Minggu, 10 September 2017

Review Article dari karya Arifuddin Ismail



Review Article dari karya Arifuddin Ismail,
Agama Nelayan: Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal,
diterbitkan oleh Pustaka Pelajar
tahun 2012.

--**--
Buku tentang agama nelayan tersebut merupakan salah satu buku tentang ilmu antropologi dari sekian banyak karya yang telah ditulis oleh Arifuddin Ismail. Sebelumnya, Arifuddin menulis tentang Religi Manusia Nelayan (2007), Menakar Kultur Pesantren (2008), Potensi Organisasi Sosial Keagamaan (2009), dan Sejarah Islam Di Mandar (2010). Begitu pula penelitian yang dilakukannya semua mengenai kebudayaan yang ada di Indonesia khususnya di masyarakat Mandar pambusuang.
Menurut penulis, ritual nelayan Mandar Pambusuang merupakan ritual yang sudah terakulturasi antara Islam sebagai kebudayaan luar dengan tradisi lokal, namun belum pasti diketahui bentuk akulturasi yang ditampakkan sebagai formulasi terciptanya Islam lokal dan menjadi identitas kebudayaan nelayan Mandar, di samping itu belum jelas karakterisitik atau corak Islam di dalamnya. Sehingga kegelisahan tersebut menghasilkan sebuah rumusan yakni bagaimana posisi Islam dalam ritual nelayan Mandar Pambusuang yang di dalamnya telah mengalami akulturasi antara islam dengan budaya lokal.
Pelaksanaan ritual bagi masyarakat nelayan Mandar Pambusuang terkait dengan persoalan pekerjaannya di laut yang dianggap sangat keras dan menantang. Cuaca alam yang berubah-ubah menjadi ancaman yang sewaktu-waktu dapat mencelakakan mereka. Bahkan pada tingkat yang paling buruk, hidup menjadi taruhan profesi mereka. Kondisi tersebut menuntut para nelayan mencari suatu sandaran yang bisa menopang kelancaran pekerjaan, meningkatkan pendapatan dan menjaga keselamatan mereka. Oleh karena itu, masyarakat nelayan Mandar Pambusuang memiliki ikatan yang sangat intim dengan kekuatan supranatural yang diejawantahkan melalui berbagai ritual.[1] Sehingga hal tersebut melahirkan penggolongan di masyarakat nelayan Mandar Pambusuang menjadi dua golongan. Golongan nelayan yang berfikiran konservatif dan golongan nelayan yang berfikiran modern. Golongan nelayan yang berfikiran konservatif menjadikan ritual bagi mereka dijalankan disertai dengan nilai ideal, bisa juga berubah hingga bernilai pragmatis. Perilaku masyarakat nelayan ketika mereka akan melaut sangat religius, tetapi religiusitas tersebut kemudian mencair, teritama ketika mereka tidak melaut. Sedangkan golongan yang berfikiran modern adalah nelayan yang menerima agama Islam sebagai keyakinan dan juga menerima cara-cara modern dalam menangkap ikan, akan tetapi mereka tidak serta merta meninggalkan atau menghilangkan parktik-praktik ritual masyarakat secara total.
Golongan yang berfikiran modern merupakan hasil dari persentuhan dengan nilai-nilai atau pandangan baru, khususnya Islam dan modernitas. Hasil persentuhan itu menjadi bukti yang tidak bisa dinafikan bahwa kebudayaan selalu berkembang bahkan berevolusi karena adanya adaptasi, asimilasi atau akulturasi dengan nilai-nilai atau bahkan dengan pandangan lain (asing).  Dua arus kebudayaan yang bertemu lalu menghasilkan dua model relasi dan situasi, yaitu dominan dan integrasi. Model dominasi terjadi ketika perubahan tergantung pada seberapa kuatnya tekanan nilai-nilai luar masuk ke dalam, dan seberapa kuatnya kekuatan internal menahan tekanan tersebut.[2] Perubahan total akan terjadi ketika penetrasi nilai-nilai luar sanggung mempengaruhi sistem ide masyarakat tersebut.
Sedangkan model integrasi adalah pertemuan yang harmonis antara outsider dan insider. Misalnya, antara islam dengan kebudayaan lokal, modernitas dengan lokalitas, atau kebudayaan global dengan kebudayan lokal. Hubungan integrasi terjadi karena adanya dua kekuatan yang saling mempengaruhi dan saling mewarnai satu sama lain. Integarsi dua kebudayaan bisa terjadi karena adanya relasi yang seimbang antara Islam sebagai kebudayaan outsider dengan kebudayaan nusantara yang notabene insider.
Penerimaan islam oleh masyarakat nelayan Mandar Pambusuang disebabkan beberapa alasan. Pertama, telah terdapat benih-benih religi pada masyarakat, seperti aspek kepercayaan dan praktek ritual. Kedua, ajaran islam dipandang memiliki kemiripan dengan kepercayaan lama yang mereka anut, yakni adanya makhluk halus dan kekuatan ghaib. Ketiga, nilai-nilai ajaran Islam dipandang sebagai kebenaran. Di sisi lain, agama Islam dapat diterima oleh masyarakat karena Islam tidak menghilangkan nilai-nilai tradisional atau nilai-nilai budaya lokal. Penerimaan terhadap agama Islam dan modernitas, sedikit banyak mempengaruhi jalan pikiran masyarakat Mandar. Akhirnya muncul berbagai upaya untuk mendesain ulang ritual, baik substansi atau makna maupun praktik ritual itu sendiri.
Penulis memakai teori pribumisasi islam dalam melihat relasi islam dan budaya lokal. Proses interaksi antara islam dan budaya lokal nelayan terlihat dengan munculnya istilah-istilah islam dalam mantra-mantra lokal, serta munculnya nama Nabi Khaidir (Nabi Heder) sebagai penguasa laut, atau penyandingan lafal-lafal arab dengan lafal-lafal lokal. Proses interaksi merupakan pilihan yang paling tepat sebagai medan negosiasi antara islam sebagai new comer dan budaya lokal sebagai home. Proses interaksi melahirkan perpaduan yang saling menguntungkan (akulturasi): Islam diterima sebagai bagian dari alat legitimasi tindakan sosial.
Masyarakat nelayan Mandar pambusuang dalam era modern ini masih terdapat sistem stratifikasi sosial. Mereka yang memiliki kemampuan intelektual dan kemampuan ekonomi, akan menempati lapisan sosial bagian atas, seperti annangguru dan ponggawa. Annangguru mempresentasikan kelompok cendikiawan, agamis dan moralis. Sedangkan ponggawa merupakan kelompok ekonomis atau orang kaya. Kedua kelompok memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat nelayan Mandar Pambusuang. Annangguru sangatdibutuhkan dalam upaya pelestarian tradisi-tradisi keislaman, seperti manggaji kitta’, manggaji korang, mappatamma’ koroang, mabbaca-baca, kuliwa dan marroma.Annangguru dibutuhkan untuk memperkuat dan melegitimasi moral masyarakat Pambusuang, sekaligus melestarikan citra Pambusuang sebagai desa “penghasil ulama dan intelektual Islam Mandar”.
Sementara ponggawa memiliki peran penting karena mereka menjadi salah satu sumber ekonomi domestik masyarakat Pambusuang, khususnya bagi para sawi. Hubungan antara ponggawa dan sawi adalah hubungan patron-klien. Keberadaan ponggawa memberikan rasa aman kepada sawi karena ponggawa merupakan tempat perlindungan ekonomi dan sosial.Annangguru dan ponggawa memiliki posisi setara dengan bangsawan. Kebanyakan mereka dipanggil dengan “puang”, dan ditempatkan dibagian sejajar dengan tempat para bangsawan ketika ada peristiwa-peristiwa sosial seperti perkawinan, kematian, mappatamma’ koroang (khataman al-Qur’an) dan sebagainya.
Kegiatan melaut nelayan Mandar Pambusuang diawali terlebih dahulu dengan berbagai prosesi. Mulai dari ponggawa lopi (nahkoda) dan sawi bersama-sama menata dan memperbaiki perahu dan perlengkapan lainnya. Setelah perlengkapan terpenuhi, tidak serta merta perahu langsung diturunkan, akan tetapi harus melakukan sebuah ritual terlebih dahulu. Ritual yang dimaksud adalah kuliwa, menurunkan perahu atau kapal dan pemberangkatannya, dan perilaku nelayan saat di laut (operasi penangkapan).
Kuliwa merupakan suatu ritual yang dilakukan di rumah ponggawa lopi dan di perahu dengan pembacaan Barzanji. Kuliwa dilakukan bermaksud untuk doa keselamatan dan rezeki. Kuliwa berasal dari bahasa Mandar yang berarti “seimbang”, dan “makkuliwa” berarti “menyeimbangkan”.Makkuliwa merupakan doa keselamatan. Doa tersebut ditujukan untuk tatanan kehidupan, baik di darat maupun di laut senantiasa berada dalam keseimbangan, tidak saling mengganggu dan merusak, sehingga hidup terasa aman.
Para nelayan memiliki keyakinan bahwa laut memiliki “penghuni” yang senantiasa harus dihargai dan dihormati, tidak boleh dilecehkan, bahkan harus mematuhi aturan-aturan dan menjauhi pantangan-pantangan yang ada.



[1]Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: UI-Press, 1981), hal 230.
[2]A. Julianto, Pengantar Ringkas Antropologi, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1981) hal 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

catatan penyanya ilmu kalam

03-11-2019 Erik: nama tokoh kiodariyah yang berasal dari negeri irak? ma’bad al-jauhani dan ghailan ad-dimasyqi. Dapat dari irak yang b...