Review Article
dari karya Arifuddin Ismail,
Agama Nelayan: Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal,
diterbitkan oleh Pustaka Pelajar
tahun 2012.
Agama Nelayan: Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal,
diterbitkan oleh Pustaka Pelajar
tahun 2012.
--**--
Buku tentang agama nelayan tersebut merupakan salah satu
buku tentang ilmu antropologi dari sekian banyak karya yang telah ditulis oleh
Arifuddin Ismail. Sebelumnya, Arifuddin menulis tentang Religi Manusia
Nelayan (2007), Menakar Kultur Pesantren (2008), Potensi
Organisasi Sosial Keagamaan (2009), dan Sejarah Islam Di Mandar (2010).
Begitu pula penelitian yang dilakukannya semua mengenai kebudayaan yang ada di
Indonesia khususnya di masyarakat Mandar pambusuang.
Menurut penulis, ritual nelayan Mandar Pambusuang
merupakan ritual yang sudah terakulturasi antara Islam sebagai kebudayaan luar
dengan tradisi lokal, namun belum pasti diketahui bentuk akulturasi yang
ditampakkan sebagai formulasi terciptanya Islam lokal dan menjadi identitas
kebudayaan nelayan Mandar, di samping itu belum jelas karakterisitik atau corak
Islam di dalamnya. Sehingga kegelisahan tersebut menghasilkan sebuah rumusan
yakni bagaimana posisi Islam dalam ritual nelayan Mandar Pambusuang yang di
dalamnya telah mengalami akulturasi antara islam dengan budaya lokal.
Pelaksanaan ritual bagi masyarakat nelayan Mandar
Pambusuang terkait dengan persoalan pekerjaannya di laut yang dianggap sangat
keras dan menantang. Cuaca alam yang berubah-ubah menjadi ancaman yang
sewaktu-waktu dapat mencelakakan mereka. Bahkan pada tingkat yang paling buruk,
hidup menjadi taruhan profesi mereka. Kondisi tersebut menuntut para nelayan
mencari suatu sandaran yang bisa menopang kelancaran pekerjaan, meningkatkan
pendapatan dan menjaga keselamatan mereka. Oleh karena itu, masyarakat nelayan
Mandar Pambusuang memiliki ikatan yang sangat intim dengan kekuatan
supranatural yang diejawantahkan melalui berbagai ritual.[1]
Sehingga hal tersebut melahirkan penggolongan di masyarakat nelayan Mandar
Pambusuang menjadi dua golongan. Golongan nelayan yang berfikiran konservatif dan
golongan nelayan yang berfikiran modern. Golongan nelayan yang berfikiran
konservatif menjadikan ritual bagi mereka dijalankan disertai dengan nilai
ideal, bisa juga berubah hingga bernilai pragmatis. Perilaku masyarakat nelayan
ketika mereka akan melaut sangat religius, tetapi religiusitas tersebut
kemudian mencair, teritama ketika mereka tidak melaut. Sedangkan golongan yang
berfikiran modern adalah nelayan yang menerima agama Islam sebagai keyakinan
dan juga menerima cara-cara modern dalam menangkap ikan, akan tetapi mereka
tidak serta merta meninggalkan atau menghilangkan parktik-praktik ritual
masyarakat secara total.
Golongan yang berfikiran modern merupakan hasil dari
persentuhan dengan nilai-nilai atau pandangan baru, khususnya Islam dan
modernitas. Hasil persentuhan itu menjadi bukti yang tidak bisa dinafikan bahwa
kebudayaan selalu berkembang bahkan berevolusi karena adanya adaptasi,
asimilasi atau akulturasi dengan nilai-nilai atau bahkan dengan pandangan lain
(asing). Dua arus kebudayaan yang
bertemu lalu menghasilkan dua model relasi dan situasi, yaitu dominan dan
integrasi. Model dominasi terjadi ketika perubahan tergantung pada seberapa
kuatnya tekanan nilai-nilai luar masuk ke dalam, dan seberapa kuatnya kekuatan
internal menahan tekanan tersebut.[2]
Perubahan total akan terjadi ketika penetrasi nilai-nilai luar sanggung
mempengaruhi sistem ide masyarakat tersebut.
Sedangkan model integrasi adalah pertemuan yang harmonis antara
outsider dan insider. Misalnya, antara islam dengan kebudayaan lokal,
modernitas dengan lokalitas, atau kebudayaan global dengan kebudayan lokal.
Hubungan integrasi terjadi karena adanya dua kekuatan yang saling mempengaruhi
dan saling mewarnai satu sama lain. Integarsi dua kebudayaan bisa terjadi
karena adanya relasi yang seimbang antara Islam sebagai kebudayaan outsider
dengan kebudayaan nusantara yang notabene insider.
Penerimaan islam oleh masyarakat nelayan Mandar
Pambusuang disebabkan beberapa alasan. Pertama, telah terdapat benih-benih
religi pada masyarakat, seperti aspek kepercayaan dan praktek ritual. Kedua,
ajaran islam dipandang memiliki kemiripan dengan kepercayaan lama yang mereka
anut, yakni adanya makhluk halus dan kekuatan ghaib. Ketiga, nilai-nilai ajaran
Islam dipandang sebagai kebenaran. Di sisi lain, agama Islam dapat diterima
oleh masyarakat karena Islam tidak menghilangkan nilai-nilai tradisional atau
nilai-nilai budaya lokal. Penerimaan terhadap agama Islam dan modernitas, sedikit
banyak mempengaruhi jalan pikiran masyarakat Mandar. Akhirnya muncul berbagai
upaya untuk mendesain ulang ritual, baik substansi atau makna maupun praktik
ritual itu sendiri.
Penulis memakai teori pribumisasi islam dalam melihat
relasi islam dan budaya lokal. Proses interaksi antara islam dan budaya lokal
nelayan terlihat dengan munculnya istilah-istilah islam dalam mantra-mantra
lokal, serta munculnya nama Nabi Khaidir (Nabi Heder) sebagai penguasa laut,
atau penyandingan lafal-lafal arab dengan lafal-lafal lokal. Proses interaksi
merupakan pilihan yang paling tepat sebagai medan negosiasi antara islam
sebagai new comer dan budaya lokal sebagai home. Proses interaksi
melahirkan perpaduan yang saling menguntungkan (akulturasi): Islam diterima
sebagai bagian dari alat legitimasi tindakan sosial.
Masyarakat nelayan Mandar pambusuang dalam era modern ini
masih terdapat sistem stratifikasi sosial. Mereka yang memiliki kemampuan
intelektual dan kemampuan ekonomi, akan menempati lapisan sosial bagian atas,
seperti annangguru dan ponggawa. Annangguru
mempresentasikan kelompok cendikiawan, agamis dan moralis. Sedangkan ponggawa
merupakan kelompok ekonomis atau orang kaya. Kedua kelompok memiliki peran yang
sangat penting dalam kehidupan masyarakat nelayan Mandar Pambusuang. Annangguru
sangatdibutuhkan dalam upaya pelestarian tradisi-tradisi keislaman, seperti
manggaji kitta’, manggaji korang, mappatamma’ koroang, mabbaca-baca, kuliwa
dan marroma.Annangguru dibutuhkan untuk memperkuat dan melegitimasi
moral masyarakat Pambusuang, sekaligus melestarikan citra Pambusuang sebagai
desa “penghasil ulama dan intelektual Islam Mandar”.
Sementara ponggawa memiliki peran penting karena mereka
menjadi salah satu sumber ekonomi domestik masyarakat Pambusuang, khususnya bagi
para sawi. Hubungan antara ponggawa dan sawi adalah
hubungan patron-klien. Keberadaan ponggawa memberikan rasa aman
kepada sawi karena ponggawa merupakan tempat perlindungan ekonomi
dan sosial.Annangguru dan ponggawa memiliki posisi setara dengan
bangsawan. Kebanyakan mereka dipanggil dengan “puang”, dan ditempatkan
dibagian sejajar dengan tempat para bangsawan ketika ada peristiwa-peristiwa
sosial seperti perkawinan, kematian, mappatamma’ koroang (khataman
al-Qur’an) dan sebagainya.
Kegiatan melaut nelayan Mandar Pambusuang diawali
terlebih dahulu dengan berbagai prosesi. Mulai dari ponggawa lopi
(nahkoda) dan sawi bersama-sama menata dan memperbaiki perahu dan
perlengkapan lainnya. Setelah perlengkapan terpenuhi, tidak serta merta perahu
langsung diturunkan, akan tetapi harus melakukan sebuah ritual terlebih dahulu.
Ritual yang dimaksud adalah kuliwa, menurunkan perahu atau kapal dan
pemberangkatannya, dan perilaku nelayan saat di laut (operasi penangkapan).
Kuliwa
merupakan suatu ritual yang dilakukan di rumah ponggawa lopi dan di
perahu dengan pembacaan Barzanji. Kuliwa dilakukan bermaksud untuk doa
keselamatan dan rezeki. Kuliwa berasal dari bahasa Mandar yang berarti
“seimbang”, dan “makkuliwa” berarti “menyeimbangkan”.Makkuliwa
merupakan doa keselamatan. Doa tersebut ditujukan untuk tatanan kehidupan, baik
di darat maupun di laut senantiasa berada dalam keseimbangan, tidak saling
mengganggu dan merusak, sehingga hidup terasa aman.
Para nelayan memiliki keyakinan bahwa laut memiliki
“penghuni” yang senantiasa harus dihargai dan dihormati, tidak boleh
dilecehkan, bahkan harus mematuhi aturan-aturan dan menjauhi
pantangan-pantangan yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar