Pria
dan Wanita Dalam Penciptaan
Pendahuluan
Al-Qur’an
adalah pedoman hidup manusia, sebagaimana yang tertuang dalam ayat-ayat Al-Qur’an
mengenai proses penciptaan. Baik penciptaan jagad raya ataupun penciptaan manusia.
Ayat-ayat tersebut menjelaskan bagaimana seorang manusia dapat tercipta di
dunia ini sebagai mahluk yang paling mulia di bumi. Bahkan fase-fase kehidupan
manusia sejak di dalam kandunganhingga meninggal dunia sampai dengan kehidupan
akhirat dijabarkan dengan jelas oleh Al-Qur’an.
Menurut
Nurcholis Madjid, manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang mengagumkan dan
penuh misteri.dia tersusun dari dua unsur; yaitu segenggam tanah bumi dan ruh
Allah. Maka siapa yang hanya mengenal aspek tanahnya dan melalaikan aspek
tiupan ruh Allah, maka dia tidak akan mengenal lebih jauh hakikat manusia.[1][1]
Al-Qur’an juga menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna
yang diciptakan oleh Allah, seperti yang tertuang dalam surat At-Tin : 4
﴿لَقَدْ خَلَقْنَا الإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ﴾
“Sesungguhnya
Kami telah ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Konsep
penciptaan merupakan hal yang mendasar untuk dibahas. Berangkat dari hal itu,
maka dapat ditarik benang merah konsep kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan. Melalui ayat-ayat Al-Qur’an, telah mengikis masyarakat yang
membedakan antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam bidang kemanusiaan.
Pembahasan:
A.
Sebelum Al-Qur’an diturunkan
Penggolongan
manusia yang paling mudah adalah berdasarkan jenis kelaminnya. Secara alamiah,
jenis kelamin dibagi menjadi dua, yaitu laki-laki dan perempuan.Masing-masing
tidak dapat dibedakan dari aspek kemanusiaannya. Allah telah mempersiapkan
keduanya untuk saling melengkapi dengan batas-batas kemanusiaannya. Allah SWT
juga telah menetapkan bahwa kelangsungan keturunan manusia bergantung dari
interaksi kedua lawan jenis tersebut.
Dalam
kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Keduanya sama-sama memiliki peluang yang sama untuk menjadi hamba
Allah, yaitu menjadi orang-orang bertakwa. Laki-laki dan perempuan
masing-masing akan mendapatkan balasan (pahala yang sama) dari Allah sesuai
dengan kadar ketakwaannya, sesuai firman Allah Q.SAn-Nahl: 97
﴿مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ﴾
“Barang siapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan. “
Pada
zaman Arab Jahiliah dan sebelum Al-Qur’an diturunkan, terjadi banyak sekali
aspek perbedaan laki-laki dan perempuan, seolah-olah laki-laki tercipta sebagai
“penguasa” dan perempuan tercipta hanya sebagai pembantu yang berfungsi untuk
melayani laki-laki.Pada zaman itu pula, perempuan sama sekali tidak dihargai, bahkan
dipandang sangat rendah. Misalnya saja warisan, perempuan pada zaman Arab Jahiliah
sama sekali tidak mendapatkan warisan harta atau benda apapun. Mereka menganggap
perempuan sebagai mahluk paling hina dan sebagian mereka malu sekali jika
istrinya melahirkan anak perempuan, sampai-sampai sebagian dari mereka
menguburkan bayi perempuannya itu hidup-hidup. Dan Al-Qur’an menyebutkan bahwa
itu adalah ketetapan yang sangat buruk.Hal ini pernah disebutkan dalam Al-
Qur’an Q.S An-Nahl (58-59):
﴿ وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأُنثَى ظَلَّ وَجْهُهُ
مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِن سُوءِ
مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ
سَاء مَا يَحْكُمُونَ﴾
“Dan apabila
sesorang dari mereka diberi khabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamalah
(merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari
orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia
akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya
kedalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka
tetapkan itu.”
Tidak
hanya pada kehidupan orang Arab Jahiliah, dalam masryarakat Yunani, perempuan
sama sekali tidak ada harganya, harga diri perempuan pun turun kelevel yang
sangat rendah, bahkan mereka memperjual belikan perempuan di pasar, seolah
perempuan adalah barang dagangan yang layak untuk di perjual belikan, mereka
menggap perempuan layaknya budak yang sangat amat hina.Bahkan pada abad
pertenghan, orang Barat menganggap bahwasanya Tuhan menciptakan perempuan hanya
untuk berkhidmat (melayani) pada suaminya.
B.
Setelah Al-Qur’an diturunkan
Al-Qur’an menjelaskan bahwasanya manusia awalnya diciptakan dari
satu oorang (Adam), yang kemudian dari padanya Allah menciptakan istrinya (Hawa),
jumhur mufassirin berpendapat bahwasanya penciptaan sang istri (hawa) itu dari
bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s,
tapi ada juga yang berpendapat bahwasanya penciptaan Hawa itu dari unsur yang
serupa, dalam arti Hawa diciptakan dari unsur yang sama dengan unsur yang
dibuat untuk menciptakan Adam, yakni tanah yang dari padanya Adam diciptakan.
Kemudian, dari pasangan itu terciptalah keturunan-keturnan mereka
yang biasa disebut dengan Bani Adam-Kaum Hawa, darisini dapat dimengerti
bahwasanya laki-laki dan perempuan itu tercipta dari satu pasangan, dan
semuanya tercipta dari unsur yang sama, jadi tidak ada pembeda antara mereka,
kecuali hanya jenis kelamin saja.
﴿ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم
مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً
كَثِيرًا وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللَّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا﴾
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa semua orang itu asal mulanya
tercipta dari satu orang (Adam a.s) dari adam terciptalah Hawa, dan dari
pasangan itu terciptalah keturunan-keturunannya sampai saat ini, sehingga tidak
ada tepat bila dikatakan laki-laki lebih mulia dibandingkan perempuan, karna
sesungguhnya laki-laki dan perempuan tercipta dari satu unsur yang sama.
Dipandang dari sisi yang lain, banyak sekali ayat-ayat dalam
Al-Qur’an yang menjelaskan bahwasanya laki-laki dan perempuan itu diciptakan
untuk saling berpasang-pasangan, dan tidak ada ayat dalam Al-Qur’an yang
menjelaskan bahwasanya perempuan itu tercipta hanya untuk melayani laki-laki,
diciptakannya perempuan itu untuk menjadi pendamping laki-laki, bukan bawahan
dari pada laki-laki itu, begitu juga sebaliknya, laki-laki tercipta untuk
menjadi pendamping perempuan, bukan atasan dari pada perempuan
itu.Contoh-contoh ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentanghal tersebut:
هُنَّ
لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ﴾﴿
“Mereka para isteri adalah pakaian bagi kamu para suami, dan kamu
para suami adalah pakaian bagi isterimu.”
﴿ثُمَّ جَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا﴾
“Dia jadikan dari pada jenis kamu sendiri pasangan.”
﴿وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالأُنثَى﴾
“Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan
laki-laki dan perempuan.”
Pada sebagian ayat tersebut, hubungan antara laki-laki dan
perempuan disebut dengan kata “زوج”
yang dalam bahasa indonesia bisa diartikan dengan “pasangan”, berarti
antara laki-laki dan perempuan itu harus saling berpasang-pasangan, berpatner.Sangat
keliru jika ada pasangan yang merasa bahwa dirinya superior dari pasangannya.
Demikian juga tidak benar jika ada pasangan yang memperlakukan pasangannya
dengan inferior. Maka dari itu, hubungan antara laki-laki dan permpuan bukanlah
sebagai atasan-bawahan, melainkan sebagai pasangan yang bermitra dan kedudukan mereka
sejajar.
Dan jika kita memandang dari sisi yang lain, kita bisa melihat
bahwa Allah tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemuliaan.
Dalam Al-Qur’an, ada ayat yang menjelaskan bahwasanya laki-laki dan perempuan
itu sama dalam hal kemuliaan, tidak ada yang membedakan kecuali taqwa mereka.
Disebutkan dalam Al-Qur’an:
﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ
اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ﴾
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertkwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui dan maha mengenal.”
Pada
ayat ini, sangat jelas bahwasanya Allah tidak membedakan kemuliaan antara
mahluk ciptaannya (laki-laki dan perempuan), pada ayat tersebut dijelaskan, bahwasanya
yang mebedakan kemuliaan adalah takwanya hamba kepada sang pencipta (Allah).
Maka dari itu, sangat tidak pas jika dikatakan bahwa laki-laki lebih mulia
dibanding perempuan, begitu juga sebaliknya (perempuan lebih mulia daripada
laki-laki) karna kemuliaan tidak bisa diukur hanya dengan penciptaan, kemuliaan
tidak bisa diukur dengan jenis kelamin, akan tetapi kemuliaan tolak ukurnya
adalah ketakwaan kita kepada Allah SWT.
C.
Tujuan Penciptaan
Allah menciptakan segala sesuatu pasti ada maksud dan tujuan
dibalik penciptaan itu, dan tidak mungkin Allah menciptakan sesuatu tanpa ada
tujuan atau maksud tertentu, apalagi mengenai penciptaan manusia, yang manusia
itu adalah ciptaan Allah yang paling sempurna. Seperti halnya dalam Al-Qur’an
telah disebutkan ayat sebagai berikut:
. ﴿وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ﴾
“Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mnyembah-Ku”.
Dalam
ayat tersebut dijelaskan, bahwa tujuan diciptakannya jin dan manusia tidak lain
tidak bukan adalah untuk beribadah (menyembah Allah), dalam hal ini, bisa
diartikan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan untuk beribadah kepada
Allah, dalam konteks ini (laki-laki dan perempuan), ada suatu ibadah yang tidak
bisa dikerjakan hanya oleh salah satu dari mereka (laki-laki sendiri/ perempuan
sendiri), tapi harus memasangkan keduanya. Ibadah tersebut adalah sebuah ikatan
pernikahan, dan tidak bisa dipungkiri,tujuan diciptakannya manusia dengan
berbeda jenis (laki-laki dan perempuan) tidak lain tidak bukan ialah untuk
dipersatukan/berpasang-pasangan.
D.
Kesimpulan
Tidak
bisa dipungkiri bahwa Al-Qur’an adalah kitab rahmat, kebaikanya nyata. Bukti
nyata bahwa Al-Qur’an adalah kitab rahmat: seperti yang telah terpapar diatas,
bahwasanya perempuan pada masa Arah Jahiliah, sama sekali tidak dihargai oleh
mereka, bahkan cenderung sangat hina, seolah-olah laki-laki adalah penguasa dan
perempuan adalah budak, dan ini sudah sangat meleceng. akan tetapi, setelah
Al-Qur’an diturunkan, keadaan pun berubah, yang dulunya laki-laki adalah
penguasa, dan perempuan adalah budak, sekarang menjadi setara, perempuan dan
laki-laki diciptakan bukan untuk menjadi bawahan-atasan, tapi untuk saling
berdampingan satu sama lain. Dan laki-laki dan perempuan diciptakan bukan untuk
menjadi penguasa dan budak, melainkan mereka diciptakan tidak lain tidak bukan
ialah untuk beribadah kepada Sang Pencipta.
Prinsip
Prinsip Etika Perkawinan
Oleh:
Muchammad
Pendahuluan
Pernikahan
atau biasa disebut perkawinan adalah fitrah kemanusiaan. Dalam ajaran Islam,
ada anjuran untuk menikah karena menikah merupakan gharizah insaniyah(naluri
kemanusiaan) yang mana hanya dapat terpenuhi dengan jalan yang sah yaitu
perkawinan. Islam telah menjadikan ikatan pernikahan yang sah berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan
naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membangun keluarga yang
sakinah, mawadah dan warahmah. Penghargaan Islam terhadap perkawinan sangat
besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh
agama.
Maka
jelas sekali bahwa tujuan pernikahan tu bukan untuk seata-mata atau sekedar
elepaskan hawa nafsu, tetapi ialah untuk elahirkan pertalian kasih sayang bagi
kedua pasangan dan keluarganya. Kasih sayang disini adalah kasih sayang yang
abadi.
Pembahasan
Ada
beberapa prinsip-prinsip dalam etika perkawinan, yaitu:
a.
Otonomi (berdasarkan keputusan sendiri)
Di dalam pelaksanaan perkawinan, ada beberapa pihak yang
berkepentingan di dalamnya. Pihak tersebut berhak atas perkawinan itu sendiri.
Hak-hak dari beberapa pihak yang ada di dalam perkawinan adalah:
1.
Hak
Allah
Yang dimaksud dengan hak Allah adalah perkawinan tersebut harus
sesuai dengan ketetapan maupun ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah,
misalnya kesanggupan pihak yang akan menikah, mahar, dan lain sebagainya.
Apabila hak ini tidak dilakukan/tidak tercukupi, maka hukum perkawinan tersebut
menjadi batal.
2.
Hak Orang
yang akan Kawin dan Walinya
Dari Ibnu Abbas r-a, bahwasanya Raulullah bersabda: “ Orang yang tidak
mempunyai jodoh itu lebih berhak atas perkawinannya daripada walinya, dan gadis
itu dimintakan perintahnya, dan ijinnya ialah diamnya.” (H.R. Bukhari dan
Muslim). Dari hadist tersebut dapat dijelaskan bahwa oarang yang akan
melasanakan suatu perkawinan dan walinya sama-sama memiliki hak. Sehingga untuk
melaksanakan perkawinan, seseorang tidak boleh dalam kondisi terpaksa, walaupun
yang memaksa adalah walinya sendiri, asalkan tindakannya tidak melanggar
syariat agama Islam. Jadi, pelaksanaan perkawinan itu hanya dapat dilakukan
apabila telah ada persetujuan dan kesukarelaan dari pihak-pihak yang mempunyai
hak.[2]
b.
Kejujuran
Dalam segala hal, kejujuran sangat dibutuhkan, apalagi mengenai
perkawinan, yang perkawinan itu adalah ikatan suci antara kedua mempelai
(laki-laki dan perempuan/suami dan isteri), maka dalam hal perkawinan, sangat
dibutuhkan kejujuran antara kedua pasangan jika ingin hubungannya langgeng.
Dalam hal kejujuran dalam pernikahan, kita bisa mengambil contoh
misalnya pada permasalahan Khitbah (meminang), dalam hukum perkawinan Islam,
ada banyak perkara yang sunnah (dianjurkan) untuk dilakukan, misalnya sebelum
melakukan perkawinan kita dianjurkan untuk melakukan Khitbah. Pada permasalahan
Khitbah sendiri, ada beberapa persyaratan yang harus terpenuhi, misalnya: tidak
boleh meng-Khitbah perempuan yang sudah mempunyai suami, atau meng-khitbah
perempuan yang dalam masa Iddah (masa tunggu) Talak roj’i. Dari contoh ini,
perempuan harus berterus terang apakah dia dalam masa iddah atau tidak, dan
apakah dia sudah menjadi isteri orang atau tidak, jika dalam masalah ini
perempuan tidak jujur, maka khitbah yang hukum aslinya sunnah, akan menjadi
Haram.[3]
Pasca perkawinan, kejujuran tetap sangat penting, akan tetapi yang
dibutuhkan dalam perkawinan tidak hanya kejujuran semata, dalam perkawinan
dibutuhkan juga Musyawarah dan Demokrasi, dalam arti kedua pasangan harus
saling terbuka dalam segala hal, berkomunikasi, bermusyawarah. Kedua pasangan
jika ingin memutuskan suatu perkara sebaiknya dimusyawarahkan terlebih dahulu,
minimal antara suami dan isteri, lebih-lebih melibatkan keluarga yang lain,
keputusan yang dihasilkan dengan bermusyawarah akan lebih baik, dan tidak ada
pihak yang merasa dirugikan, merasa dikuasai, dengan bermusyawarah kedua
pasangan akan saling merasa dihargai, jika suami atau isteri memutuskan perkara
sendiri tanpa melibatkan pasangan (musyawarah), akan terkesan bahwasanya salah
satu pasangan (suami/isteri) menguasai dan mendominasi keluarganya, padahal
dalam hubungan suami isteri, hubungannya bukan menguasai satu sama lain, akan
tetapi saling bermitra, dan berbagi.[4]
c.
Keadilan
Prinsip keadilan disini adalah menempatkan sesuatu pada posisi yang
semestinya (proporsional) dalam kehidupan rumah tangga. Berimbang dalam
memenuhi hak diri pribadi, hak orang lain (anggota keluarga), maupun hak sosial
(masyarakat). Allah berfirman dalam Al-Qur’an Q.S Al-Maidah ayat 8:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ
شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا
تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang
yang menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
kamu sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong untuk kamu berbuat
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Keadilan sendiri dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu keadaan/
kondisi orang, pengetahuan yang dimiliki, latar belakang perasaan (cinta dan
benci), suatu kepentingan (pribadi/ golongan) dan adanya pengaruh dari luar
(extern).
d.
Kasih sayang
Pelaksanaan
pernikahan memiliki hikmah, yaitu dapat menentramkan jiwa, menimbulkan rasa
cinta antara suami istri, menimbulkan rasa kasih sayang dan rasa aman sesama
anggota keluarga. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Q.S. Ar-Rum 21:
﴿وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي
ذَلِكَ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ﴾
“Dan diantara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berfikir.
e.
Persaudaraan
Pernikahan/perkawinan
tidak hanya menyatukan dua orang manusia berlainan jenis dalam satu ikatan
rumah tangga, namun jugamenyatukan dua keluarga besar dari masing-masing pihak.
Adanya pernikahan itu sendiri bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan
antar manusia. Dari awal tidak saling mengenal kemudian menjadi satu keluarga.
Selain itu, dalam kehidupan rumah tangga yang baik, dapat pula mewujudkan
pondasi lingkungan masyarakat yang baik.
Untuk
menciptakan persaudaraan di muka bumi, terutama di kalangan umat Islam, ada
beberapa prinsip yaitu musyawarah dan keadilan, toleransi(tasamuh), persamaan
(tidak ada kasta) dan amar makruf nahi mungkar.
Kesimpulan
Islam
adalah agama yang Rahmatan Lil Alamin, dimana hukum dalam Islam adalah
hukum rahmat. Pernikahan atau perkawinan dalam pandangan Islam adalah rahmat,
tidak hanya untuk pasangan, namun juga keluarga dan masyarakat. Untuk menciptakan
perkawinan yang sakinah, mawadah dan warahmah, harus memenuhi prinsip-prinsip
etika perkawinan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahro, Muhammad, Al-Ahwal Asyakhshiyah. Cairo: Dar âl-Fikr,
2005
Al Hasani, Muhammad Alwi, Etika dalam Rumah Tannga Islam.
Surabaya: Bungkul Indah, 1994
Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta:
Paramadina, 2000.
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan 1. Yogyakarta:
Tazzafa & ACAdeMIA, 2005.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,
Yogyakarta: Liberty, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar