Minggu, 10 September 2017

Pria dan Wanita Dalam Penciptaan

Pria dan Wanita Dalam Penciptaan

Pendahuluan
Al-Qur’an adalah pedoman hidup manusia, sebagaimana yang tertuang dalam ayat-ayat Al-Qur’an mengenai proses penciptaan. Baik penciptaan jagad raya ataupun penciptaan manusia. Ayat-ayat tersebut menjelaskan bagaimana seorang manusia dapat tercipta di dunia ini sebagai mahluk yang paling mulia di bumi. Bahkan fase-fase kehidupan manusia sejak di dalam kandunganhingga meninggal dunia sampai dengan kehidupan akhirat dijabarkan dengan jelas oleh Al-Qur’an.
Menurut Nurcholis Madjid, manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang mengagumkan dan penuh misteri.dia tersusun dari dua unsur; yaitu segenggam tanah bumi dan ruh Allah. Maka siapa yang hanya mengenal aspek tanahnya dan melalaikan aspek tiupan ruh Allah, maka dia tidak akan mengenal lebih jauh hakikat manusia.[1][1] Al-Qur’an juga menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh Allah, seperti yang tertuang dalam surat At-Tin : 4
﴿لَقَدْ خَلَقْنَا الإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ﴾
“Sesungguhnya Kami telah ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”


Konsep penciptaan merupakan hal yang mendasar untuk dibahas. Berangkat dari hal itu, maka dapat ditarik benang merah konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Melalui ayat-ayat Al-Qur’an, telah mengikis masyarakat yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam bidang kemanusiaan.

Pembahasan:
A.    Sebelum Al-Qur’an diturunkan
Penggolongan manusia yang paling mudah adalah berdasarkan jenis kelaminnya. Secara alamiah, jenis kelamin dibagi menjadi dua, yaitu laki-laki dan perempuan.Masing-masing tidak dapat dibedakan dari aspek kemanusiaannya. Allah telah mempersiapkan keduanya untuk saling melengkapi dengan batas-batas kemanusiaannya. Allah SWT juga telah menetapkan bahwa kelangsungan keturunan manusia bergantung dari interaksi kedua lawan jenis tersebut.
Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya sama-sama memiliki peluang yang sama untuk menjadi hamba Allah, yaitu menjadi orang-orang bertakwa. Laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan balasan (pahala yang sama) dari Allah sesuai dengan kadar ketakwaannya, sesuai firman Allah Q.SAn-Nahl: 97
﴿مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. “
Pada zaman Arab Jahiliah dan sebelum Al-Qur’an diturunkan, terjadi banyak sekali aspek perbedaan laki-laki dan perempuan, seolah-olah laki-laki tercipta sebagai “penguasa” dan perempuan tercipta hanya sebagai pembantu yang berfungsi untuk melayani laki-laki.Pada zaman itu pula, perempuan sama sekali tidak dihargai, bahkan dipandang sangat rendah. Misalnya saja warisan, perempuan pada zaman Arab Jahiliah sama sekali tidak mendapatkan warisan harta atau benda apapun. Mereka menganggap perempuan sebagai mahluk paling hina dan sebagian mereka malu sekali jika istrinya melahirkan anak perempuan, sampai-sampai sebagian dari mereka menguburkan bayi perempuannya itu hidup-hidup. Dan Al-Qur’an menyebutkan bahwa itu adalah ketetapan yang sangat buruk.Hal ini pernah disebutkan dalam Al- Qur’an Q.S An-Nahl (58-59):
﴿ وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأُنثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاء مَا يَحْكُمُونَ﴾
“Dan apabila sesorang dari mereka diberi khabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamalah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya kedalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”
Tidak hanya pada kehidupan orang Arab Jahiliah, dalam masryarakat Yunani, perempuan sama sekali tidak ada harganya, harga diri perempuan pun turun kelevel yang sangat rendah, bahkan mereka memperjual belikan perempuan di pasar, seolah perempuan adalah barang dagangan yang layak untuk di perjual belikan, mereka menggap perempuan layaknya budak yang sangat amat hina.Bahkan pada abad pertenghan, orang Barat menganggap bahwasanya Tuhan menciptakan perempuan hanya untuk berkhidmat (melayani) pada suaminya.

B.  Setelah Al-Qur’an diturunkan
Al-Qur’an menjelaskan bahwasanya manusia awalnya diciptakan dari satu oorang (Adam), yang kemudian dari padanya Allah menciptakan istrinya (Hawa), jumhur mufassirin berpendapat bahwasanya penciptaan sang istri (hawa) itu dari bagian tubuh  (tulang rusuk) Adam a.s, tapi ada juga yang berpendapat bahwasanya penciptaan Hawa itu dari unsur yang serupa, dalam arti Hawa diciptakan dari unsur yang sama dengan unsur yang dibuat untuk menciptakan Adam, yakni tanah yang dari padanya Adam diciptakan.
Kemudian, dari pasangan itu terciptalah keturunan-keturnan mereka yang biasa disebut dengan Bani Adam-Kaum Hawa, darisini dapat dimengerti bahwasanya laki-laki dan perempuan itu tercipta dari satu pasangan, dan semuanya tercipta dari unsur yang sama, jadi tidak ada pembeda antara mereka, kecuali hanya jenis kelamin saja.
﴿ يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللَّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا﴾
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa semua orang itu asal mulanya tercipta dari satu orang (Adam a.s) dari adam terciptalah Hawa, dan dari pasangan itu terciptalah keturunan-keturunannya sampai saat ini, sehingga tidak ada tepat bila dikatakan laki-laki lebih mulia dibandingkan perempuan, karna sesungguhnya laki-laki dan perempuan tercipta dari satu unsur yang sama.
Dipandang dari sisi yang lain, banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan bahwasanya laki-laki dan perempuan itu diciptakan untuk saling berpasang-pasangan, dan tidak ada ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan bahwasanya perempuan itu tercipta hanya untuk melayani laki-laki, diciptakannya perempuan itu untuk menjadi pendamping laki-laki, bukan bawahan dari pada laki-laki itu, begitu juga sebaliknya, laki-laki tercipta untuk menjadi pendamping perempuan, bukan atasan dari pada perempuan itu.Contoh-contoh ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentanghal tersebut:
هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ﴾﴿
“Mereka para isteri adalah pakaian bagi kamu para suami, dan kamu para suami adalah pakaian bagi isterimu.”
﴿ثُمَّ جَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا﴾
“Dia jadikan dari pada jenis kamu sendiri pasangan.”
﴿وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالأُنثَى﴾
“Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan.”
Pada sebagian ayat tersebut, hubungan antara laki-laki dan perempuan disebut dengan kata “زوج  yang dalam bahasa indonesia bisa diartikan dengan “pasangan”, berarti antara laki-laki dan perempuan itu harus saling berpasang-pasangan, berpatner.Sangat keliru jika ada pasangan yang merasa bahwa dirinya superior dari pasangannya. Demikian juga tidak benar jika ada pasangan yang memperlakukan pasangannya dengan inferior. Maka dari itu, hubungan antara laki-laki dan permpuan bukanlah sebagai atasan-bawahan, melainkan sebagai pasangan yang bermitra dan kedudukan mereka sejajar.
Dan jika kita memandang dari sisi yang lain, kita bisa melihat bahwa Allah tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemuliaan. Dalam Al-Qur’an, ada ayat yang menjelaskan bahwasanya laki-laki dan perempuan itu sama dalam hal kemuliaan, tidak ada yang membedakan kecuali taqwa mereka. Disebutkan dalam Al-Qur’an:
﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ﴾
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertkwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui dan maha mengenal.”
Pada ayat ini, sangat jelas bahwasanya Allah tidak membedakan kemuliaan antara mahluk ciptaannya (laki-laki dan perempuan), pada ayat tersebut dijelaskan, bahwasanya yang mebedakan kemuliaan adalah takwanya hamba kepada sang pencipta (Allah). Maka dari itu, sangat tidak pas jika dikatakan bahwa laki-laki lebih mulia dibanding perempuan, begitu juga sebaliknya (perempuan lebih mulia daripada laki-laki) karna kemuliaan tidak bisa diukur hanya dengan penciptaan, kemuliaan tidak bisa diukur dengan jenis kelamin, akan tetapi kemuliaan tolak ukurnya adalah ketakwaan kita kepada Allah SWT.

C.    Tujuan Penciptaan
Allah menciptakan segala sesuatu pasti ada maksud dan tujuan dibalik penciptaan itu, dan tidak mungkin Allah menciptakan sesuatu tanpa ada tujuan atau maksud tertentu, apalagi mengenai penciptaan manusia, yang manusia itu adalah ciptaan Allah yang paling sempurna. Seperti halnya dalam Al-Qur’an telah disebutkan ayat sebagai berikut:
. ﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ﴾
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mnyembah-Ku”.
Dalam ayat tersebut dijelaskan, bahwa tujuan diciptakannya jin dan manusia tidak lain tidak bukan adalah untuk beribadah (menyembah Allah), dalam hal ini, bisa diartikan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan untuk beribadah kepada Allah, dalam konteks ini (laki-laki dan perempuan), ada suatu ibadah yang tidak bisa dikerjakan hanya oleh salah satu dari mereka (laki-laki sendiri/ perempuan sendiri), tapi harus memasangkan keduanya. Ibadah tersebut adalah sebuah ikatan pernikahan, dan tidak bisa dipungkiri,tujuan diciptakannya manusia dengan berbeda jenis (laki-laki dan perempuan) tidak lain tidak bukan ialah untuk dipersatukan/berpasang-pasangan.

D.    Kesimpulan
Tidak bisa dipungkiri bahwa Al-Qur’an adalah kitab rahmat, kebaikanya nyata. Bukti nyata bahwa Al-Qur’an adalah kitab rahmat: seperti yang telah terpapar diatas, bahwasanya perempuan pada masa Arah Jahiliah, sama sekali tidak dihargai oleh mereka, bahkan cenderung sangat hina, seolah-olah laki-laki adalah penguasa dan perempuan adalah budak, dan ini sudah sangat meleceng. akan tetapi, setelah Al-Qur’an diturunkan, keadaan pun berubah, yang dulunya laki-laki adalah penguasa, dan perempuan adalah budak, sekarang menjadi setara, perempuan dan laki-laki diciptakan bukan untuk menjadi bawahan-atasan, tapi untuk saling berdampingan satu sama lain. Dan laki-laki dan perempuan diciptakan bukan untuk menjadi penguasa dan budak, melainkan mereka diciptakan tidak lain tidak bukan ialah untuk beribadah kepada Sang Pencipta.


Prinsip Prinsip Etika Perkawinan
Oleh: Muchammad

Pendahuluan
Pernikahan atau biasa disebut perkawinan adalah fitrah kemanusiaan. Dalam ajaran Islam, ada anjuran untuk menikah karena menikah merupakan gharizah insaniyah(naluri kemanusiaan) yang mana hanya dapat terpenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan. Islam telah menjadikan ikatan pernikahan yang sah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membangun keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Penghargaan Islam terhadap perkawinan sangat besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama.
Maka jelas sekali bahwa tujuan pernikahan tu bukan untuk seata-mata atau sekedar elepaskan hawa nafsu, tetapi ialah untuk elahirkan pertalian kasih sayang bagi kedua pasangan dan keluarganya. Kasih sayang disini adalah kasih sayang yang abadi.

Pembahasan
Ada beberapa prinsip-prinsip dalam etika perkawinan, yaitu:
a.    Otonomi (berdasarkan keputusan sendiri)
Di dalam pelaksanaan perkawinan, ada beberapa pihak yang berkepentingan di dalamnya. Pihak tersebut berhak atas perkawinan itu sendiri. Hak-hak dari beberapa pihak yang ada di dalam perkawinan adalah:

1.    Hak Allah
Yang dimaksud dengan hak Allah adalah perkawinan tersebut harus sesuai dengan ketetapan maupun ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah, misalnya kesanggupan pihak yang akan menikah, mahar, dan lain sebagainya. Apabila hak ini tidak dilakukan/tidak tercukupi, maka hukum perkawinan tersebut menjadi batal.
2.    Hak Orang yang akan Kawin dan Walinya
Dari Ibnu Abbas r-a, bahwasanya Raulullah bersabda: “ Orang yang tidak mempunyai jodoh itu lebih berhak atas perkawinannya daripada walinya, dan gadis itu dimintakan perintahnya, dan ijinnya ialah diamnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Dari hadist tersebut dapat dijelaskan bahwa oarang yang akan melasanakan suatu perkawinan dan walinya sama-sama memiliki hak. Sehingga untuk melaksanakan perkawinan, seseorang tidak boleh dalam kondisi terpaksa, walaupun yang memaksa adalah walinya sendiri, asalkan tindakannya tidak melanggar syariat agama Islam. Jadi, pelaksanaan perkawinan itu hanya dapat dilakukan apabila telah ada persetujuan dan kesukarelaan dari pihak-pihak yang mempunyai hak.[2]

b.   Kejujuran
Dalam segala hal, kejujuran sangat dibutuhkan, apalagi mengenai perkawinan, yang perkawinan itu adalah ikatan suci antara kedua mempelai (laki-laki dan perempuan/suami dan isteri), maka dalam hal perkawinan, sangat dibutuhkan kejujuran antara kedua pasangan jika ingin hubungannya langgeng.
Dalam hal kejujuran dalam pernikahan, kita bisa mengambil contoh misalnya pada permasalahan Khitbah (meminang), dalam hukum perkawinan Islam, ada banyak perkara yang sunnah (dianjurkan) untuk dilakukan, misalnya sebelum melakukan perkawinan kita dianjurkan untuk melakukan Khitbah. Pada permasalahan Khitbah sendiri, ada beberapa persyaratan yang harus terpenuhi, misalnya: tidak boleh meng-Khitbah perempuan yang sudah mempunyai suami, atau meng-khitbah perempuan yang dalam masa Iddah (masa tunggu) Talak roj’i. Dari contoh ini, perempuan harus berterus terang apakah dia dalam masa iddah atau tidak, dan apakah dia sudah menjadi isteri orang atau tidak, jika dalam masalah ini perempuan tidak jujur, maka khitbah yang hukum aslinya sunnah, akan menjadi Haram.[3]
Pasca perkawinan, kejujuran tetap sangat penting, akan tetapi yang dibutuhkan dalam perkawinan tidak hanya kejujuran semata, dalam perkawinan dibutuhkan juga Musyawarah dan Demokrasi, dalam arti kedua pasangan harus saling terbuka dalam segala hal, berkomunikasi, bermusyawarah. Kedua pasangan jika ingin memutuskan suatu perkara sebaiknya dimusyawarahkan terlebih dahulu, minimal antara suami dan isteri, lebih-lebih melibatkan keluarga yang lain, keputusan yang dihasilkan dengan bermusyawarah akan lebih baik, dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan, merasa dikuasai, dengan bermusyawarah kedua pasangan akan saling merasa dihargai, jika suami atau isteri memutuskan perkara sendiri tanpa melibatkan pasangan (musyawarah), akan terkesan bahwasanya salah satu pasangan (suami/isteri) menguasai dan mendominasi keluarganya, padahal dalam hubungan suami isteri, hubungannya bukan menguasai satu sama lain, akan tetapi saling bermitra, dan berbagi.[4]

c.    Keadilan
Prinsip keadilan disini adalah menempatkan sesuatu pada posisi yang semestinya (proporsional) dalam kehidupan rumah tangga. Berimbang dalam memenuhi hak diri pribadi, hak orang lain (anggota keluarga), maupun hak sosial (masyarakat). Allah berfirman dalam Al-Qur’an Q.S Al-Maidah ayat 8:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kamu sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong untuk kamu berbuat tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Keadilan sendiri dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu keadaan/ kondisi orang, pengetahuan yang dimiliki, latar belakang perasaan (cinta dan benci), suatu kepentingan (pribadi/ golongan) dan adanya pengaruh dari luar (extern).

d.   Kasih sayang
Pelaksanaan pernikahan memiliki hikmah, yaitu dapat menentramkan jiwa, menimbulkan rasa cinta antara suami istri, menimbulkan rasa kasih sayang dan rasa aman sesama anggota keluarga. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Q.S. Ar-Rum 21:
﴿وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ﴾
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berfikir.

e.    Persaudaraan
Pernikahan/perkawinan tidak hanya menyatukan dua orang manusia berlainan jenis dalam satu ikatan rumah tangga, namun jugamenyatukan dua keluarga besar dari masing-masing pihak. Adanya pernikahan itu sendiri bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan antar manusia. Dari awal tidak saling mengenal kemudian menjadi satu keluarga. Selain itu, dalam kehidupan rumah tangga yang baik, dapat pula mewujudkan pondasi lingkungan masyarakat yang baik.
Untuk menciptakan persaudaraan di muka bumi, terutama di kalangan umat Islam, ada beberapa prinsip yaitu musyawarah dan keadilan, toleransi(tasamuh), persamaan (tidak ada kasta) dan amar makruf nahi mungkar.

Kesimpulan
Islam adalah agama yang Rahmatan Lil Alamin, dimana hukum dalam Islam adalah hukum rahmat. Pernikahan atau perkawinan dalam pandangan Islam adalah rahmat, tidak hanya untuk pasangan, namun juga keluarga dan masyarakat. Untuk menciptakan perkawinan yang sakinah, mawadah dan warahmah, harus memenuhi prinsip-prinsip etika perkawinan tersebut.

















DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahro, Muhammad, Al-Ahwal Asyakhshiyah. Cairo: Dar âl-Fikr, 2005
Al Hasani, Muhammad Alwi, Etika dalam Rumah Tannga Islam. Surabaya: Bungkul Indah, 1994
Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000.
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perkawinan 1. Yogyakarta: Tazzafa & ACAdeMIA, 2005.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 2007


[1][1] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000, hal, 430

[2][2] Ny. Soemiyati,S.H. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 2007, hal, 22-23

[3]Muhammad Abu Zahro, Al-Ahwal Asyakhshiyah. Cairo: Dar âl-Fikr, 2005. Hal:30

[4]KhoiruddinNasution, Hukum Perkawinan 1. Yogyakarta: Tazzafa & ACAdeMIA, 2005. Hal:56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

catatan penyanya ilmu kalam

03-11-2019 Erik: nama tokoh kiodariyah yang berasal dari negeri irak? ma’bad al-jauhani dan ghailan ad-dimasyqi. Dapat dari irak yang b...