Hubungan antara islam dan
ham dalam poligami
Poligami anjuran
poligami/sebuah larangan atau pengharaman
Menurut para ahli sejarah poligami mula-mula dilakukan
oleh raja-raja pembesar Negara dan orang-orang kaya. Mereka mengambil beberapa
wanita, ada yang dikawini dan ada pula yang hanya dipergunakan untuk
melampiaskan hawa nafsunya akibat perang, dan banyak anak gadis yang
diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan kemudian dijadikan gundik dan
sebagainya. Makin kaya seseorang makin tinggi kedudukanya, makin banyak
mengumpulkan wanita.[1]
Dengan demikian poligami itu adalah sisa-sisa pada waktu peninggalan
zaman perbudakan yang mana hal ini sudah ada dan jauh sebelum masehi.
firman
Allah SWT dalam surah An-Nisa` ayat 3 sebagai
berikut:
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[2]
Penafsiran yang terbaik berkaitan dengan ayat ini adalah
sebagiaman ayang ditafsirkan oleh asisyah bahwa yat ini berkaitan denagn anak
yatim yang berada dalam pemeliharaan seorang wali, dimana hartanya bergabung
dengan harta wali dan sang wali senang akan kecantikan dan harta sang anak
yatim, maka ia hendak menikahinya tetapi enggan berbuat adil.[3]
Mengpa islam membenarkan poligami pada saat yang sama
sedangkan wanita tidak boleh? Menurut para ilmuwan laki-laki cenderung
berpoligami dan perempuan bermonogami. Ini karena ketika perempuan terlibat
hubungan seksual dengan dua laki-laki, ketika itu benih tidak bersih dan sangat
dihawatirkan menjangkitkan penyakit[4].
Perhatian penuh islam terhadap poligami tidak semata-mata
tanpa syarat. Islam menetapkan dnegan keadilan dan pembatasan.keadilan menjadi
syarat karena istri berhak untuk bahagia. Adapun membatsan menjadi syarat
karena jika tidak dibatasai maka eadilan akan sulit ditegakkan.pembatasan ini
juga kan memberikan toleransi yang tinggi terhadap perempuan. Dengan adanya
pembatasan ini membuat lebih terjaga kehidupan dan kebahagian.sehingga suami
dalam bersamaan dapat beristri 2.3.4[1] .[5]
Islam menggugat poligami musdah muliajkrta: pt gramedia
2004 hlm.44
Selama ini uu perkawinan untuk izin poligami hanya dari
istri sedangkan izin anak sama sekali tidak disinggung.
Dalam memandang poligami,
Syahrûr membolehkan poligami itu dalam dua syarat yaitu, pertama, bahwa Istri
kedua, ketiga dan keempat adalah para janda yang memiliki anak yatim yang
suaminya meninggalkannya. Kedua, harus
terdapat rasa rasa gelisah bahwa dia tak akan dapat berlaku adil terhadap
anak-anaknya. Bagi Syahrûr jika kedua syarat tersebut tidak terpenuhi,
poligami akan gagal. Hal ini tidak terlepas dari penafsiran surah al-Nisa ayat
3 dari kitab suci-Nya. Syahrûr dalam hal ini lebih menekankan terhadap
perlindungan anak yatim supaya hidup mereka ada yang menanggung dalam
kesehariannya.
Undaang-undang yang lebih menjamin hak perempuaan dalam hal poligami yaitu
undnag-undnag yang melarang poligami dan
menghukum suami yang poligami dan mereka yang menyelenggarakan dan atau
mencatat perkawiann poligami. [6]
Undang-undang diskriminatif terhadap perempuan adalah undang-undang yang
tidak memiliki prosedur atau mekanisme jelas yang dikodifikasikan untukjalan
keluar bagi istri pertama dan istri berikutnya.[7]
Menurut Rasyid Ridha maksud dari ayat tersebut ialah
untuk memberantas atau melarang tradisi orang-orang jahiliyah dalam memperlakukan
anak yatim dan perempuan dengan tidak manusiawi, yaitu mengawini anak yatim
tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainnya dan bermaksud untuk makan harta
anak yatim dengan cara tidak sah, serta menghalangi anak yatimnya kawin dengan
orang lain agar ia tetap leluasa menggunakan hartanya. Demikian pula tradisi
mengawini istri banyak dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi.[8]
Rasyid Ridha juga berpendapat bahwa poligami
diperbolehkan dalam keadaan darurat. Meskipun kedaruratan membolehkan poligami,
jaminan untuk tidak akan muncul kejahatan dan kezaliman harus dipenuhi dahulu.[9]
Dalam tulisan
Baroroh, dijelaskannya bahwa Rasyid Ridha berpendapat
bahwa ayat di atas membatasi beristeri dengan satu isteri saja. Rasyid Ridha
menjelaskan ada tiga masalah pokok yang berkaiatan dengan ayat di atas, yaitu:
1)
Islam tidak menganjurkan apalagi mewajibkan poligami, tetapi menunjukkan bahwa hanya sedikit pelaku poligami yang
mampu berlaku adil dalam hal perasaan.
2) Islam tidak
mengharamkan poligami, juga tidak terlalu longgar memperbolehkannya.
3)
Islam memberikan kemudahan hukum terhadap poligami dengan persyaratan dan
berbagai sebab dan alasan.15[10]
Menurut Fazlur Rahman yang dikutip oleh Asghar Ali
Engineer,
al-Qur’an tidak pernah memberikan izin umum kepada
siapa saja untuk
beristeri lebih dari empat. Kawin dengan lebih
dari satu perempuan
diizinkan dengan syarat keadilan dalam tiga
tingkat. Pertama, dengan
jaminan penggunaan harta anak yatim dan para janda
secara benar. Kedua,
dengan jaminan keadilan bagi semua isteri pada
tingkat materi. Ketiga,
membagi cinta dan kasih sayang yang sama kepada
semua isteri.20[11]
Asghar Ali Engineer, seorang feminis laki-laki,
menegaskan al-
Qur’an membolehkan laki-laki untuk kawin hingga
empat isteri dengan
ketentuan memperlakukan isteri mereka tersebut
dengan adil, dan jika
mereka tidak dapat memenuhi syarat yang penting
ini maka satu saja, atau
kawinilah
mereka yang kamu miliki secara penuh, yakni dengan budak
perempuan. Dengan demikian, maksud al-Qur’an
adalah jelas
monogami.21[12]
Menurut Musdah Mulia ayat ini jelas tidak sedang
berbicara dalam
konteks perkawinan, melainkan dalam konteks
pembicaraan anak yatim.
Islam adalah agama yang membawa misi pembebasan.
Pembebasan
tersebut terutama ditujukan kepada tiga kelompok
masyarakat, yakni para
budak, anak yatim, dan perempuan yang selam ini
sering diperlakukan
tidak adil dan karenanya mereka disebut sebagai
kaum dhu’afa’ (kaum
lemah) atau mustadh’afin (yang tertindas).
Anak yatim mendapat perhatian
yang tidak kalah pentingnya dari kalangan budak
dan perempuan karena
mereka sering menjadi objek penindasan berupa
perampasan harta
disebabkan tidak terlindungi oleh walinya. Ketika
itu, perkawinan yang
dilakukan dengan anak yatim sering dimaksudkan
hanya sebagai kedok
untuk menguasai hartanya. Untuk menghindari
perlakuan tidak adil pada
anak-anak yatim, Allah swt memberi solusi agar
mengawini perempuan
lain yang disukainya sebanyak dua, tiga, atau
empat. Itu pun jika sanggup
berbuat adil, kalau tidak, cukup satu
saja.22 [13]
[2] Departemen Agama RI, Al-qura’an dan Terjemahnya, (Bandung: Citra Umbara, 2005), hlm.
155.
[5] Lihat A.rodhi makmud,
dkk, poligami dlm tafsir muhammadsyahrur, (ponorogo: stain ponorogo press,
2009), hlm. 17-25
[6] Farid Wajidi (ed.)
Mengenali Hak Asasi Kita Perempuan,
Keluarga, Hukum dan adat di Dunia Islam, Suzana Eddyono (terj), (Yogyakarta:
Lkis, 2007), hlm.191
[10] Umul Baroroh, “Poligami dalam
Pandangan Mufasir dan Fukaha”, dalam Sri Suhandjati Sukri (ed), Bias Jender
Dalam Pemahaman Islam, Yogyakarta: Gama Media, cet. Ke-
1, 2002, hlm.
73-74.
Mizan Pustaka,
2005, hlm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar