengan subyek yang dibahas.[15]
C.
Mengenal
Model Penafsir Holistik (kuIlli)
Adapun tafsir yang dimaksud dengan penafsiran Holistik adalah
serupa dengan penafsiran hermeneutik Fazlur Rahman (1919-1988 M). Ada
juga yang menyebutkan sebagai penafsiran kontekstual, Rahman sendiri tidak
tidak menyebut metodenya dengan tafsir holistik, tidak juga kontekstual, tetapi
disebut sebagai metode atau teori hermeneutik (hermeneutical theory).
Maka penyebutan tafsir holistik dan
tafsir kontekstual lebih melihat pada penggunaan teori tersebut. Namun, baik
tematik maupun holistik sama-sama menekankan pada pemahaman al-Qur’an dengan
metode silang (cross referential), atau induktif. Penafsiran semacam ini
sebenarnya sudah dikenal sejak masa sahabat (al-Qur’an yufassiru ba’duhu
ba’dan). Al-Shatibi (w.1388 M) memiliki konsep holistik dengan kalam
yang menyatu, yang oleh Ibn Taimiyah (w.1328 M) dan al-Zarkashi
memandang tafsir ini sebagai tafsir terbaik. Tujuan dari penggunaan metode
holistik dengan demikian adalah untuk menemukan nilai dasar, prinsip dan etika
(spirit) dari nilai partikular-partikular ayat yang dipahami secara
sepotong-potong (juz’i).[16]
Sebenarnya hemeneutik sudah lama dikenal di dunia para filsuf,
misalnya pada era klasik atau Yunani kuno seorang filsuf ternama Aristoteles
(384-322 SM) sudah memprekenalkan hal ini dalam bukunya Peri Hermenias
atau De Interpretatione, dan ini mulanya berhubungan dengan masalah bahasa.
Menurut Aristoteles tidak ada satupun di antara manusia mempunyai bahasa yang
sama antara satu dengan yang lain. Pada perkembangan selanjutnya hermeneutika
dipergunakan sebagai seni untuk menafsirkan naskah-naskah sejarah kuno dan
kitab suci. Kemudian abad ke 4 dan 5 M sejarah interpretasi wahyu mengalami
perkembangan melalui pemikiran teologis terhadap Yudeo Kristiani. Di tradisi
agama Yahudi tafsir atas teks Taurat dilakukan oleh para ahli Kitab untuk
mempelajari hukum-hukum agama. Pada tradisi kristiani juga menerapkan
hemeneutika pada teks-teks dari perjanjian lama. Kemudian pada abad ke 7-17 M
tradisi tafsir terus berlanjut, terutama dalam menafsirkan teks al-Qur’an oleh
orang Islam di bawah tuntunan Nabi Muhammad s.a.w. pada masa ini terciptalah
bermacam-macam metodelogi dan seni penafsiran dan pada abad 17 dan 18
hermeneutika sudah menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri.[17]
Selanjutnya Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H. menjelaskan lebih
lanjut dalam bukunya; Pada mitos Yunani kuno, kata hermeneutika merupakan dari
kata Hermes, yaitu seorang dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan
pesan (message) dari sang Dewa kepada manusia. Menurut versi mitos yang
lain, Hermes adalah seorang utusan yang memiliki tugas menafsirkan kehendak
dewata (orakel) dengan bantuan kata-kata manusia. Pengertian dari mitologi ini
kerap kali dapat menjelaskan pengertian hermeneutika teks-teks kitab suci,
yaitu menafsirkan kehendak Tuhan sebagai mana terkandung di dalam ayat-ayat
kitab suci. Secara teologis peran hermes tersebut dapat dinisbatkan sebagai
mana peran Nabi utusan Tuhan. Sayyed Hossein Nashr memiliki hipotisis bahwa
Hermes tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.s., yang disebut dalam
al-Qur’an, dan dikenal sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan,
teknologi tenun, kedokteran, astrologi dan lain-lain. Menurut riwayat yang
beredar di lingkungan pesantren, Nabi Idris adalah orang yang ahli di bidang
pertenunan (tukang tenun/memintal). Sedangkan di lingkungan agama Yahudi,
Hermes dikenal sebagai Thoth, yang dalam mitologi Mesir mesir dikenal dengan
Nabi Musa a.s.[18]
Secara etimologi, kata hermeneutik atau hermeneutika berasal dari
bahasa Inggris hermeneutic dan hermeneutics juga berasal dari
turunan kata hermeneia bahasa Yunani, secara harpiah dapat diartikan
sebagai penafsiran atau interpretasi. Dalam kosa-kata kerja, ditemukan istilah hermeneuo
dan hermeneuein. Hermeneuo artinya mengungkapkan pikiran-pikiran
seseorang dalam kata-kata, dah hermeneuein bermakna mengartikan, menafsirkan
atau menerjemahkan dan juga bertindak sebagai penafsir. Pada
pengertian-pengertian di atas sebenarnya ingin mengungkapkan bahwa hermeneutika
merupakan usaha untuk beralih dari sesuatu yang relatif gelap ke sesuatu yang
lebih terang.[19]
Rahman kemudian mebagi ayat al-Qur’an menjadi dua kelompok, yakni: pertama,
ayat-ayat yang memiliki prinsip umum; kedua, ayat-ayat yang
mengandung ajaran khusus (kasuistik). Disisi lain rahman juga memberikan
perhatian yang penting terhadap bahasa (sastra), misalnya dia sebutkan bahwa
dalam tafsir perlu diletakkan tiga unsur, yaitu: konteks ayat, komposisi dan
grametika dari ayat dan menjadikan semua teks ayat al-Qur’an menjadi satu
kesatuan yang menyatu dan tidak terpisahkan. Namun, Muhammad Ayoub berkomentar
dengan mengatakan bahwa al-Qur’an memiliki dua dimensi, yakni: pertama,
dimensi batin yang bersifat langsung tanpa batas waktu dan tempat, dan kedua,
dimensi kemanusiaan sebagai sumber moral, yang disebut dengan zahir (eaotic
atau aoter dimension).[20]
D.
Wajah
Keluarga Ideal
1.
Keluarga
Ideal Perspektif Surah ar-Rum ayat 21
ومن ا ياته أن
خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذالك لايات
لقوم يتفكرون.[21]
Al-Qurthubi memberikan penjelasan kepada ayat “kemudian
tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak”, maksudnya adalah,
kemudian kalaian menjadi orang yang berakal, dapat berbicara dan dapat berbuat
pada apa yang dapat menopang hidup kalian. Artinya, dia tidak menciptakan
kalian dengan main-main, barang siapa yang ditakdirkan seperti ini maka dia
pantas untuk ibadah dan tasbih. Maksud dari ayat “Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri”, Allah telah menciptakan kepada kalian
perempuan-perempuan yang kalian merasa tentram kepadanya. Maksud dari jenismu
sendiri adalah dari air mani kaum laki-laki dan dari jenis kalian, ada yang
mengatakan maksudnya adalah Hawa yang Allah ciptakan dari tulang rusuk Adam.
Demikian pendapat dari Qatadah.[22]
Maksud dari “dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang”,
ibnu Abbas berkata, almawaddah adalah hubungan intim dan ar-rahmah
adalah anak, atau cintah seorang laki-laki kepada istrinya, dan ar-rahmah kasih
sayangnya kepada istrinya bila dia terkena sesuatu yang buruk. Ada juga yang mengatakan bahwa al-mawaddah dan ar-rahmah adalah kasih sayang hati mereka
satu sama lain. As-Suddi berkata mawaddah adalahcinta dan ar-rahmah rasa sayang. Pendapat lainjuga mengatakan
laki-laki asalnya adalah dari tanah dan pada dirinya terdapat kekuatan tanah,
pada dirinya juga terdapat alat kelamin yang darinya diawali penciptaannya.
Oleh karena itu, dia membutuhkan tempat. Ladu, diciptakan perempuan sebagai
tempat laki-laki.[23]
Dalam tafsir ath-Thabari, firman Allah Surat ar-Rūm ayat 21 ditakwil
sebagai berikut: di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya dan bukti kebesaran-Nya
yaitu Dia ciptakan pasangan untuk bapak kamu (Adam) dari dirinya, agar Adam
merasa tentram kepadanya, yaitu dengan menciptikan Hawa dari salah satu tulang
rusuk Adam. Dalam riwayat Bisyr; Bisyr menceritakan mencertikan kepada kami, ia
berkata: Sa’id menceritakan kepada kami dari Qatadah, tentang ayat “di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri” ia berkata, “Allah menciptakan pasanganmu dari salah satu
tulang rusukmu”. Pada firman-Nya “dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang”. Maksudnya adalah dengan menjalin hubungan kekeluargaan dengan
perkawinan di antara kamu, dijadikannya kasih sayang di antara kamu. Dengan
itulah kamu menjalin hubungan. Dengan itu pula dia jadikan rahmat di antara
kamu, sehingga kamu saling menyukai. Sedangkan dalam firman-Nya “sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Maksudnya adalah sesungguhnya dalam tindakan Allah itu terdapat pelajaran dan
nasihat bagi kaum yang mau memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah dan
bukti-bukti kebenaran-Nya. Dengan itulah mereka mengetahui bahwa Allah pasti
melaksanakan kehendak-Nya dan tidak ada yang dapat menghalangi kehendak-Nya.[24]
Kemudian dalam tafsir imam Syafi’i di kitab al-Umm Bab Tafri’
al-Qasm wa al-Adl Bainahum surat ar-Rūm ayat 21 di atas dijelaskan bahwa; jika
seorang lelaki memiliki istri-istri muslimah yang merdeka (bukan budak) atau
istri-istri dari kalangan ahli kitab yang merdeka, atau memiliki istri-istri
muslimah dan Ahli Kitab, semua istri ini memiliki hak pembagian giliran yang
sama. Sang suami juga harus menginap satu malam-satu malam di rumah
masing-masing istrinya itu. Jika di antara istri tersebut ada yang dari
kalangan budak, maka istri yang merdeka behak mendapat waktu dua malam
sedangkan untuk istri yang budak hanya berhak mendapat waktu satu malam. Suami
tidak boleh bermalam dengan salah seorang istrinya yang belum mendapatkan hak
pembagian giliran darinya karena malam adalah dasar pembagian giliran itu.
Sedangkan di siang hari, dia boleh mengunjungi istri yang belum mendapatkan hak
pembagian giliran itu untuk satu keperluan saja, bukan untuk menidurinya.[25]
Kemudian Dr. H. Ali Akbar melakukan pendekatan secara biologis
dalam suarat ar-Rum ayat 21 di atas. Dari segi beiologis seksual ada beberapa
kesimpulan yang ia dapatkan: Pertama, laki-laki mempunyai nafsu shahwat
terhadap wanita, dan syahwat ini akan bangun bila melihat wanita yang
disenanginya. Wanita adalah perangsang syahwat laki-laki. Kedua,laki-laki
itu bila bangun syahwatnya, hanya dibolehkan memuaskan nafsu syahwatnya pada istrinya
semata. pemuasan nafsu syahwat yang dilakukan dengan disertai pengetahuan yang
sempurna tentang cara-caranya yang baik, akan memberikan kepada dia beserta
istrinya suatu kesenangan dan ketenangan. Ketiga, pemuasan nafsu syahwat
yang dikehendaki oleh suami istri dan dikerjakan dengan kesediaan serta kerja
sama yang baik antara seami dan istri, akan memberikan puncak kesenangan serta
membawa ketenangan jiwa raga.[26]
Kemudian Prof. Dr. Abdul Rahman Ghazali, MA. Mengkaji surah ar-Rum
di atas dengan kesimpulan bahwa; membangun rumah tangga dalam rangka membentuk
masyarakat yang sejahtra berdasarkan cinta dan kasih sayang. dalam hidup
manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman hidup, Ketenangan dan ketentraman
untuk mencapai kebahagiaan, kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan adanya
ketenangan dan ketentraman anggota keluarga dalam keluarga. Keluarga merupakan
bagian masyarakat menjadi faktor terpenting dalam penentuan ketenangan dan
ketentraman masyarakat. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari
keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam satu rumah
tangga, keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam
menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban.[27]
2.
Keluarga
Ideal Perspektif Surah al-Baqarah ayat 187
أحل لكم ليلة الصيام الرفث إلي نسائكم,
هن لباس لكم وأنتم لباس لهن.[28]
Asbab an-Nuzul ayat ini adalah sebagai
berikut: Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Hakim dari jalur Abdurrahman bin
Abu Laila dari Muaz bin Jabal, katanya, "Mereka biasa makan minum dan
mencampuri wanita-wanita selama mereka masih belum tidur. Tetapi kalau sudah
tidur, mereka tak hendak bercampur lagi. Kemudian ada seorang laki-laki Ansar,
Qais bin Sharmah namanya. Setelah melakukan salat Isyak ia tidur dan tidak
makan minum sampai pagi dan ia bangun pagi dalam keadaan letih. Dalam pada itu
Umar telah mencampuri istrinya setelah ia bangun tidur, ia datang kepada Nabi
saw. lalu menceritakan peristiwa dirinya. Maka Allah pun menurunkan,
'Dihalalkan bagi kamu mencampuri istri-istrimu, kemudian sempurnakanlah puasa
sampai malam. (Q.S. Al-Baqarah 187).[29]
Bukhari dari Barra, katanya, "Biasanya para sahabat Nabi saw. jika salah
seorang di antara mereka berpuasa, lalu datang waktu berbuka, kemudian ia
tertidur sebelum berbuka, maka ia tidak makan semalaman dan seharian itu sampai
petang lagi. Kebetulan Qais bin Sharmah berpuasa. Tatkala datang saat berbuka,
dicampurinya istrinya, lalu tanyanya, 'Apakah kamu punya makanan?' Jawabnya,
'Tidak, tetapi saya akan pergi dan mencarikan makanan untukmu.' Seharian Qais
bekerja, hingga ia tertidur lelap dan ketika istrinya datang dan melihatnya, ia
mengatakan, 'Kasihan kamu!' Waktu tengah hari, karena terlalu lelah, ia tak
sadarkan diri, lalu disampaikannya peristiwa itu kepada Nabi saw. maka turunlah
ayat ini yang berbunyi, 'Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur
dengan istri-istrimu.' (Q.S. Al-Baqarah 187).[30]
Abu Ja’far menguraikan ayat di atas
tentang “mereka itu adalah pakaian, dan kalian pun adalah pakaian bagi
mereka”. Maknaya, istri-istri kalian adalah pakaian bagi kalian, dan kalian
adalah pakaian bagi mereka. Sehingga timbul pertanyaan, bagaimana para istri
jadi pakaian bagi suami dan suami menjadi pakaian bagi istri. Hal demikian
dapat dijawab dengan dua pernyataan,. Pertama, masing-masing dari
keduanya menjadikan yang lain sebagai pakaiannya, karena mereka telanjang
ketika tidur dan tubuh mereka menyatu dalam satu pakaian. Kedua, dijadikannya
satu sama lain pakaian adalah karena ia menjadi tempat ketenangan baginya. Sebagai mana firman Allah
dalam surat al-Furqan yang artinya “Dilah yang menjadikan untukmu malam
(sebagai) pakaian”. Demikian juga istri, ia menjadi tempat ketenangan bagi
sang suami, sebagai mana firman Allah dalam surat al-A’rāf yang artinya “dan
dari padanya Dia menciptakan istrinya, agar ia merasa tenang kepadanya”.
Demikianlah, masing-masing suami dan istri menjadi tempat ketenangan bagi yang
lain. Inilah pendapat mujtahid dan lainnya atau bisa juga dikatakan, bahwa
maknanya adalah masing-masing dari keduanya menjadi tirai yang menutupi mereka
dari penglihatan orang lain ketika melakukan hubungan intim, karena kata “libās”
berarti suatu yang menutupi.[31]
Kemudian Prof. Khairuddin memberi
penjelasan terhadap ayat di atas tersebut bahwa suami dan istri adalah pasangan
yang mempunyai hubungan bermitra, patner dan sejajar (equal). Seperti
yang ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 187 dan 228 di atas ditegaskan “mereka
adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian (bagi mereka).”, “dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban menurut cara yang ma’ruf”.
Juga dipertegas lagi dalam surat an-Nisa’ ayat 32 tentang kemitraan dan
kesejajaran antara suami dan istri “dan janganlah kamu iri hati terhada apa
yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang
lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan,
dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan”. Implikasi
dari pasangan yang bermitra dan sejajar ini muncul sikap saling mengerti,
saling menerima, saling mempercayai, saling mencintai. Karena itu, prinsip
bermitra dan mempunyai posisi sejajar antara suami dan istri sebagai pasangan
dalam kehidupan keluarga (rumah tangga).[32]
3.
Keluaga Ideal Perspektif perundang-undangan
Indonesia
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal
19 ayat (2) yang memuat ketentuan Negara bahwa Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Dari ketentuan di atas, maka
pemerintah berhak untuk mengatur persoalan-persoalan tertentu berdasarkan Hukum Islam, sejauh mana
peraturan-peraturan itu diperuntukkan bagiwarga negara yang beragama Islam.
Mengenai berlakunya hukum Islam di Indonesia dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 sebagai peraturan pelaksanaannya, apabila ditinjau secara sepintas dapat
dianggap tidak berlaku lagi, karena dengan berlakunya peraturan
perundang-undangan tersebut di atas, maka sejak 1 Oktober 1975 hanya ada satu
peraturan perkawinan yang berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa
melihat golongannya masing-masing. Hal ini ditegaskan dengan jelas dalam undang-undang
perkawinan Pasal 66. Yakni, dengan berlakunya Undan-Undang ini, maka Undang Hukum
Perdata (Burgerlijk Werboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk
Ordonantie Christen Indonesier Stb. 1933 November. 74), Peraturan Ordonansi
Campuran, Gereling op Desember Gemegde Huwelijk Stb. 1898 Nopember. 158,
dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tnetang perkawinan sejauh telah
diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.[33]
Undang-Undang Perkawinan mengatakan
bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
yang dilandasi dengan berketuhanan kepada Tuhan yang maha Esa. Perkawinan yang
sah berdasarkan yuridiksi dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 tentang
perkawinan adalah perkawinan yang dilangsungkan dengan menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing dari yang melaksananakan perkawinan itu, dan
perkawinan itu bisa dikatakan memiliki kekuatan hukum atau dilegalkan demi
hukum oleh peraturan-peraturan pemerintahan (dalam hal ini undang-undang
perkawinan yang berlaku) jikalau perkawinan tersebut dicatatkan di petugas
administrasi negara yang telah diberi kewenangan penuh oleh negara tentang hal
demikian itu.[34]
Undang-Undang juga memfondasikan bahwa
undang-undang perkawinan menganut madzhab monogami. dalam arti bahwa,
undang-unadang perkawinan no 1 tahun 1974 mensyari’atkan kepada umatnya (masyarakat
Indonesia) pria dan wanita harus memiliki seorang istri bagi pria dan seorang
suami bagi wanita. Undang-Undang juga mengatur tentang waktu usia atau umar
dibolehkannya perkawinan terhadap penganutnya yang pria dan wanita, bagi pria
perkawinan dibolehkan atau diizinkan jikalau dia sudah mencukupi atau berusia
19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Perkawinan itu juga harus
berdasarkan persetujuan dari kedua belah mempelai antara calon memperlai pria
dan calan mempelai wanita.[35]
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
diberi gambaran tentang keluarga yang ideal adalah bahwa perkawinan dalam hukum
islam adalah pernikahan, kemudian yang dimaksudkan dengan pernikahan dalam KHI
adalah ikatan yang sangat kuat atau mītsāqan ghalīzhan untuk semata-mata
untuk mentaati perintah Allah s.w.t. dan jika melakukannya merupakan sutu
bentuk pribadatan kepada Allah s.w.t.
wujud dari perkawinan itu semata-mata bertujuan untuk membentuk atau mewujudkan
keluarga atau rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Ditegaskan lagi
dengan sejelas-jelasnya adalah, bahwa sesunggunya perkainan itu dikatakan sah
apabila dilakukan dengan hukum Islam yang selaras atau sealur dengan alur pasal
(2) ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam
perkawinan yang diatur didalam perundang-undangan Indonesia bahwa perkainan itu
baru bisa dibuktikan dengan ketentuan, hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah
yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.[36]
BAB III
PENUTUP
Ketika beberapa orang ingin
mengkonsepkan tentang kuluarga ideal, seyogyanya seseorang menentukan terlebih dahulu
latar belakang sosial yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat dan kelompok
dimana ia berpijak dan menetap, berdomisili atau bertempat tinggal baik secara
sosiologis maupun antropologis. Karena, masing-masing orang ada yang dilatar
belakangi oleh profesi dan lokalitas yang bersifat temporal. Tentu sangat
berbeda masyarakat perkotaan yang terbiasa dengan kehidupan modernis dan
isu-isu kontemporer versus masyarakat pedesaan yang kehidupannya berputas pada
isu-isu primitif, masyarakat hukum versus masyarakat sosial humaniora,
masyarakat agraris versus masyarakat industrial lebih-lebih yang sangat paling
mencolok adalah ketika manusia sebagai pemimpin masyarakat versus masyakat yang
berposisi sebagai yang dipimpin, atau masyarakat borjuis, marxis versus
masyarakat proletal dan sebagainya.
Mungkin jangan terlalu jauh-jauh mengkaji
tentang perbedaan-perbedaan itu, didalam lingkaran pendidikan sekalupun
perbedaan yang sering melingkari terlihat antara yang mengkaji suatu disiplin
ilmu dengan gaya-gaya bermacam-macam. Misalnya; pengkajian dengan cara texs
versus kontexs, atau Normatif versus Historis, atau Scientific Cum Doctrinaire versus
Doctrinaire Cum Scientific, atau Normatifitas versus Historitas, atau mungkin
ada yang mengatakan atau membahasakannya sebagai Normatif universal dan
Normatif Temporal, atau mungkin Normatif Antropologis dan Normatif Trandentalis,
dan bahasa-bahasa sebagainya. Sehingga, mengkonsepsikan sesuatu perlu kiranya
untuk menggunakan multi disiplener atau inter disipliner atau memungkinkan
dalam penggunaan berbagai pendekatan-pendekan yang lain untuk menghasilkan
suatu konsep yang baik atau maksimal tentang suatu perkara itu.
DAFTAR PUSTAKA
al-Farwami, Abdul Hayy., Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara
Penerapannya, penerjemah Rosihon anwar, (Bandung: Pustaka Setia, 2002).
Ghazali, Abdul
Rahman., Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010).
ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir., Jami’ al-Bayan an
Ta’wil ayi al-Qur’an, penerjemah Ahmad Abdurrazaq al-Bakri dkk, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009).
al-Farran, Ahamad Musthafa., Tafsir al-Imam al-Syafi’i, penerjemah
Imam Ghazali Masykur, (Jakarta: PT. Niaga Swadaya, 2008).
Al-Qurthubi., Tafsir al-Qurthubi, penerjemah Fathurrahman
Abdul Hamid dkk, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2009).
Akbar, Ali., Merawat Cinta Kasih., (Jakarta: Pustaka Antara,
1991).
Anshori, Abdul Ghafur., Hukum Perkawinan Islam perspektif Fiqih
dan Hukum Positif, (Yogyakarta: UII Press,2011).
Mahali, A. Mujab., Asbabun-Nuzu.l, (Jakarta: Raja Wali
Press).
Dahlan dan Shaleh, Qamaruddin., Asbabun Nuzul, (Bandung: CV
Diponegoro, 1995).
Khairuddin., sosiologi
keluarga (Yogyakarta: Nurcahay, _).
Nasution,
Khairuddin., Perkawinan I, (Yogyakarta: Tazzafa, 2005).
., Hukum
Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia
Muslim, (Yogyakarta: Tazzafa, 2009).
., Pengantar
Studi Islam, (Yogyakarta: Tazzafa, 2009).
., Pengantar
dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta:
TAZZAFA, 2007).
Marwan, M dan Jimmy., Kamus Hukum, (Surabaya: Realiti
Publisher, 2009).
Novia, Windy., Kamus
Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Wacana Intlektual, 2009).
Sidharta Arief., Hermeneutika Hukum teori penemuan hukum baru
dengan interpretasi teks, (Yogyakarta: UII Press, 2005).
ad-Duraiwisy, Yusuf., Nikah Sirri Mut’ah dan Kontrak dalam
timbangan al-Qur’an dan al-Sunnah, (Jakarta: Darul Haq, 2010).
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Kompilasi Hukum Islam, Buku I
[1] Yusuf
ad-Duraiwisy., Nikah Sirri Mut’ah dan Kontrak dalam timbangan al-Qur’an dan
al-Sunnah, (Jakarta: Darul Haq, 2010), hlm. 18.
[2] Khairuddin
Nasution., Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia,
(Yogyakarta: TAZZAFA, 2007), hlm. 62
[3] Undang-Undang
Republik Indonesia (UURI)., Nomor 1 (satu) tahun 1974 tentang perkawinan, BAB I
pasal 1 (satu).
[4] Kompilasi
Hukum Islam (KHI)., BAB II, pasal 2 (dua).
[5] Khairuddin, sosiologi
keluarga (Yogyakarta: Nurcahay,_), hlm 10
[6] M. Marwan dan
Jimmy., Kamus Hukum, (Surabaya: Realiti Publisher, 2009), hlm. 346
[7] Khairuddin, sosiologi
keluarga (Yogyakarta: Nurcahay, _), 10 dan 11
[8] Khairuddin
Nasution., Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia,
(Yogyakarta: TAZZAFA, 2007), hlm. 60
[9] M. Marwan dan
Jimmy., Kamus Hukum, (Surabaya: Realiti Publisher, 2009), hlm. 277
[10] Windy Novia., Kamus
Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Wacana Intlektual, 2009), hlm. 187
[11] Abdul Hayy
al-Farwami, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, penerjemah
Rosihon anwar, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm. 43-44
[12] Ibid., hlm
42 dan 43
[13] Ibid.,
hlm. 51 dan 52
[14] Baca
Khairuddin Nasution, ed. Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Tazzafa, 2009),
hlm. 181 dan 182.
[15] Khairuddin
Nasution., Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Tazzafa, 2009), hlm. 190
[16] Baca
Khairuddin Nasution, ed. Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Tazzafa,
2009), hlm. 150-154
[17] Baca Arief
Sidharta, ed. Hermeneutika Hukum teori penemuan hukum baru dengan
interpretasi teks, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 1-25.
[18] Arief
Sidharta, Hermeneutika Hukum teori penemuan hukum baru dengan interpretasi
teks, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm 21
[19] Ibid.,
hlm. 19 dan 21.
[20]
Baca Khairuddin
Nasution, ed. Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan
Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Tazzafa, 2009), hlm. 206-208
[21] Ar-Rūm (30):
21
[22]
Al-Qurthubi., Tafsir al-Qurthubi, penerjemah Fathurrahman Abdul Hamid
dkk, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2009), hlm. 39.
[23] Ibid.,
hlm. 39 dan 40
[24] Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir ath-Thabari., Jami’ al-Bayan an Ta’wil ayi al-Qur’an, penerjemah
Ahmad Abdurrazaq al-Bakri dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm. 625-627
[25] Ahamad
Musthafa al-Farran, Tafsir al-Imam al-Syafi’i, penerjemah Imam Ghazali
Masykur, (Jakarta: PT. Niaga Swadaya, 2008), hlm. 255
[26] Ali Akbar., Merawat
Cinta Kasih, (Jakarta: Pustaka Antara, 1991), hlm. 74 dan 75
[27] Abdul Rahman
Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 31
[28]
Al-Baqārah (2): 187
[29]
Baca Dahlan dan Qamaruddin Shaleh., ed. Asbabun
Nuzul, (Bandung: CV Diponegoro, 1995), hlm.56-57
[30]
Ibid., hlm. 57. Dan Baca Juga A. Mujab Mahali., ed. Asbabun-Nuzul, (Jakarta:
Raja Wali Press), hlm. 65.
[31]
Baca Abu
Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari., ed. Jami’ al-Bayan an Ta’wil ayi
al-Qur’an, penerjemah Ahmad Abdurrazaq al-Bakri dkk, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), hlm. 149-151
[32]
Baca Khairuddin Nasution, Perkawinan I, (Yogyakarta: Tazzafa, 2005),
hlm. 63-65
[33]
Abdul Ghafur Anshori., Hukum Perkawinan Islam perspektif Fiqih dan Hukum
Positif, (Yogyakarta: UII Press,2011), hlm. 167-168.
[34]
Baca Undang-Undang Perkawinan Indonesia., Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tenatang Perkawinan,Bab I pasal 1-5.
[35]
Ibid., Bab II, pasal 6-8.
[36]
Baca Kompilasi Hukum Islam (KHI)., Buku (1) Satu tentang Hukum Perkawinan, Bab
II, Pasal 2-7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar